Indonesia Perangi Berita Palsu Jelang Pilkada Disorot Dunia

Indonesia Battles Fake News as Elections Loom

Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi


Indonesia Perangi Berita Palsu Jelang Pilkada Disorot Dunia
Foto: AFP/MailOnline

INDONESIA sedang berperang melawan gelombang berita palsu dan ujaran kebencian di jagat maya menjelang pemilihan presiden pada 2019, dengan serangkaian penangkapan terhadap para pelakunya karena berpotensi mengancam persatuan dan toleransi beragama di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia.

Reputasi Indonesia sebagai bangsa pluralis dan memelihara toleransi telah diuji dalam beberapa bulan terakhir, setelah kelompok konservatif mengeksploitasi media sosial untuk menyebarkan kebohongan dan membidik kaum minoritas.

Polisi berupaya mengungkap, mengumpulkan anggota Muslim Cyber Army (MCA), kelompok terpisah dalam kluster yang dituding memanfaatkan Facebook, Instagram dan Twitter untuk menyerang pemerintah.

Dua dari kelompok yang paling terkenal mengklaim bahwa puluhan ulama Islam telah diserang oleh kaum kiri dan partai komunis yang dilarang di Indonesia bersiap bangkit, menurut polisi.

Komunisme - dan ciri atheisnya - tetap menjadi topik tabu di Indonesia, di mana pembersihan berdarah di bawah kediktatoran Suharto di pertengahan dekade 1960an membunuh setengah juta orang yang dicurigai sebagai kaum komunis.

Ketua Satgas Nusantara Polri, Irjen Pol Gatot Eddy Pramono, mengatakan bahwa kelompok tersebut ingin membuat pemerintah tidak stabil dan "menciptakan konflik sosial".

Meskipun Indonesia telah mengetahui upaya tersebut sebelumnya - - termasuk kampanye hitam melawan Presiden Joko Widodo selama pemilihan presiden 2014 - tindakan keras baru-baru ini mencerminkan ketidakpercayaan para pejabat tentang kemungkinan dampaknya terhadap kampanye pemilihan.

Indonesia akan mengadakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada bulan Juni, menjelang pemilihan presiden pada 2019.

Bulan lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengumumkan bahwa pihaknya telah meluncurkan perangkat lunak baru untuk mengidentifikasi situs berita palsu, sementara Presiden Joko Widodo - menyanggah berita bohong di internet yang menudingnya sebagai komunis - telah meresmikan badan keamanan cyber baru pada bulan Januari.

Berita Hoax
Masalah Indonesia terhadap berita palsu dan kampanye hitam mencapai puncaknya menjelang Pilkada DKI Jakarta pada akhir 2016 dan awal 2017, dan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang harus menanggung kekalahan.

Ahok - adalah penganut Kristen dan etnis China pertama - menjadi target kelompok garis keras Islam setelah sebuah video hasil editan memperlihatkan bahwa dia menghina Alquran.

Tuduhan tersebut menarik ratusan ribu Muslim konservatif ke jalan-jalan di Jakarta dalam demonstrasi besar, dan menyebabkan Ahok yang sangat populer - pasangan Jokowi saat menjadi Gubernur DKI Jakarta - dipenjara karena kasus penistaan agama setelah kalah dalam Pilkada DKI menghadapi Anis Baswedan.

Muslim Cyber Army memainkan peran penting dalam menyebarkan konten yang menyerang Ahok dan non-Muslim.

"MCA yang mengorganisir dan memanaskan situasi," kata Savic Ali, direktur departemen media Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Muslim moderat terbesar di Indonesia.

"Ada sentimen yang jelas tentang agama di banyak akunnya."

Kelompok ini memiliki setidaknya empat kelompok yang didorong ideologis yang menyebarkan materi didukung perangkat lunak - atau dengan melakukan peretasan ke akun online lawan, kata Damar Juniarto, koordinator Indonesia untuk kelompok hak asasi digital SAFENET.

Satu kelompok mendorong radikal Islam dan pembentukan kekhalifahan, sementara yang lain mendukung tokoh politik dan militer konservatif yang menentang Joko Widodo.

"Mereka menjadi ancaman bagi Pileg dan Pilpres tahun 2019," kata Juniarto.

"Apa yang ingin mereka lakukan sekarang, tahun 2018, adalah tiruan apa yang terjadi di Jakarta untuk dilakukan di tempat lain,

Literasi Digital
Polisi menyatakan komitmennya untuk bersiaga menghadapi hoax, tapi pekerjaan mereka tidaklah mudah.

Sekitar 130 juta orang Indonesia - sekitar setengah dari populasi - menghabiskan rata-rata hampir tiga setengah jam sehari di media sosial, salah satu tingkat tertinggi di dunia, menurut data dari agen kreatif yang berbasis di London We Are Social dan manajemen platform media sosial Hootsuite.

