Perusahaan Kelapa Sawit Bakal Direpotkan oleh Aplikasi CIFOR `Borneo Atlas`

`Borneo Atlas` to Help Palm Oil Buyers Check on Forest Damage

Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi


Perusahaan Kelapa Sawit Bakal Direpotkan oleh Aplikasi CIFOR `Borneo Atlas`
Screenshot: mongabay.com

PENGEMBANG aplikasi untuk pertama kalinya menyediakan sebuah peta terperinci yang akan membantu pembeli dan konsumen kelapa sawit untuk mengetahui apakah perusahaan perkebunan tersebut mengancam lingkungan di Pulau Kalimantan.

Dikembangkan sejak tahun lalu, peta yang dinamai 'Borneo Atlas' ini diluncurkan pekan lalu oleh Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) yang berpusat di Indonesia.

Peta tersebut menunjukkan lokasi dan kepemilikan 467 pabrik kelapa sawit di Kalimantan, yang dimiliki oleh Indonesia, Malaysia dan Brunei, dan merupakan salah satu produsen terbesar minyak sawit dunia, untuk produk bahan makanan.

"Ini adalah kumpulan data paling komprehensif saat ini," kata David Gaveau, ilmuwan lingkungan di CIFOR, kepada Thomson Reuters Foundation. Pemetaan pabrik kelapa sawit lebih mencakup 90 persen di seluruh Kalimantan, tambahnya.

Untuk mengembangkan Borneo Atlas, peneliti CIFOR mengumpulkan dokumen online dan berkas penting lainnya yang dikeluarkan oleh perusahan kelapa sawit, LSM, lembaga sertifikasi kelapa sawit, peta di website, jaringan media sosial.

Perangkat yang terkait dengan Borneo Atlas memanfaatkan citra satelit yang di-update secara rutin untuk menampilkan citra dari radius 10 km di lingkungan sekitar pabrik, yang mengungkap fakta dampak kerusakan lingkungan terhadap kawasan hutan di dekatnya dan perluasan perkebunan.

Pengguna juga dapat menampilkan citra resolusi tinggi setiap pabrik kelapa sawit menggunakan Google Maps.

Diharapkan peta baru ini akan membantu pembeli dan pedagang kelapa sawit melacak rantai pasokan mereka dengan lebih jelas, dan mengidentifikasi apakah itu tergolong upaya penggundulan hutan, kata Gaveau.

"Dengan menunjukkan lokasi perkebunan, situasi pabrik dan semua infrastruktur yang terkait, publik akan dapat mengetahui dampak luas dari perkebunan kelapa sawit di hutan," katanya.

CIFOR saat ini berkolaborasi dengan lembaga riset dunia World Resources Institute dan Greenpeace untuk mengidentifikasi kepemilikan lahan.

Tahun depan, datanya akan ditambah dengan informasi tentang pelabuhan yang digunakan oleh pabrik kelapa sawit untuk mengirim minyak nabati, dan juga dapat mengidentifikasi bank mana yang mendanai perusahaan kelapa sawit tersebut.

"Kami menggunakannya untuk penyelidikan dan untuk mendidik masyarakat tentang penggundulan hutan," kata Zhang Wen, direktur eksekutif di kelompok lingkungan Singapura People's Movement to Stop Haze. "Perusahaan ini bertanggung jawab atas perubahan bentang alam."

CIFOR berencana untuk bergabung dengan Trase, sebuah platform transparansi online yang dapat membantu menghubungkan pelabuhan dengan importir, eksportir dan pembeli Eropa untuk mengetahui pemasok minyak nabati di Indonesia khususnya di Kalimantan.

Minyak kelapa sawit, yang digunakan untuk ribuan produk rumah tangga dari makanan ringan sampai sabun, dan juga pembuatan biodiesel, saat ini diincar oleh Uni Eropa atas tudingan mengakibatkan kerusakan hutan hujan dunia di Kalimantan.

Kalimantan, pulau terbesar ketiga di dunia, memiliki sekitar 8,3 juta hektar perkebunan kelapa sawit.

Aktivis lingkungan hidup telah menekan perusahaan yang membeli minyak nabati dari Indonesia agar perusahaan kelapa sawit untuk menerapkan pengembangan perkebunan kelapa sawit yang ramah lingkungan.

CIFOR kini mulai mengerjakan proyek serupa yang memetakan pulau penghasil sawit utama di Sumatera seperti dikutip Reuters yang dilansir MailOnline.

"Ini baru permulaan," kata Gaveau. "Idenya adalah bahwa kita akan memiliki sistem yang jauh lebih maju di masa depan yang akan membuat perusahaan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan sehingga pembeli dan konsumen dapat mengambil sikap terhadap pemilik perkebunan kelapa sawit."

RESEARCHERS have created for the first time a detailed map that will help buyers and consumers of palm oil work out whether the supply chain is harming forests on the Southeast Asian island of Borneo.

Developed over the past year, the "Borneo Atlas" was unveiled this week by the Indonesia-based Center for International Forestry Research (CIFOR).

The map shows the location and ownership of 467 palm-oil mills on Borneo, which is shared by Indonesia, Malaysia and Brunei, and is one of the biggest island producers of the cheap, edible oil.

"It is the most comprehensive data set so far," David Gaveau, an environmental scientist at CIFOR, told the Thomson Reuters Foundation. Mapping of palm mills is more than 90 percent complete for the whole island, he added.

To create the Borneo Atlas, CIFOR researchers sifted through online and other documents published by companies, non-governmental organisations, palm-oil certification agencies, mapping websites and social media networks.

A tool linked to the Borneo Atlas will use regularly updated satellite imagery to show a 10-km (6-mile) radius around each mill, detailing its impact on nearby forested areas and any expansion of existing plantations.

Users can also bring up a high-resolution image of each palm mill using Google Maps.

It is hoped the new map will help palm oil buyers and traders trace their supply chain more clearly, and identify whether it is tainted with deforestation, said Gaveau.

"By showing plantations, mills and all (the) infrastructure associated, people will be able to realise the full impact of palm oil planting on forests," he said.

CIFOR is now collaborating with the World Resources Institute think tank and Greenpeace to improve land ownership identification for the atlas.

Next year, it will add ports used by the palm mills to ship the vegetable oil, and it is also working to identify which banks are funding plantation developments.

"We use it for investigations and to educate people about deforestation," said Zhang Wen, executive director at Singapore environment group People's Movement to Stop Haze. "It holds companies accountable for the change of the landscape."

CIFOR plans to team up with Trase, an online transparency platform which could help link ports with European importers, exporters and buyers to complete the supply chain.

Palm oil, used in thousands of household products from snack foods to soaps, as well as to make biodiesel, has come under increasing fire in Europe for causing forest destruction.

Borneo, the world's third largest island, has about 8.3 million hectares of oil palm plantations.

Environmental activists have pressured consumer companies into demanding that their palm oil suppliers adopt more environmentally sustainable forestry practices.

CIFOR has now begun working on a similar project mapping Indonesia's other key palm-producing island of Sumatra.

"This is just the start," said Gaveau. "The idea is that we will have much more advanced systems in the future that will hold companies accountable for their environmental commitments."