Anggaran Terbatas, Kementan Komitmen Penuhi 9 Juta Ton Pupuk Bersubsidi
Indonesian Govt Oversees the Distribution of Subsidized Fertilizer for Farmers
Editor : M. Achsan Atjo
Translator : Dhelia Gani
Jakarta [B2B] - Perbaikan tata kelola pupuk bersubsidi terus diupayakan oleh Kementerian Pertanian RI meski terkendala keterbatasan anggaran, dengan komitmen maksimal 9,55 juta ton untuk memenuhi kebutuhan 2021. Sementara petani kelapa sawit meminta intervensi pemerintah lantaran harga pupuk nonsubsidi melambung hingga 120%.
Komitmen dan upaya Kementan dikemukakan Sekretaris Ditjen Prasarana dan Sarana Produksi [PSP] Gunawan; Direktur Pupuk dan Pestisida Ditjen PSP, Mohammad Hatta; Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia [Apkasindo] Gulat ME Manurung via Webinar bertajuk 'Perbaikan Tata Kelola Pupuk: Realitas dan Fakta' pada Jumat [29/10] yang digelar oleh Forum Wartawan Pertanian [Forwatan].
Sesditjen PSP Kementan, Gunawan mengatakan bahwa pupuk sebagai salah satu sarana produksi strategis bagi pertanian, tidak hanya mempengaruhi capaian produksi juga berdampak sosial, yang menjangkau 17 juta petani di 6.063 Kecamatan dari 489 Kabupaten di 34 Provinsi.
"Tata kelola pupuk bersubsidi menjadi perhatian banyak pihak, mengingat transparansi dan pertanggungjawaban sosial di Era Industri 4.0 menjadi tantangan luar biasa bagi petugas yang menanganinya," kata Gunawan.
Menurutnya, upaya peningkatan produktivitas pertanian dapat terwujud, utamanya pemupukan tepat sasaran berkontribusi tinggi pada peningkatan produksi tanaman pangan seperti padi.
Berdasarkan data Ditjen PSP Kementan, kebutuhan pupuk untuk petani mencapai 26,18 juta ton senilai Rp65 triliun dalam lima tahun terakhir, namun keterbatasan anggaran, pemerintah hanya dapat alokasikan maksimal 9,55 juta ton dengan nilai anggaran sekitar Rp32 triliun.
Muhammad Hatta menambahkan ada lima potensi masalah yakni perembesan antar wilayah, isu kelangkaan pupuk, mark up Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk di tingkat petani, alokasi menjadi tidak tepat sasaran, dan produktivitas tanaman menurun.
“Memang masalah tadi akan berdampak lebih lanjut bagi turunnya produktivitas tanaman, karena petani tidak menggunakan tepat waktu dan jumlahnya,” kata Hatta.
Tata Kelola
Kebijakan tata kelola untuk pupuk bersubsidi meliputi lima tahapan. Pertama, perencanaan maka yang menjadi tanggung jawab Kementan terutama penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok [RDKK] oleh kelompok tani didampingi penyuluh, termasuk meng-input data, verifikasi, validasi melalui sistem e-RDKK.
Kedua, pengadaan dan penyaluran pupuk oleh PT Pupuk Indonesia Holding Company [PIHC] dari Lini I - II -III - IV - Petani [yang terdaftar pada sistem eRDKK] sesuai Peraturan Menteri Perdagangan [Permendag] No 15/2013.
Ketiga, pelaksanaan supervisi secara berjenjang dari tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi dan pusat, Pengawasan oleh Tim KP3 [unsur dinas dan aparat hukum].
Keempat, kegiatan verifikasi dan validasi penyaluran dilakukan secara berjenjang oleh Tim Verifikasi dan Validasi [Verval] mulai dari kecamatan, kabupaten, provinsi hingga pusat melalui Dashboard Bank [Kartu Tani] dan sistem eVerval [KTP] berbasis Android/T-Pubers.
Kelima, pembayaran meliputi PIHC mengajukan usulan pembayaran dilengkapi dokumen sesuai persyaratan. Namun sebelumnya dilakukan verifikasi dokumen dan lapangan [sampling] oleh Tim Verval kecamatan sampai pusat. “Nah pengajuan pembayaran ke KPPN,” ujarnya.
