Produksi Jagung Surplus, Kementan Fokus Kualitas Hasil dan Kesejahteraan Petani


Produksi Jagung Surplus, Kementan Fokus Kualitas Hasil dan Kesejahteraan Petani

 

SYUKUR IWANTORO
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian RI

 

SETELAH sekian lama menjadi importir jagung, Indonesia mengubah mindset menjadi eksportir jagung dengan mendukung dan mendorong petani meningkatkan produksi jagung, sehingga Indonesia tidak lagi tergantung impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, bahkan sudah mampu mengekspor ke mancanegara khususnya Filipina dan Malaysia.

Produksi jagung di seluruh Indonesia dalam lima tahun terakhir meningkat rata-rata 12,49% per tahun mengacu pada data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan di Kementerian Pertanian RI.

Artinya, produksi jagung 2018 diperkirakan mencapai 30 juta ton pipilan kering disingkat PK. Hal ini juga didukung oleh data luas panen per tahun yang rata-rata meningkat 11,06%, dan produktivitas rata-rata meningkat 1,42% mengacu pada data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) untuk produksi jagung tahun ini.

Prakiraan ketersediaan produksi jagung bulan ini, November 2018 mencapai 1,51 juta ton, dari luas panen 282.381 hektar. Estimasi untuk Desember 2018 1,53 juta ton dari luas panen 285.993 hektar. 

Sementara dari sisi kebutuhan, mengacu pada data Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan, tahun ini diperkirakan sekitar 15, 5 juta ton PK. Digunakan untuk pakan ternak 7,76 juta ton PK, peternak mandiri 2,52 juta ton PK, kebutuhan benih 120 ribu ton PK, dan industri pangan 4,76 juta ton PK.

Artinya. Indonesia masih surplus 12,98 juta ton PK, dan bahkan telah ekspor jagung ke Philipina dan Malaysia sebanyak 372.990 ton. 

Kelebihan produksi tersebut diperoleh setelah menghitung perkiraan produksi 2018 dikurangi dengan proyeksi kebutuhan jagung nasional. Hal tersebut sekaligus menepis anggapan bahwa pakan ternak yang naik belakangan ini diakibatkan oleh melesetnya data produksi.

Secara umum produksi jagung nasional saat ini sangat baik merujuk pada masa panen. Di wilayah Indonesia bagian barat panen berlangsung pada Januari hingga Maret, mencakup 37% dari produksi nasional. Di wilayah Indonesia bagian timur, panen cenderung mulai April hingga Mei. 

Sebarannya di 10 sentra produksi yakni: Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Gorontolo, Lampung, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sumatera Barat, dan Jawa Barat dengan total produksi 24,24 juta ton PK atau 83,8% produksi jagung terkonsentrasi di 10 provinsi tersebut.

Kondisi yang terjadi seperti saat ini, di mana harga jagung di beberapa lokasi sentra industri pakan meningkat, bukan berarti produksi dan pasokan jagung dari petani dalam negeri bermasalah.

Ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi meningkatnya harga jagung di suatu lokasi, terutama karena sebaran waktu dan lokasi produksi yang bervariasi. Di samping itu, pabrikan pakan ternak/konsumen yang terfokus pada lokasi tertentu saja seperti Medan, Banten, Jabar, Jateng, Surabaya, Sulsel.

Terkait harga jagung untuk pakan ternak, kebutuhan jagung untuk pabrik pakan saat ini mencapai 50% dari total kebutuhan nasional sehingga sensitif terhadap gejolak. Kendalanya, beberapa pabrik pakan ternak tidak berlokasi di sentra produksi jagung, sehingga perlu dijembatani antara sentra produksi dengan pengguna agar biaya logistiknya menjadi lebih murah. 

Saat ini tercatat ada 93 pabrik pakan ternak yang tersebar di beberapa provisi yakni 11 unit di Sumatera Utara, Sumatera Barat (1), Lampung (5), Banten (16), Jawa Barat (11), DKI Jakarta (6), Jawa Tengah (12), Jawa Timur (21), Kalimantan Barat (1), Kalimantan Selatan (2), Sulawesi Selatan (7).

Dari 93 pabrik pakan ternak terungkap bahwa 25 unit pabrik pakan ternak tidak berada di sentra produksi jagung yakni Banten, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan.

Tahun 2018, Pemerintah RI bertekad memenuhi kebutuhan jagung sepenuhnya dari produksi dalam negeri tanpa impor jagung. Target tersebut akan dicapai Kementan dengan mengalokasikan bantuan benih jagung seluas 2,8 juta hektare yang tersebar di 33 Provinsi sesuai dengan potensi lahan, lokasi pabrik pakan, dan ekspor. Dampak dari kebijakan ini sudah dirasakan dengan adanya peningkatan produksi.

