Piala Dunia `Sekarat`, Kalah Pamor dari Liga Champions?

The World Cup is `Dying`, not a Patch on the Champions League?

Editor : Cahyani Harzi
Translator : Dhelia Gani


Piala Dunia `Sekarat`, Kalah Pamor dari Liga Champions?
Piala Dunia adalah kompetisi terbesar sepak bola tetapi kompetisi itu sedang sekarat. Perlu penyelamatan dan jalan keluar, mungkin dengan menggelar turnamen musim dingin (Foto2: Mail Online)

PIALA Dunia adalah kompetisi terbesar sepak bola tetapi kompetisi itu sedang sekarat. Perlu penyelamatan dan jalan keluar, mungkin dengan menggelar turnamen musim dingin.

Ada kecemasan tentang prospek Piala Dunia 2022 yang dipentaskan di tengah-tengah liga domestik.

Situasi tersebut dipicu panas terik Qatar di musim panas, tetapi jika sukses jangan heran jika FIFA mendorongnya untuk menjadinorma, tulis Jamie Carragher seperti dilansir Mail Online.

Turnamen musim panas kini terasa membosankan dan jarang memenuhi harapan. Didahului oleh kualifikasi bahwa, padahal, selalu gagal untuk melahirkan tim nasional berkualitas. Laga sepak bola internasional tidak bisa bersaing dengan permainan antarklub.

Apakah Anda akan lebih bersemangat menonton: Spanyol vs Perancis atau juara Spanyol (Barcelona) melawan juara Perancis (Paris Saint-Germain)?

Saya memilih untuk menyaksikan laga antarklub setiap kali menonton sepak bola.

Ada alasan jelas mengapa Piala Dunia gagal untuk menghasilkan kegembiraan yang sama seperti yang pernah dilakukan dahulu. Para pemain lebih cepat lelah secara fisik dan mental terbakar kerasnya persaingan antarklub di liga domestik.

Ini bukan alasan bagi Inggris untuk merasa lelah. Jumlah laga yang dimainkan liga domestik melelahkan dan harus bersaing di kompetisi internasional.

Pikirkan tentang hal ini. Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo layak disebut sebagai pemain hebat sepanjang masa, tapi tidak mampu mendominasi turnamen seperti dilakukan Diego Maradona pada 1986. Kelelahan adalah jawaban pastinya. Kalau mereka bermain di sebuah turnamen musim dingin keduanya akan dijamin berada dalam kondisi puncak.

Saya ingat pengalaman saya sendiri berada di Piala Dunia. Ketika Inggris pergi ke Jerman pada 2006, saya mengawali musim laga pada 13 Juli 2005. Saya bermain di 70 pertandingan tahun itu. Ketika Inggris menghadapi Portugal di perempat final di Gelsenkirchen pada 1 Juli, saya sudah kelelahan.

Itu bukan turnamen yang menyenangkan untuk bermain, terutama karena kondisi kelelahan. Dalam satu pertandingan melawan Trinidad & Tobago di bawah panas terik panas, saya harus mandi es di babak pertama untuk mendinginkan suhu tubuh. David Beckham, sementara itu, bermain dalam kondisi kesakitan selama pertandingan melawan Ekuador.

Panas di Qatar berlangsung sepanjang tahun tetapi omong kosong untuk berpikir bahwa Piala Dunia Eropa tidak terpengaruh oleh suhu ekstrim. Suhu panas selalu terasa saat berlaga di Piala Dunia.

Kami telah melihat beberapa timnas yang brilian dalam dua dekade terakhir - terutama Spanyol pada 2010 dan Perancis pada 1998 - tetapi turnamen tidak lagi memiliki daya tarik yang sama dan dibiarkan tertinggal di belakang Liga Champions.

Liga Champions dinilai sebagai kompetisi terbaik di dunia saat ini, sedangkan kualitas permainan yang Anda lihat, khususnya terhadap tahap-tahap terakhir, berada di bawah level Piala Dunia.

Memenangkan Piala Dunia tetap menjadi idaman para pemain top di klub-klub dunia, hanya karena bisa menang sekali dalam empat tahun. Hal ini tidak sampai ke kualitas kompetisi. Liga Champions telah menjadi ujian terpenting kehebatan sepak bola.

Dan liputan yang luar biasa pada Liga Champions mengakibatkan pada redupnya kemeriahan Piala Dunia. Dulu ada mistik dan kegembiraan tentang saat Anda muda ketika melihat sederet pemain hebat seperti Pele, Johan Cruyff dan Zico.

Turnamen Piala Dunia 1986 adalah yang paling berkesan bagi saya. Terlepas dari inspirasi Maradona dari Argentina dan Gary Lineker yang memenangkan Sepatu Emast, hal besar bagi saya sebagai seorang anak ketika melihat Michael Laudrup dan Emilio Butragueno bermain ´hebat´. Mereka tampil hebat.

