Tambora: Gunung Paling Mematikan di Dunia, Ini Kisah Suram pasca Letusan 1815

Indonesia`s Mount Tambora, the Horrifying History of the World`s Deadliest Volcano

Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi


Tambora: Gunung Paling Mematikan di Dunia, Ini Kisah Suram pasca Letusan 1815
Kawasan ini sekarang dikenal sebagai Taman Nasional Gunung Tambora dan menawarkan kesempatan trekking dan berkemah - Anda dapat berjalan kaki ke puncak gunung dan bahkan turun ke kawah (Foto2: MailOnline)

SUDAH LEBIH dari 200 tahun sejak Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat (NTB) meletus hebat, mengakibatkan kematian dan kekacauan dalam skala global.

Menurut The Guinness Book of World Records, Gunung Tambora adalah gunung berapi yang paling mematikan dalam sejarah.

MailOnline Travel mengungkapkan sejarah mengerikan - namun tetap luar biasa - tentang letusan dan bagaimana leluasanya wisatawan saat ini mengintip kawahnya yang luar biasa.

Gunung Tambora adalah stratovolcano atau gunung berapi aktif - artinya terdiri atas lapisan abu dan lahar - di pulau Sumbawa di NTB, yang di masa kolonial dikenal sebagai Hindia Belanda.

Letusannya pada 1815 menewaskan seketika sekitar 10.000 orang, sementara dampak dari ledakan tersebut memicu gelombang tsunami yang dahsyat dan kemudian mengakibatkan kekeringan dan kelaparan, yang kemudian menelan korban tewas hingga 100.000 orang.

Jumlah kematian yang tepat bervariasi dengan beberapa sumber yang mengatakan bahwa sebanyak 120.000 orang tewas sementara yang lainnya menyebutkan angka kematian sekitar 70.000 orang.

Gunung Tambora mulai meletus tepat sebelum matahari terbenam pada 5 April 1815 dan berlanjut selama lima hari terus-menerus, letusan terganas terjadi pada 10 April.

Letusan Tambora terdengar hingga sejauh 2.000 kilometer.

Bebatuan cair melayang lebih dari 40 kilometer ke langit dan selubung tebal abunya menyebar lebih dari satu juta kilometer persegi. Totalnya, sekitar 140 miliar ton batu, abu dan puing-puing dimuntahkan ke langit.

Seluruh wilayah bencana terjebak dalam kegelapan.

Lelehan lava menghantam laut yang mengelilingi Pulau Sumbawa dengan kekuatan dan volume yang begitu besar sehingga tsunami yang mematikan setinggi empat meter mulai bergerak.

Bebatuan lava - yang dimuntahkan dari gunung berapi - terlihat mengapung di sekitar lautan oleh para pelaut selama bertahun-tahun setelah ledakan tersebut.

Namun dampak ledakan Gunung Tambora tidak hanya berdampak ke Indonesia atau Asia saja. Konsekuensi letusannya mempengaruhi seluruh dunia.

Periode setelah letusan secara luas dikenal dunia sebagai 'tahun tanpa musim panas', dengan sebagian besar belahan bumi utara tidak melihat perubahan musiman - bertahan pada musim dingin yang suram berlangsung sepanjang tahun.

Iklim yang dingin - yang disebabkan oleh kurang sinar matahari yang melewati stratosfer setelah terjadinya gunung berapi - mengakibatkan kekacauan.

Dampak paling terlihat adalah sulitnya mengeringkan pakaian di kawasan subtropis pada 'musim panas' menjadi masalah pelik.

Laporan pembekuan pakaian pada garis cuci di tengah 'musim panas' adalah yang paling tidak bermasalah.

Suhu yang dingin mengakibatkan pertumbuhan tanaman pangan tidak maksimal mengakibatkan kekurangan pangan di banyak negara dan dalam beberapa kasus, seperti Irlandia, memicu paceklik dan kelaparan.

Konsekuensi lain yang luar biasa dari ledakan Gunung Tambora dan cuaca suram yang diikuti adalah produksi beberapa buku paling mengerikan dalam sejarah sastra.

Sekelompok penulis, termasuk Mary Shelley, terpaksa bertahan di dalam vila mereka di Danau Jenewa dan itu pula yang membuat mereka lebih kreatif menulis karena hujan tiada henti dan cuaca dingin.

Mereka melewati waktu dengan berkompetisi untuk menghasilkan cerita yang paling menakutkan - dan inilah bagaimana karakter Frankenstein tercipta.

Sungguh menakjubkan untuk berpikir bahwa karena tidak ada teknologi modern yang membuat manusia masa itu begitu terhubung seperti hari ini, tidak ada yang tahu bahwa penyebab udara dingin dan kelaparan adalah letusan gunung berapi di Asia.

