Emisi Gas Rumah Kaca

Tekan dengan Teknologi `Climate Smart Agriculture` di Lahan Pertanian


Emisi Gas Rumah Kaca

 

PUTRI SETIA

 

AKTIVITAS manusia yang menyebabkan peningkatan emisi Gas Rumah Kaca [GRK] di atmosfer dapat menyebabkan pemanasan global. Hal ini disebabkan adanya penggunaan energi yang tidak berkelanjutan, penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan, gaya hidup, serta pola konsumsi dan produksi yang dilakukan manusia secara individual, antar wilayah dan antar negara.

Suhu permukaan bumi secara global pada 2011 hingga  2020 tercatat meningkat sebesar 1.09 derajat Celcius (0.95 - 1.20C) lebih tinggi ketimbang suhu pada 1850 hingga 1900.  

Pada 2019, emisi GRK yang berasal dari sektor energi, industri, transportasi, dan bangunan menyumbang sebesar 79% dan 22% berasal dari pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya [Agriculture, Forestry and Other Land Use disingkat AFOLU dan Intergovernmental Panel on Climate Change disingkat IPCC, 2023].

Emisi GRK pada sektor pertanian menyumbang 8% dari total emisi Indonesia. Diketahui, GRK utama dari pertanian adalah CH4 dan N2O. CH4 timbul terutama dari budidaya padi, penguraian bahan organik secara anaerobik selama fermentasi enterik dan pengelolaan pupuk kandang.

Gas N2O yang timbul berasal dari transformasi mikroba N dalam tanah dan pupuk kandang - selama pemberian pupuk kandang dan pupuk sintetis pada lahan dan melalui urin dan kotoran yang disimpan oleh hewan penggembalaan [Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian disingkat Balitbangtan, 2022].

Pada COP 21 di Paris pada 2015, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% secara mandiri dan 41% dengan bantuan internasional pada 2030, kemudian komitmen ini diteken pada Paris Agreement di tahun yang sama.

Sebagai tindak lanjut dari Paris Agreement tersebut, Indonesia mengeluarkan Nationally Determined Contribution [NDC] pertama pada 2016 yang menargetkan pengurangan emisi GRK di Indonesia seperti tercantum pada Paris Agreement.

Guna mencapai target tersebut, dikeluarkan Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 terkait penerapan Nilai Ekonomi Karbon [NEK] di Indonesia dengan mekanisme seperti: 1) Perdagangan Karbon; 2) Pembayaran Berbasis Kinerja [Result Based Payment]; 3) Retribusi/Pajak Karbon; dan 4) Mekanisme lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi [Iptek].

Untuk mencapai komitmen yang tertuang pada Paris Agreement dan NDC, diperlukan upaya yang serius dari semua pihak baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Salah satu program Kementerian Pertanian RI menghadapi Pemanasan Global dan Pengurangan Emisi GRK yakni dengan penerapan teknologi Pertanian Cerdas Iklim/Climate Smart Agriculture [CSA] yang diimplementasikan oleh Program Strategic Irrigation Modernization and Urgent Rehabilitation Project [SIMURP] bersama Pusat Penyuluhan Pertanian [Pusluhtan] dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian Kementan [BPPSDMP].

Adapun teknologi CSA yang digunakan yakni Teknologi Hemat Air atau Alternate Wet and Dry [AWD], penggunaan bibit unggul yang beremisi rendah dan tahan cekaman, penerapan teknologi pemupukan berimbang dan menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah/Rawa [PUTS/R], penggunaan serta pembuatan pupuk organik, penerapan sistem tanam Jajar Legowo dan penggunaan serta pembuatan pestisida nabati.

Selama pengimplementasian Program SIMURP sejak 2019 dilakukan kegiatan pengukuran emisi GRK pada 2021 dan 2023.

Pengukuran yang dilakukan pada 2021 di delapan provinsi dan 46 Balai Penyuluhan Pertanian [BPP] membuktikan bahwa kegiatan CSA Demplot pada Program SIMURP memberikan penurunan emisi GRK rata-rata sebesar 27% dibandingkan cara konvensional [Non-CSA].

Sedangkan hasil pengukuran yang dilakukan pada 2023 di enam provinsi dan 15 BPP menunjukkan bahwa perlakuan dari kegiatan CSA SIMURP dapat menurunkan emisi GRK sebesar 4,6 hingga 62,6% dibandingkan Non-CSA.

Hal ini menunjukkan bahwa teknologi yang diterapkan pada program ini selain dapat meningkatkan produktivitas petani, dapat pula menurunkan emisi GRK.

Diharapkan teknologi yang telah diterapkan ini dapat dilanjutkan dan direplikasi oleh para petani ke depannya, sehingga sektor pertanian dapat membantu mewujudkan target pengurangan emisi karbon yang tertuang pada Paris Agreement dan NDC.

 

 

Disclaimer : B2B adalah bilingual News, dan opini tanpa terjemahan inggris karena bukan tergolong berita melainkan pendapat mewakili individu dan/atau institusi. Setiap opini menjadi tanggung jawab Penulis