Sekarang Anda dapat melihat pemain asing yang besar kapanpun Anda inginkan, baik dengan mengklik di internet atau beralih di televisi. Bila Anda kemudian tidak melihat mereka tampil hebat seperti diharapkan, tentu akan muncul kekecewaan.

Ini akan membunuh FIFA bahwa UEFA sekarang memiliki kompetisi yang paling penting dan mereka ingin meningkatkan kualitasnya. Mereka harus menempatkankembali Piala Dunia sebagai kompetisi paling penting di dunia, jadi mungkin beralih ke kompetisi musim dingin akan menjadi solusi.

FIFA sendiri tidak berniat memberikan peluang bagi Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 dan hal itu dapat dimengerti. Saya sangat terpukul dengan keputusan menggelikan. Ketika Anda memikirkan infrastruktur dan stadion di sini di Inggris, itu masih sulit untuk menerimanya. Namun, jauhkan Qatar dari pikiran Anda dan pikirkan apa Piala Dunia musim dingin dapat diselenggarakan.

THE World Cup is football’s greatest prize but the competition is dying. It needs saving and the way to do that might be with a winter tournament.

There has been outrage about the prospect of the 2022 World Cup being staged in the middle of a domestic campaign.

The circumstances may be extraordinary due to the extreme heat of a Qatar summer, but if it is a success do not be surprised if FIFA pushes for this to become the norm.

Summer tournaments have become tedious and rarely live up to expectations now. They are preceded by qualifiers that, in the main, invariably fail to generate interest. International football simply cannot compete with the club game.

What would you be more excited about watching: Spain versus France or Spain’s champions (Barcelona) against France’s champions (Paris Saint-Germain)?

I would say the vast majority would go with the club collision every time.

There is a clear reason why World Cups fail to generate the same excitement as they once did. Players are going to them when they are close to being physically exhausted and mentally burnt out after the rigours of a club campaign.

This is not a tired old English excuse. The number of games played in seasons gone by may be identical but there is a vast difference in the amount of ground players cover now and the intensity they produce.

Think about it. Lionel Messi and Cristiano Ronaldo deserve mentioning alongside football’s all-time greats but neither has dominated a tournament in the way Diego Maradona did in 1986. Fatigue has clearly played a part. If they played at a winter tournament both would be guaranteed to be in peak condition.

I remember my own experience of being at a World Cup. When England went to Germany in 2006, my season started on July 13, 2005. I played 70 games that year. By the time England took on Portugal in the quarter-finals in Gelsenkirchen on July 1, I was almost on my knees.

It wasn’t an enjoyable tournament to play in, mainly due to the stifling conditions. In one match against Trinidad & Tobago it was so hot I had to get an ice bath at half-time to cool down. David Beckham, meanwhile, was sick on the pitch during a game against Ecuador.

The heat in Qatar would be intense at any time of year but it is nonsense to think that European World Cups are not affected by extreme temperatures. It has always been hot at World Cups.

We have seen some brilliant winners in the last two decades — notably Spain in 2010 and France in 1998 — but the tournament no longer has the same draw and it has been left trailing in the wake of the Champions League.

The Champions League is where the world’s best are judged now, while the quality of the games you see, particularly towards the latter stages, are on another level to the World Cup.

Winning a World Cup remains the most exclusive club a footballer can join but that is only because you can only win it once every four years. It is not down to the quality of the competition. The Champions League has become football’s purest test.

And the tremendous exposure the Champions League receives is another aspect that has added to the World Cup’s demise. There used to be a mystique and excitement about tuning in when you were younger finally to see the names you had read about such as Pele, Johan Cruyff and Zico.

The 1986 tournament is the one that has stayed with me. Apart from Maradona inspiring Argentina and Gary Lineker winning the Golden Boot, the big thing for me as a kid was being able to see Michael Laudrup and Emilio Butragueno playing ‘live’. They didn’t disappoint.

Now you can see great foreign players whenever you want, either by clicking on the internet or switching on the television. When you then don’t see them produce the dazzling skills you have come to expect, there is an inevitable sense of feeling let down.

It will be killing FIFA that UEFA now has the most important competition and they will want to do something about that. They have to get the World Cup back on the map as the No 1 tournament in the game, so perhaps switching to winter would be the way to go.

FIFA have done themselves no favours by giving 2022 to Qatar and the opposition to that tournament is understandable. I was devastated by that ludicrous decision. When you think of the infrastructure and stadiums here in England, it’s still difficult to accept. Yet, clear Qatar from your mind and think about what a winter World Cup might be like.