Pertanian, Ladang Zikir Santri Milenia


Pertanian, Ladang Zikir Santri Milenia

 

S PRADINI
Pemerhati Pertanian dan Lingkungan

Editor: M. Achsan Atjo

“YANG telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan Yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam” (Alquran, Thaha: 53)

Tidak banyak orang faham, pesantren menjadi wadah pendidikan yang mencetak manusia-manusia Islam unggulan. Dari santri yang sederhana dan bersahaja, ditempa dengan pendidikan rohani dan berimbang dengan pendidikan duniawi, menjadi dasar terbentuknya sebuah kepribadian dan karakter yang unggul. Jiwa-jiwa para santri mendapatkan pendidikan 24 jam penuh di bawah pengawasan, pembinaan dan pendampingan asatiz (para ustaz).

Hakikat pendidikan pesantren menjadikan santri  seorang insan yang tangguh dan memiliki akhlak mulia (akhlakul kharimah), sebagai modal santri kembali ´menyatu´ dengan masyarakat.

Apabila dikaji lebih jauh tentang asal usul pondok pesantren sebenarnya berasal dari jaman Nabi Muhammad SAW.  Pada saat itu banyak sahabat yang tinggal di masjid Rasullullah untuk berdzikir dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Tidak semua orangtua ´berani ambil resiko´ memasukkan putra dan putrinya ke pesantren. Imaji pesantren sebagai sebuah pondokan pendidikan, hanya mengajarkan ilmu agama, belum lagi stigma tentang kondisi pondokan yang serba sederhana. Kendati begitu, banyak sekali alumni pesantren berkiprah sebagai ´ulama´ (orang alim, yaitu orang berpendidikan dan berpengetahuan) sekaligus menjadi manusia profesional.

Sebutlah Abdurrahman Wahid, akrab disapa Gus Dur. Alumni dari tiga pesantren terkemuka di tanah air yakni Pesantren Krapyak di Yogyakarta, Pesantren Tegalrejo (Magelang, Jawa Tengah), Pesantren Tambakberas (Jombang, Jawa Timur), dan kuliah studi Islam di di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir setelah mendapat beasiswa dari Pemerintah RI pada 1963.

Gus Dur, alumni pesantren dengan puncak karier tertinggi sebagai Presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999 - 23 Juli 2001).

Sesungguhnya, pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama dan tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu  umum. Fikih adalah ilmu umum, karena dengan itu seharusnya santri ber-muammallah. Matematika juga ilmu agama, karena dengan itu manusia tahu perhitungan tahun untuk penentuan waktu ibadah.

Terbukti, Aljabar berasal dari Bahasa Arab al-jabr yang berarti ´pertemuan´, ´hubungan´ atau ´perampungan´ adalah cabang matematika yang dapat dicirikan sebagai generalisasi dari bidang Aritmatika. Aljabar juga merupakan nama sebuah struktur aljabar abstrak, yaitu aljabar dalam sebuah bidang.

Aljabar dikenal dunia setelah ditulis oleh matematikawan Persia, Muhammad ibn Musa Al-Khawarizm dalam bukunya ´Al-Kitab aj-jabr wa al-Muqabala´ dan dipakai hingga kini sebagai bagian dari matematika.

Tidak banyak pula yang tahu, angka yang kita gunakan saat ini (0,1,2,3,4,5,6,7,8,9) berasal dari angka Arab yang tersebar ke seluruh dunia melalui perdagangan, buku dan kolonialisme Eropa. Saat ini, Angka Arab adalah simbol representasi angka yang paling umum digunakan di dunia.

Secara yuridis, pesantren diakui oleh hukum positif sejak diundangkannya UU Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003, Pasal 40 Ayat 4. Eksistensi pesantren dikukuhkan Peraturan Pemerintah Nomor 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

Karakter Santri
Santri sebuah pesantren pada umumnya anak anak berusia enam hingga 18 tahun, yang termasuk dalam kategori generasi muda.

Masa muda adalah masa penuh gelora. Disebut demikian, karena di masa inilah semua orientasi kehidupan diwukudkan dalam bentuk emosi jiwa yang ekspresif. Semangat tinggi, suka tantangan, rela berkorban, suka cita dan harapan, serta bernyali.

Apabila para insan muda ini dimanfaatkan untuk kondisi dan keadaan yang tepat, akan tercipta kekuatan luar biasa dahsyat. Vice versa. Kekuatan apa sebenarnya yang ada di balik kekuatan para santri - generasi muda ini?