Indonesia juga dianggap terlambat untuk memperkenalkan program keaksaraan digital, kata para ahli.

"Banyak orang Indonesia mungkin berpikir bahwa setiap artikel dan video di internet adalah benar," kata Ali.

"Mereka tidak tahu itu salah."

Indonesia telah lama dipuji karena menerapkan Islam yang moderat dan inklusif, dan secara resmi menjamin kebebasan beribadah untuk enam agama yang diakui negara.

Namun minoritas - termasuk warga non Muslim dan LGBT - menjadi target dalam beberapa tahun terakhir dan berita palsu seperti menyiram bensin ke api, kata Juniarto dari SAFENET.

"Ini bisa dengan mudah menjadi segregasi dan konflik yang nyata jika tidak ada yang melakukan sesuatu," tambahnya seperti dikutip AFP yang dilansir MailOnline.

INDONESIA is battling a wave of fake news and online hate speech ahead of presidential elections in 2019, as a string of arrests underscore fears it could crack open social and religious fault lines in the world's largest Muslim-majority country.

The pluralist nation's reputation as a bastion of tolerance has been tested in recent months, as conservative groups exploit social media to spread lies and target minorities.

Police have cracked down, rounding up members of the Muslim Cyber Army (MCA), a cluster of loosely connected groups accused of using Facebook, Instagram and Twitter to attack the government and stoke religious extremism.

Two of the group's most high-profile falsehoods were claims that dozens of Islamic clerics had been assaulted by leftists and that Indonesia's outlawed communist party was on the rise, according to police.

Communism -- and its hallmark atheist beliefs -- remains a taboo subject in Indonesia, where bloody purges under the Suharto dictatorship in the mid-1960s killed half a million suspected leftists.

Gatot Eddy Pramono, the National Police's head of social affairs, has said the group wants to destabilise government and "create social conflict".

Although the Southeast Asian nation has seen Internet hoaxes before -- including smear campaigns against President Joko Widodo during the 2014 presidential elections -- the recent clampdown reflects authorities' mounting unease about their possible impact on election campaigning.

Indonesia will hold simultaneous regional elections in June, ahead of a presidential ballot in 2019.

Last month, the communications ministry announced it was deploying new software to identify fake news websites, while Widodo -- who has battled false Internet claims that he is a communist -- inaugurated a new cyber security agency in January.

- Cyber hoaxes -
Indonesia's problem with internet hoaxes and misinformation campaigns reached fever pitch in the lead up to elections in Jakarta in late 2016 and early 2017, with incumbent governor Basuki Tjahaja Purnama, nicknamed Ahok, bearing the brunt of it.

Ahok -- the city's first Christian and ethnically Chinese leader -- was lambasted by Islamic hardliners after an edited video appeared to show him insulting the Koran.

The allegations drew hundreds of thousands of conservative Muslims onto the streets of Jakarta in major protests, and led to the once-popular Ahok - an ally of Widodo -- being jailed for blasphemy after losing the election to a Muslim challenger.

The Muslim Cyber Army played a pivotal role in disseminating content attacking Ahok and non-Muslims.

"MCA was organising and agitating with this case," said Savic Ali, director of the media department at Nahdlatul Ulama (NU), Indonesia's largest moderate Muslim organisation.

"There was a clear sentiment about religion in many of its accounts."

The group has at least four ideologically driven clusters that spread inflammatory material with the help of bots -- software programmes that run repetitive tasks -- or by hacking into opponents' online accounts, said Damar Juniarto, Indonesia coordinator for digital rights group SAFENET.

One cluster pushed radical Islam and the establishment of a caliphate, while others supported conservative political and military figures opposed to Widodo.

"They pose a threat to the national election in 2019," Juniarto said.

"What they want to do now, in 2018, is copy what happened in Jakarta in other parts of the country."

- Digital literacy -
Police have pledged to be on high alert for hoaxes, but they have their work cut out.

Some 130 million Indonesians -- about half the population -- spend an average of nearly three-and-a-half hours a day on social media, one of the highest rates in the world, according to data from London-based creative agency We Are Social and social media management platform Hootsuite.

The country was also late to introduce digital literacy programmes, experts say.

"Many Indonesian people maybe think that every article and video on the internet is right," Ali said.

"They don't know it is false."

Indonesia has long been praised for its moderate, inclusive brand of Islam, and it officially guarantees freedom of worship for six religions.

But minorities -- including Non-Muslims and LGBT people -- have been increasingly targeted in recent years and fake news is adding fuel to the fire, SAFENET's Juniarto said.

"This can easily become real segregation and conflict if nobody does anything about it," he added.