Berpijak dari tahapan tadi, Hatta menegaskan Kementan melibatkan multi pihak dalam pengaturan tata kelola pupuk bersubsidi. Artinya, tidak bekerja sendiri dalam mengurus pupuk bersubsidi, seperti di tingkat perencanaan dijalankan Kementan, penyaluran PIHC, verifikasi dan monitoring dibantu pemerintah daerah.
KLB Pupuk Nonsubsidi
Di perkebunan sawit, petani meminta pemerintah untuk melindungi tata kelola pupuk nonsubsidi. Pasalnya, harga pupuk melonjak tinggi dalam delapan bulan terakhir, baik tunggal dan majemuk naik di kisaran 70% hingga 120%.
Ketua Umum Apkasindo, Gulat Manurung mengatakan bahwa mengungkapkan petani sawit disebut sebagai 'penyelamat ekonomi dan pahlawan devisa' namun saat harga Tandan Buah Segar [TBS] melambung, petani tidak dapat menikmati dan rencana peningkatan produktivitas karena harga pupuk melambung tinggi melebihi kenaikan harga TBS sawit.
“Di saat yang bersamaan, kami semua diobok-obok oleh produsen pupuk. Saat ini kami merasa dianaktirikan, saya sebagai ketua sudah kehabisan kata-kata menahan amarah petani sawit dari 144 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, melihat fakta harga pupuk nonsubsidi meroket tajam hingga 120%," kata Gulat.
Dia mempertanyakan lonjakan harga pupuk nonsubsidi mengikuti kenaikan harga TBS sawit. Petani sawit meminta pemerintah segera mencari tahu penyebab lonjakan harga dan meminta pabrik pupuk BUMN jangan latah dan seharusnya bertindak menjadi control, bukan sebaliknya.
“Kami (petani sawit) tidak pernah menuntut pupuk subsidi, hanya meminta pemerintah serius dan fokus mengontrol harga pupuk nonsubsidi,” kata Gulat.
Dia menambahkan bahwa Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) terancam gagal karena anggaran biaya PSR berantakan akibat kenaikan harga pupuk. Contohnya pupuk urea sudah dipatok Rp4.500/kg sebelum adanya kenaikan, namun kini melambung di atas Rp6.000/kg.
Dikatakan Gulat, selama ini petani sawit sudah sangat tertekan dengan kawasan hutan, kini justru ditambah persoalan harga pupuk KLB (kejadian luar biasa) di saat yang bersamaan pemerintah terkesan 'tiarap'.
Harga pupuk dipengaruhi tiga faktor utama yakni nilai tukar rupiah terhadap dollar, transportasi dan bahan dasar pupuk tersebut. "Menurut pengamatan kami, ketiga faktor tersebut dalam keadaan normal, kecuali bahan baku yang sedikit naik, namun hal ini idealnya tidak mengakibatkan harga pupuk naik signifikan."
“Kami berharap Komisi IV DPR RI bisa segera memanggil kementerian terkait untuk mengevaluasinya, ini sudah KLB” kata Gulat.
Harga Pokok Produksi [HPP] untuk TBS petani sewaktu harga pupuk masih normal sekitar Rp794 per kg. “Namun HPP kami sekarang Rp1.350 per kg karena 58 persen pengeluaran untuk biaya pupuk,” kata Gulat.
Alhasil pendapatan petani, katanya lagi, sekarang hanya Rp815.000 per hektar per bulan dari sebelumnya Rp1,1 juta. “Harga sawit Rp3.000 per kg, tapi kami turun pendapatan. Bisa bangkrut.” pungkasnya.
Jakarta [B2B] - Indonesian Agriculture Ministry continues to control distribution of subsidized fertilizers to target them due to the long distribution chain, dualism of prices, scarcity of products, mixing of non-subsidized and subsidized fertilizers, weakness of supervision, and counterfeiting of quota fertilizers to improve the distribution of subsidized fertilizer through Definitive Plans for Group Needs by online [e-RDKK] and Farmer Cards.