Terdapat beberapa hal yang dapat dibangun terus-menerus agar para santri dapat menjadi agent of change dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pertama, budi pekerti. Rasulullah Muhammad SAW diutus hadir di tengah umat manusia untuk menyempurnakan budi pekerti (ahlak). Meskipun keimanan dan ketauhidan menjadi dasar penting kehidupan manusia, namun anjuran beriman dan bertauhid pada hakikatnya untuk menyempurnakan budi pekerti agar menjadi lebih mulia. Setinggi apa pun pendidikan, jabatan dan derajat seseorang, pertama kali yang akan dinilai dan diukur adalah budi pekertinya.

Demikian pula dengan santri generasi muda, dalam melakukan perubahan selayaknya dilakukan atas dasar kemuliaan budi pekertinya, output penggemblengan karakter selama ´nyantri´.

Kedua, berbadan sehat. "Seorang mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada setiap keduanya ada kebaikan" (HR Muslim).

Kesehatan adalah satu dari sekian banyak kenikmatan yang diberikan Sang Pencipta kepada mahluk ciptaan-Nya. Santri, sebagai generasi muda haruslah seorang manusia yang kuat, tangguh dan sehat. Dengan begitu, mereka akan siap beraktivitas, berjuang dan bekerja. Santri yang senantiasa menjaga kesehatan jiwa dan raganya menjadi bentuk rasa syukurnya kepada Allah.

Ketiga, berpengetahuan dan berwawasan luas. Pengetahuan adalah inti dari peradaban. Kesuksesan sebuah peradaban dinilai dari berkembang atau tidaknya pengetahuan pada zamannya.

Santri - generasi muda memegang kendali dan proporsi lebih banyak dalam perkembangan sebuah pengetahuan. "Iqro ..... Bacalah", demikian firman Allah SWT yang pertama diturunkan bagi umat manusia.

Perintah untuk membaca ini bermakna sangat dalam. Santri - generasi muda diperintahkan untuk menggunakan karunia akalnya untuk berfikir dan mempelajari tanda-tanda keberadaan dan kekuasaan Allah di dunia. Alangkah indahnya, seorang santri hafidz Quran (penghafal Al Quran) namun dia juga seorang ahli mesin. Tidak ada salahnya seorang santri belajar tentang berbagai hal termasuk pertanian.

Pengetahuan santri bisa ditingkatkan dan diperluas dengan berbagai hal. Sumbernya dapat diambil dari buku, pengalaman orang lain, memperhatikan, menyimak dan mencontoh aktivitas, bahkan di era Industri 4.0 segala macam informasi dapat dijelajahi dari jagat maya.

Keempat, berpikiran bebas. Berpikir bebas yang dimaksud di sini bukan bebas tanpa batasan, namun kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Bebas berpikir yang dimaksud adalah mampu memahami persoalan secara utuh dan diyakini kebenarannya sehingga santri generasi muda diharapkan dapat menjadi perekat umat. Ketika santri - generasi muda ini dihadapkan pada dunia nyata, maka dia mampu mempertimbangkan banyak hal secara menyeluruh, dia tetap menjaga spiritualitasnya dan tetap berimbang semua aktivitas sosialnya.

Dzikir dengan Bertani
Masyarakat umum mengenal pesantren sebagai institusi yang mengajarkan dan menjalankan nilai-nilai agama secara detail, khusus dan intensif. Tidak banyak masyarakat luas melihat sisi positif dari lembaga keagamaan ini. Selain belajar agama, mayoritas pesantren menjalankan aktivitas pertanian untuk penghidupannya. Disadari atau tidak, banyak di antara mereka telah berkiprah dalam pembangunan dan bergerak melakukan pembaharuan bagi masyarakat sekitar, terutama keterlibatan dalam membangun sektor pertanian Indonesia.

Pesantren sebagai salah satu lembaga sosial yang berbasis  agama, memiliki potensi dan kekuatan yang diharapkan mampu menjadi penggerak nilai-nilai luhur dalam kehidupan  termasuk menjaga tradisi pertanian. Pesantren yang sudah mengakar dalam masyarakat, untuk mempertahankan keberadaannya dituntut memiliki peran ganda (multifungsi). 

Pesantren sebagai lembaga keagamaan tidak hanya membangun karakter manusia tetapi juga berpartisipasi dalam pembangunan, termasuk dalam pembangunan pertanian  khususnya keberlanjutan pangan. Selain itu, pesantren sebagai sebuah institusi berpengaruh terhadap konvensi sosial (pasar dan setting administrasi) serta struktur sosial yang terkait dengan perilaku manusia (nilai, aturan, kebiasaan, moral dan sebagainya).

Mayoritas pesantren tetap mempertahankan cara hidup dengan bercocok tanam - bertani  yang sudah menjadi kebiasaan turun temurun. Awalnya, bercocok tanam dilakukan pesantren untuk memenuhi kebutuhan terutama pangan bagi warga pesantren.