Gunung Tambora sekali waktu pernah disamakan dengan Mont Blanc (tinggi 4.810 meter) yang meletus pada 1815. Hari ini tinggi gunung sekitar 2.722 meter kedalaman kawah 1.100 meter.

Kawasan ini sekarang dikenal sebagai Taman Nasional Gunung Tambora dan menawarkan kesempatan trekking dan berkemah - Anda dapat berjalan kaki ke puncak gunung dan bahkan turun ke kawah di gunung berapi.

Anda kemungkinan hanya akan menjadi salah satu dari sedikit orang yang berada di jalan setapak tersebut: pada promosi 2016 Visit Tambora - yang mengatur perjalanan ke puncak - hanya 60 trekker atau lebih dalam sehari.

Arkeolog juga tertarik pada daerah tersebut mengingat artefak dari desa Tambora, yang hancur saat letusan tahun 1815, telah ditemukan dalam beberapa tahun terakhir.

Wisatawan juga dapat menikmati keindahan alam pulau Moyo yang tidak berpenghuni di dekatnya - dengan babi hutannya, lenguh rusa dan air terjun yang dramatis seperti dilansir MailOnline.

IT HAS BEEN over 200 years since Mount Tambora in Indonesia erupted violently, resulting in death and disorder on a global scale. 

According to The Guinness Book of World Records it is the deadliest volcano in history.

Here MailOnline Travel reveals the horrifying - but fascinating - history of the blast and how tourists today can take a peek at its incredible crater.

Mount Tambora is an active stratovolcano - meaning it is made up of layers of ash and lava - on the island of Sumbawa in Indonesia, once known as the Dutch East Indies.

Its eruption in 1815 killed around 10,000 people instantly, while the fallout from the blast included formidable tsunami waves and then famine and starvation, which took the death toll up to some 100,000 people.

The exact number of fatalities varies with some sources saying as many as 120,000 people were killed while others put the figure at around 70,000.   

Mount Tambora began to erupt just before sunset on 5 April 1815 and continued for five further days, blasting even more ferociously on 10 April.

The eruptions were heard 2,000 kilometres (1,242 miles) away.

Molten rock shot more than 40 kilometres (24 miles) into the sky and a thick veil of ash spread over a million square kilometres (386,000 square miles). In total, around 140billion tonnes of rock, ash and debris was flung into the sky.

The entire region was plunged into darkness.

Debris hit the sea surrounding the island with such force and in such huge volumes that deadly tsunamis up to four metres high (13ft) were set in motion.

Islands of pumice - having been ejected from the volcano - were spotted floating in surrounding seas by sailors for years after the blast.

But the impact of Mount Tambora's blast wasn't localised to Indonesia or even Asia. The consequences of such an explosion affected the entire world.

The period following the eruption is widely known as the 'year without a summer', with much of the northern hemisphere seeing no seasonal change - enduring a bleak, year-round winter.

The cold climate - caused by less sunlight passing through the stratosphere in the wake of the volcano - caused chaos.

Reports of clothes freezing on washing lines in the middle of 'summer' were the least of the troubles.

The biting temperatures resulted in poor crop growth and therefore food shortages in many countries and in some cases, such as Ireland, out-and-out famine.

Another extraordinary consequence of Mount Tambora's explosion and the gloomy weather that followed was the production of some of the most terrifying books in the history of literature.

A group of writers, including Mary Shelley, were kept inside their villa on Lake Geneva for much of their holiday thanks to rainy, cold days.

To pass the time they competed to produce the most frightening story - and this is how Frankenstein was dreamed up.

It's amazing to think that because there was none of the modern technology that keeps us so connected today, no one had any idea that the reason for the cold and hunger was an exploding mountain in Asia.

Mount Tambora was once similar in stature to Mont Blanc (4,810 metres/15,780ft) but the 1815 eruption blew its top off. Today it stands at about 2,722 metres (8,930ft) and has a 1,100-metre-deep crater (3,608ft).

The area is now known as Mount Tambora National Park and offers trekking and camping opportunities - you can hike to the rim and even descend into the volcano's deep crater.

You're likely to be one of only very few people on such a trail though: in 2016 Visit Tambora - which organises the hikes - welcomed only 60 or so trekkers.

Archaeologists are also interested in the area given that artefacts from the village of Tambora, which was decimated during the eruption of 1815, have been discovered in recent years.

Travellers can also take in the natural beauty of the uninhabited Moyo island nearby - with its wild pigs, barking deer and dramatic waterfalls.