Pemerintah RI Mengembangkan Lahan Sorgum 1.000 Hektar di NTT

Indonesia Developing Sorghum in East Nusa Tenggara Province

Reporter : Gusmiati Waris
Editor : Cahyani Harzi
Translator : Dhelia Gani


Pemerintah RI Mengembangkan Lahan Sorgum 1.000 Hektar di NTT
Maria Loretha bersama petani sorgum di Flores, NTT dan Mentan Andi Amran Sulaiman menerima kunjungan Maria Loretha di kantornya didampingi Kepala Biro Humas Kementan, Agung Hendriadi (inset) Foto2: istimewa

Jakarta (B2B) - Kementerian Pertanian RI akan mengembangkan lahan sorgum 1.000 hektar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki banyak lahan marginal karena tidak dapat ditanami padi, jagung, dan komoditas pangan lainnya namun dapat dimanfaatkan untuk ditanami sorgum.

"Kementan berencana mengembangkan sorgum di lahan seluas seribu hektar di NTT, dan sorgum kerap ditanam oleh petani sebagai tanaman sela atau tumpang sari dengan tanaman lainnya," kata Menteri Pertanian RI Andi Amran Sulaiman di kantornya di Ragunan, Jakarta, belum lama ini saat bertemu dengan Maria Loretha, penggagas dan pendamping budidaya sorgum di Flores, NTT.

Mentan mengapresiasi langkah Maria Loretha mendorong pengembangan sorgum di lahan marginal di NTT, dan masyarakat setempat telah memanfaatkan sorgum sebagai pangan pokok sehingga tidak tergantung pada beras.

Amran Sulaiman menambahkan bahwa sorgum adalah tanaman serbaguna yang dapat digunakan sebagai sumber pangan, pakan ternak dan bahan baku industri.

"Sebagai bahan pangan kelima, sorgum berada di urutan setelah beras, jagung, gandum dan jelai, sementara di Asia Selatan dan Afrika sub-sahara sebagai makanan pokok," kata Mentan.

Dia mengakui sorgum merupakan tanaman biji-bijian atau serelia yang dibudidayakan di daerah beriklim panas dan kering yang berasal dari Afrika sementara di Pulau Jawa, sorgum dikenal oleh petani dengan nama cantel dan ditanam sebagai tanaman sela.

Lahan Kering di NTT
Maria Loretha mengatakan banyak lahan marginal yang cocok untuk budidaya sorgum dengan nilai gizi lebih tinggi dibandingkan beras dan jagung, lahan kering dimaksud berada di Flores Timur, Lembata, Manggarai Barat, Sumba Timur dan Ende.

“Sorgum yang kami kembangkan sampai saat ini tidak menggunakan pupuk tapi menggunakan air alami saja. Air tersebut membawa unsur hara alami yang menyuburkan lahan dan untuk kebutuhan tanaman. Padahal lahan itu sudah ditanami sorgum berulang kali,” kata Maria Loretha.

Saat ini luas lahan yang dikembangkan untuk sorgum mencapai 102 hektar di Flores Timur, Lembata, Manggarai Barat, Sumba Timur dan Ende. Harga sorgum di tingkat petani Rp5.000 per kg dan harga ekspor mencapai Rp80.000 per kg.

"Untuk mengembangkan sorgum secara berkelanjutan, diperlukan bantuan pemerintah berupa mesin rontok, sosoh, penepungan dan karung untuk pasca panen," kata Maria.

Jakarta (B2B) - The Indonesian Agriculture Ministry will developing 1,000 hectares of sorghum in East Nusa Tenggara Province (NTT), which has a lot of marginal land for planting sorghum, because it is not feasible to cultivate rice, corn, and other crops, according to agriculture minister.

"The ministry will developing sorghum on a thousand hectares of land in the province, farmers often planted sorghum as an intercrop," Minister Sulaiman said at his office in Ragunan of Jakarta, recently while meeting with Maria Loretha, the  initiator of sorghum in Flores, NTT.

Mr Sulaiman praised the initiative of Maria Loretha encourage the development of sorghum on marginal land in NTT, and the local community chose sorghum as the staple food so it does not depend on rice.

Minister Sulaiman added that sorghum is a versatile plant that can be used as a staple food, animal feed and industrial raw materials.

"As a fifth staple food, sorghum selected after rice, maize, wheat and barley, while in South Asia and sub-Saharan Africa as a staple food," he said.

He admitted sorghum is a crop grown in hot and dry climates from Africa, while in Java, sorghum known by farmers as millet, and is grown as an intercrop.

Dryland in NTT
Maria Loretha said many marginal land eligible for the cultivation of sorghum, sorghum higher nutritional content than rice and corn, and dry land in NTT is in East Flores, Lembata, West Manggarai, East Sumba and Ende.

"Sorghum we developed until now do not use fertilizer but using natural water. The water carries nutrients and naturally fertile ground for plant needs. Though the land was already planted sorghum repeatedly," she said.

Currently the land area developed for sorghum reached 102 hectares in East Flores, Lembata, West Manggarai, East Sumba and Ende. Sorghum prices at farm level of 5,000 rupees per kg, the price of exports reached 80,000 rupiah per kg.

"In order to develop the sustainable of sorghum, required government assistance in the form of threshing machine, milling, flouring and sacks for post-harvest," Loretha said.