Selain bantuan benih, Kementan tahun ini juga telah menganggarkan pengembangan fasilitas pengering jagung (dryer) sebanyak 1.000 unit untuk petani. Hal ini dilakukan karena sebagian besar petani jagung tidak memiliki alat pengering, sehingga memicu persoalan kualitas jagung yang dipanen pada musim hujan kurang baik dan cenderung basah.

Pemerintah provinsi juga didorong untuk berperan dengan membangun buffer storage, yaitu menyerap surplus produksi pada waktu puncak panen, dan menyimpannya untuk dilepas kembali pada waktu produksi menurun.

Persoalan lain yang juga perlu diselesaikan adalah menyederhanakan rantai pasok. Alur perdagangan jagung saat ini umumnya masih panjang dan menyebabkan harga cenderung tinggi. Jagung dari petani biasanya dijual ke pedagang pengumpul, dan selanjutnya dijual lagi ke pedagang besar. Dari pedagang besar ini, barulah dipasarkan ke industri.

Terkait distribusi, terdapat perbedaaan biaya transportasi tujuan penjualan pasar domestik dan tujuan ekspor. Sebagai contoh, biaya tranportasi Tanjung Priok, Jakarta ke Tanjung Pandan, Belitung lebih mahal dibandingkan biaya transportasi Tanjung Priok ke Pelabuhan Port Klang di Malaysia. Untuk transportasi dari Tanjung Priok ke Pelabuhan Tanjung Pandan, tiket untuk mobil angkut dengan kapasitas  14 ton mencapai Rp33 juta. Biaya ini belum termasuk biaya solar mobil dan biaya lainnya. Sementara Tanjung Priok ke Pelabuhan Port Klang Malaysia dengan kapasitas 24 sampai 27 ton hanya membutuhkan biaya US$1.750 atau sekitar Rp2,6 juta. Biaya tersebut tersebut sudah termasuk dengan pengurusan semua dokumen.

Upaya Kementerian Perdagangan membangun sistem resi gudang di berbagai daerah belum berfungsi optimal, sehingga petani tetap terpaku pada sistem konvensional. 

Berdasarkan laporan lapangan misalnya, gudang dan pengering untuk resi gudang yang tidak berfungsi optimal di empat kabupaten: Luwu Raya, Minahasa Selatan, Garut, dan Lampung. 

Seharusnya, ketika terjadi akumulasi panen pada suatu periode, program resi gudang dimaksimalkan agar nilai tambah dan risiko produsen serta konsumen dapat dimitigasi.

Harga jagung di lapangan juga tidak sebesar yang banyak diberitakan. Berdasarkan informasi dari Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan (PPHTP) Gatut Sumbogodjati, pada Bulan Oktober 2018 ini harga jagung hanya sekitar Rp3.691 bahkan 3 bulan yang lalu harga jagung sempat turun di Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara hingga Rp2.887. 

Upaya menjembatani disparitas harga menjadi penting, karena harga jagung yang dinilai meningkat akhir-akhir bukanlah karena kekurangan stok. Pasalnya, harga di tingkat petani lalu ditambah dengan biaya pengolahan dan penyusutan bobot akibat pengeringan mencapai 15% maka harga jagung di pengguna akhir tidak lebih dari Rp 4.250 per kg. 

Hal ini menunjukkan disparitas harga di petani dan di industri yang menjadi indikasi sudah sangat mendesak dilakukan pembenahan rantai pasok jagung.

Persoalan jagung bukan hanya masalah produksi. Kenapa pada saat harga tinggi banyak yang komplain masalah produksi? Padahal data menunjukkan produksi kita surplus. Harus dugarisbawahi persoalan konektivitas sentra produksi ke pengguna jagung yang memusat di beberapa provinsi saja.

Untuk mengatasi hal tersebut, Kementan berinisiatif menyediakan 1.000 alat pengering (dryer) untuk pengolahan pascapanen, agar jagung bisa disimpan dan ditransportasikan dengan baik sehingga bisa meminimalisir terjadinya disparitas harga. Di Indonesia kapasitas pengeringan industri pakan masih rendah karena sebagian masih belum memiliki dryer atau ruang penyimpanan yang cukup besar. 

Kementan akan senantiasa membantu industri pakan atau pengguna lainnya yang kesulitan mencari jagung. Pengguna yang kesulitan mendapatkan jagung dapat langsung berkomunikasi dengan Direktorat Serealia Kementan. 

Dalam jangka panjang, Kementan menyatakan siap mendampingi terbentuknya kemitraan business to business (B to B) antara industri pakan dengan gabungan kelompok tani (Gapoktan) sehingga industri mendapat jagung sesuai spesifikasi yang diinginkan dan pasokan jagungnya terjamin.(Advertorial)

 

 

Disclaimer : B2B adalah bilingual News, dan opini tanpa terjemahan inggris karena bukan tergolong berita melainkan pendapat mewakili individu dan/atau institusi. Setiap opini menjadi tanggung jawab Penulis