Siapa yang menanam? Santri dan asatiz bergiat untuk bertani, baik itu menanam, beternak maupun mengolah hasilnya untuk langsung dapat dikonsumsi.

Cara bertani pun awalnya cenderung menerapkan cara konvensional. Lambat laun, ilmu bercocok tanam semakin berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia, sehingga ilmu bertani para santri pun berkembang. Tidak hanya menanam, memelihara, kemudian panen dan hasilnya diolah, saat ini para santri telah mampu menjalankan usaha pertanian dengan orientasi usaha.

Santri - generasi muda disiapkan terus-menerus untuk menjadi manusia saleh. Saleh dalam bahasa Arab berarti ´shaluha´ yang bermakna baik, sempurna, tidak cacat, patut, pantas dan bermanfaat. Kata saleh sebagai kata sifat umumnya melekat dengan kata kerja, semisal bertani yang baik dapat disebut juga dengan ´bertani yang saleh´. Kendatipun secara linguistik kurang tepat, namun hal ini menunjukkan bahwa kata saleh sejatinya tidak bermakna sempit.

Jika ditelisik lebih mendalam, kata saleh di dunia saat ini dapat dipadankan dengan kata profesional. Kesalehan seorang santri dalam bertani, menjadi kunci keberhasilannya dalam usaha tani.

Saat seseorang santri menjalankan fungsinya sebagai seorang khalifah di muka bumi dengan baik, maka dia dapat disebut profesional. Santri yang profesional dapat dikatakan sebagai santri yang bersungguh-sungguh, tekun, produktif, dan optimal. Ketika santri menjalankan aktivitas pertanian secara bersungguh-sungguh sehingga dia produktif, saat itulah dia dikatakan memiliki profesionalisme.

Pesantren mengajarkan dan menanamkan secara intensif  nilai-nilai spiritual sebagai penjabaran saleh dan profesional yang mewarnai pemikiran, sikap dan perilaku santri. Santri bertani, harus dilakukan dengan dasar dan semangat ibadah kepada Allah dan pengabdian bagi sesama dan mahluk lainnya.

Ditanamkan dalam benak santri, bahwa tugas mereka adalah menanam, memelihara dan merawat serta memanen hasilnya. Perkara tumbuh atau tidak, menjadi kuasa Sang Pencipta. Selama bertani, santri tetap berdoa dan memohon kebaikan aktivitas bertaninya.

Diajarkan juga pada diri santri, hasil yang mereka tanam harus dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan bagi semua mahluk di dunia, tidak hanya manusia, burung, ayam, sapi, kambing bahkan cacing juga harus dapat merasakan manfaat dari hasil yang ditanam.

Santri bertani diajarkan dengan cara-cara yang benar, pengetahuan bertani yang tidak menimbulkan kerusakan dan tidak merugikan mahluk apa pun. Santri menanam dengan benih yang bagus, menggunakan pupuk yang yang aman untuk tanah dan tanaman, menghilangkan gulma dan hama dengan cara yang alami dan aman, menggunakan air yang bersih tidak tercemar zat berbahaya, mengolahnya pun harus dengan cara cara layak dan benar.

Inilah, cara santri tetap melakukan ´dzikir´, mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam dengan cara-cara yang benar agar tidak merusak alam sekitarnya.

Pertanian pula yang menjadi semangat utama dari Darul Falllah, pondok pesantren di kawasan Ciampea Bogor, Jawa Barat mengembangkan diri sebagai Yayasan Pesantren Pertanian Darul Fallah. Didukung fasilitas sistem pertanian terpadu seperti mesin pasteurisasi susu, instalasi biogas dari kotoran ternak, sapi perah, pabrik pembuatan pupuk bokasi, dan laboratorium kultur jaringan di atas lahan lebih dari empat hektar.

Ajaran Islam selalu menyerukan umatnya agar senantiasa bekerja dan berjuang. Kitab suci Al Quran banyak sekali ayat yang menyampaikan firman Allah SWT tentang bekerja kreatif dan aktivitas yang produktif. Santri yang bekerja dengan saleh - profesional termasuk dalam kelas manusia yang terhormat.

Kerja manusia dapat dikatakan sebagai sumber nilai yang nyata. Jika seseorang tidak bekerja maka dia tidak akan mendatangkan manfaat dan tidak memiliki nilai.

Ungkapan ini didasari oleh Alquran Al Anam 132, "Dan tiap tiap orang memperoleh derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan."

 

Keterangan Foto: Santri muda bertani (Foto: istimewa)

 

Disclaimer : B2B adalah bilingual News, dan opini tanpa terjemahan inggris karena bukan tergolong berita melainkan pendapat mewakili individu dan/atau institusi. Setiap opini menjadi tanggung jawab Penulis