MESIR menghitung hari ´pertumpahan darah´ yang kian meluas setelah pemerintah yang didukung militer bertindak represif terhadap para pendukung presiden terguling Mohammed Morsi dan menyatakan keadaan darurat.

Setidaknya 525 orang tewas dan 1.400 terluka di seluruh Mesir, sebagian besar korban tewas dan cedera terjadi di Kairo, seperti dilansir Mail Online.

Pasukan keamanan di ibukota Mesir menggunakan mobil lapis baja, buldoser dan helikopter untuk membubarkan dua pusat konsentrasi yang didukung kelompok Ikhwanul Muslimin.

Laporan menyebutkan bahwa penembak jitu dan senapan mesin digunakan untuk menghadapi demonstran, sementara Ikhwanul mengklaim ratusan pemrotes tewas.

Dua wartawan juga tewas, juru kamera Sky News, Mick Deane, 61 tahun, dan wartawan Abd Elaziz, 26, yang bekerja untuk Gulf News.

Tindak kekerasan tersebut dikutuk oleh masyarakat internasional dan mendorong pengunduran diri wakil presiden Mohamed ElBaradei.

Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian dan pemimpin pro-reformasi memilih mundur setelah mengatakan ia tidak siap untuk bertanggung jawab meskipun bagi ´setetes darah´ korban.

Morsi telah ditahan di sebuah lokasi yang dirahasiakan sejak digulingkan oleh gelombang protes yang didukung pihak militer pada awal Juli.

Dia hanya berkuasa kurang dari setahun di Mesir setelah terpilih secara demokratis untuk pertama kalinya di negara itu, di tengah tuduhan dari lawan politiknya bahwa dia mengabaikan masalah ekonomi Mesir dalam mempromosikan agenda Islam dan berubah menjadi seorang diktator.

Para anggota senior Ikhwanul Muslimin terpilih setelah revolusi 2011 yang menggulingkan penguasa

otoriter
 Presiden Hosni Mubarak, tetapi masyarakat internasional mengatakan prospek demokratis di Mesir tampaknya makin sulit dicapai akibat meningkatnya tindak kekerasan.

Jatuhnya banyak korban tewas setelah setidaknya 250 orang tewas dalam bentrokan sejak berlangsungnya kudeta kedua.

Dalam sebuah pernyataan tertulis, Ikhwanul Muslimin mengatakan: "Dunia tidak bisa duduk saja dan menonton ketika pria, wanita dan anak-anak yang tidak bersalah tanpa pandang bulu dibantai. Dunia harus bertindak menghadapi kejahatan junta militer sebelum semuanya terlambat."

Juru bicara Gedung Putih Josh Earnest tidak mengatakan apakah pertumpahan darah akan mendorong AS memotong bantuan militer senilai US$1,3 miliar kepada Mesir, sebagai negara berpenduduk terpadat di Arab.

"Dunia menyaksikan apa yang terjadi di Kairo," katanya. "Kami mendesak pemerintah Mesir - dan semua pihak di Mesir - untuk menahan diri dari kekerasan dan menyelesaikan perbedaan mereka secara damai."

Kantor perdana menteri Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan kekerasan adalah ´pukulan serius bagi harapan kembali ke demokrasi´.

Dan David Cameron mengatakan tindakan pasukan keamanan ´tidak akan menyelesaikan apa-apa´

´Apa yang diperlukan di Mesir merupakan transisi murni untuk demokrasi yang sejati. Itu berarti kompromi dari semua pihak - para pendukung Presiden Morsi tetapi juga militer - itulah yang harus terjadi," kata perdana menteri Inggris, seperti dilansir metro.co.uk.

"Kami tidak mendukung kekerasan ini, kami mengutuk sepenuhnya, itu tidak akan memecahkan masalah."