ROSADI JAMANI
Ketua Satupena Kalbar
SEHARIAN ini, akun saya seperti ingin meledak. Ribuan komentar membanjiri, penuh dengan kemarahan, frustrasi, dan air mata virtual dari para pejuang CASN/PPPK.
Mereka marah, kecewa, dan tak tahu harus mengadu ke siapa lagi. Semua emosi itu tertuju pada Menteri PAN RB, Rini Widyantini.
Saya pikir hanya akan menjadi badai sesaat di media sosial, ternyata saya salah. Ini bukan sekadar gemuruh di dunia maya, tetapi dentuman kemarahan yang siap mengguncang ibu kota.
Seruan aksi itu saya temukan bertebaran di media sosial. Begini bunyinya: “Aksi Tolak Penundaan Pengangkatan CASN/PPPK TA 2024.
Mendesak MenPANRB untuk mencabut surat edaran tentang penyesuaian jadwal pengangkatan CASN/PPPK TA 2024.
Nasib 4 juta CASN/PPPK Dipertaruhkan. 10 Maret 2025 pukul 08.30 WIB s/d selesai. Acara: Seruan Aksi di DPR RI, MenPAN RB, Istana Negara.”
Empat juta nasib sedang digantung. Empat juta mimpi sedang diremuk tanpa ampun. Empat juta hati yang tadinya penuh harapan, kini dikecewakan oleh janji-janji yang entah ke mana hilangnya.
Terus terang, saya ikut prihatin. Maka dari itu, lewat tulisan ini saya mencoba menyuarakan jeritan hati mereka. Semoga kata-kata ini bisa menembus dinding tebal ruang-ruang kebijakan, menembus kepala para pemegang kepentingan, terutama sang pemegang palu terakhir, Presiden Prabowo.
Ya, beliau satu-satunya orang yang bisa memutuskan, apakah mereka akan segera diangkat, atau akan terus menunggu tanpa kepastian hingga tahun depan, atau malah lebih lama lagi.
Ironisnya, di tengah penderitaan para CASN/PPPK ini, ada kabar lain yang bikin hati makin ngilu. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dengan santainya memasukkan 11 kader PSI ke dalam tim Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030.
Mereka 11 orang itu akan digaji negara Rp50 juta per bulan. Coba bayangkan dengan para honorer itu, miris sekali.
Sementara itu, di sisi lain, salah satu pejuang PPPK mengirim pesan kepada saya. Isinya seperti tamparan keras bagi siapa saja yang masih punya hati nurani:
“Bang, kami sudah lulus. Nama kami diumumkan se-Indonesia Raya. Kami sudah isi DRH, tinggal menunggu NIP. Lalu tiba-tiba, pada tanggal 27 Januari 2025, kami dinyatakan tidak mendapat formasi.
Alasannya? Ada THK II yang ‘tidak terbaca’ oleh sistem. Kami sudah mengadu ke mana-mana sejak saat itu. Sekarang, malah semua yang lulus harus menunggu lagi entah sampai kapan.
"Bang, kami takut! Kemarin saja, dalam hitungan minggu, ada tiga kali penggeseran. Apalagi kalau ditunda lama, pasti makin banyak yang digeser diam-diam.”
“Kami sudah syukuran, kami sudah merayakan, kami sudah memeluk orang tua kami dengan air mata kebahagiaan.
Sekarang? Ada yang masuk rumah sakit karena stres. Ada yang ibunya kena serangan jantung. Ada yang mentalnya hancur berkeping-keping.
Kami dinyatakan sehat jasmani dan rohani saat pemberkasan, tapi kalau kami diperiksa lagi sekarang, mungkin sudah tidak sehat lagi. Bang, kami hancur…”
Sungguh, ini bukan sekadar soal penundaan. Ini soal rasa keadilan yang diinjak-injak. Bagaimana mungkin pengumuman seleksi nasional yang seharusnya sakral, bisa dipermainkan sesuka hati?
Bagaimana mungkin seseorang yang sudah diumumkan lulus, bisa tiba-tiba dianggap tidak ada? Jika sistem yang dipakai sudah canggih, kenapa bisa terjadi kesalahan?
Kalau pun ada kesalahan, kenapa bukan yang bertanggung jawab yang dihukum, malah peserta yang jadi korban?
Banyak lagi ungkapan kesedihan mereka. Saya hanya tukang ngopi, namun bisa merasakan perihnya hati mereka. Tetap perjuangkan hak kalian.
Negara sudah berjanji. Negara juga harus menepati. Jangan sampai, kau yang mulai kau pula yang mengakhiri. #camanewak