Tidak Benar Jumlah Produksi Beras Hanya di Atas Kertas


Tidak Benar Jumlah Produksi Beras Hanya di Atas Kertas

 

MAMAN SUHERMAN
Sekretaris Direktorat Jenderal Tanaman Pangan
Kementerian Pertanian RI

 

SEBAGAI bahan pangan pokok, pergerakan beras di tingkat konsumen menjadi perhatian banyak pihak terutama kaitannya dengan stabilisasi dan inflasi. Pemerintah RI melalui Kementerian Pertanian RI terus memastikan produksi dan pasokan beras tetap bisa memenuhi permintaan dengan berbagai langkah.

Pembentukan harga beras di tingkat konsumen merupakan mekanisme pasar yang secara fundamental dipengaruhi oleh pasokan dan permintaan. Namun demikian, kenaikan harga beras tidak langsung berkorelasi karena kurangnya produksi padi, tetapi lebih dipengaruhi oleh rantai pasok.

Berdasarkan data Angka Ramalan I (Aram) produksi padi lima tahun terakhir mengalami peningkatan rata-rata 4,07%. Perhitungan yang disinkronkan antara Kementerian Pertanian dan BPS tersebut menunjukkan bahwa produksi padi nasional tahun 2018 diperkirakan sebesar 83,04 juta ton gabah kering giling (GKG), apabila dikonversi ke beras sebesar 48,29 juta ton beras, sementara konsumsi beras diperkirakan sekitar 30,37 juta ton beras.

Hal itu menunjukkan suplai beras nasional masih aman hingga akhir 2018. Perhitungan angka produksi beras bukan semata-mata hitungan kementerian yang selalu koordinasi dengan BPS dalam peghitungan angka produksi. Selain itu, kementerian mencatat langsung riil kondisi di lapangan melalui koordinasi dengan petugas pengumpul data tanam atau panen dari dinas pertanian kabupaten/kota yang bertugas di tiap kecamatan untuk melaporkan setiap hari luas tambah tanam (LTT) padi. Jadi tidak benar dikatakan bahwa angka produksi hanya di atas kertas.

Terkait musim kemarau, produksi gabah di petani memang sangat berkaitan dengan ketersediaan air. Bagi lahan irigasi, air tersedia sepanjang tahun. Apabila terjadi  kemarau panjang maka kebutuhan air dapat dibantu dengan memanfaatkan pompa air, baik dari bantuan pemerintah pusat/daerah maupun secara swadaya. 

Kendati begitu, kemarau tidak melanda seluruh Indonesia, karena ada wilayah/daerah yang kondusif untuk ditanami. Ketika musim tanam berlangsung kondusif, kementerian membantu percepatan dengan bantuan alat dan mesin pertanian untuk pengolahan tanah dan tanam. Begitu juga saat panen, dipercepat dengan menggunakan mesin combine harvester, juga bantuan alat pengering pasca panen. Kementerian juga terus mendorong kecukupan produksi beras di perbatasan dengan memberikan bantuan rice milling unit (RMU) agar petani tidak membeli beras dari luar wilayah.

Terkait dengan isu kenaikan harga beras, yang perlu dicermati adalah alur perdagangan beras memiliki rantai perdagangan yang cukup panjang. Dimulai dari petani, pedagang pengumpul, penggilingan, industri beras, pasar induk, pedagang grosir, pasar retail baik pasar modern, pasar tradisional, sampai dengan warung/kios. 

Rantai pasok inilah yang menyebabkan disparitas harga antara di tingkat petani dengan konsumen. 

Selain alur perdagangan, faktor harga juga dipengaruhi oleh sebaran tempat produksi dan sebaran tempat konsumsi, serta sebaran waktu panen. Di luar Jawa produksi melimpah, namun konsumsinya sedikit, sehingga, beras dari luar Jawa perlu distribusikan ke Jawa.

Berdasarkan laporan harga dari petugas informasi pasar, harga rata-rata beras medium di tingkat produsen/petani bulan September dan Oktober lebih rendah daripada harga rata-rata bulanan tahun 2018. Harga rata-rata beras medium di tingkat produsen/petani September sebesar Rp9.093 per kg, sedangkan pada Oktober hingga 5 Oktober sebesar 5 Oktober sebesar Rp9.131 per kg.

Angka ini masih lebih rendah dibanding harga rata-rata bulanan tahun 2018 sebesar Rp9.191,-/kg. Dibandingkan dengan Agustus pun, angka ini mengalami penurunan 0,34% dari rata-rata Agustus sebesar Rp9.128 menjadi Rp9.093 pada September.

Sementara itu, laporan harga dari Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) untuk September dan Oktober 2018 harga beras masih lebih rendah dibandingkan rata-rata bulanan tahun 2018 baik untuk jenis Cianjur, Setra, Saigon, Muncul, IR64, IR 42 dan Ketan Putih. 

Kenaikan hanya terjadi untuk jenis ketan hitam. Itupun tidak signifikan. 

Sebagai contoh dari data PIBC, beras Cianjur Kepala pada September sebesar Rp13.289 per kg, sedangkan rata-rata bulanan 2018 sebesar Rp13.738 per kg. Beras IR 42 pada September Rp11.846 per kg, sedangkan rata-rata bulanan 2018 sebesar Rp11.878 per kg. Beras IR 64 grade I pada September Rp10.342 per kg, sedangkan rata-rata bulanan 2018 sebesar Rp10.823 per kg. 

Kenaikan hanya terjadi jenis ketan hitam dari Rp15.941 per kg menjadi Rp17.688 per kg. Harga ketan putih biasa semenjak ada impor terus menurun. Untuk September 2018, harga beras ketan putih biasa Rp11.148 per kg lebih rendah dari harga beras biasa IR 42 yaitu Rp11.846 per kg. Harga ini tidak memberikan insentif bagi petani, dengan adanya impor ketan mencapai hampir 50.000 ton sampai Juli 2018.

Spekulasi bahwa ada penurunan produksi pada musim kemarau yang mengakibatkan harga terdorong naik, sudah tidak tepat lagi. Mari kita ciptakan stabilsasi harga beras pada tingkat  yang menguntungkan petani, tidak membebani konsumen dan memberikan keuntungan yang wajar bagi pedagang. (Advertorial)

 

 

Disclaimer : B2B adalah bilingual News, dan opini tanpa terjemahan inggris karena bukan tergolong berita melainkan pendapat mewakili individu dan/atau institusi. Setiap opini menjadi tanggung jawab Penulis