Pertanian Berwawasan Iklim

CSA Dukung Petani Atasi Perubahan Iklim


Pertanian Berwawasan Iklim

PERUBAHAN iklim menjadi salah satu kendala dalam peningkatan produktivitas karena mengakibatkan peningkatan serangan hama dan penyakit.  Intensitas hujan yang tak menentu mengakibatkan bencana banjir serta musim kering berkepanjangan yang menyebabkan puso.

Perubahan iklim global berdampak pada perubahan pola curah hujan, kenaikan suhu udara, banjir dan kekeringan.  Dampaknya jika dibiarkan akan berpotensi mengancam penurunan  produksi, produktivitas, mutu hasil pertanian, serta menurunnya efesiensi dan efektifitas distribusi pangan khususnya padi, yang dapat menghambat pencapaian tujuan pembangunan pertanian.  

Perubahan iklim global juga menyebabkan rentannya ketahanan pangan yang dapat berdampak negatif terhadap kehidupan sosial dan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat.

Untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim, Kementerian Pertanian RI melakukan kegiatan Pertanian Cerdas Iklim, atau biasa disebut Climate Smart Agricultural [CSA], yang merupakan pendekatan terpadu untuk mengelola lanskap lahan pertanian, peternakan, hutan, dan perikanan dalam mengatasi tantangan yang saling terkait antara ketahanan pangan dan perubahan iklim.

Mendukung pertanian berkelanjutan yang dapat memastikan ketahanan pangan dalam kondisi perubahan iklim. Tiga hal utama yang menjadi sasaran pencapaian melalui CSA yaitu: [1] Peningkatan Intensitas Pertanaman, produktivitas dan pendapatan sektor pertanian, [2] Mengadaptasi dan membangun ketangguhan terhadap perubahan iklim, dan [3] Sedapat mungkin mengurangi dan atau meniadakan emisi Gas Rumah Kaca.

Penerapan CSA pada lahan sawah, mampu meningkatkan hasil gabah 5% dan menurunkan emisi gas rumah kaca 37%. Pada dasarnya CSA merupakan pendekatan pada pengembangan strategi pertanian untuk mengamankan ketahanan pangan berkelanjutan dalam menghadapi kondisi perubahan iklim.

Penerapan CSA khususnya pada komoditi padi dan komoditas lainnya yang bernilai ekonomi tinggi, Penerapan teknologi CSA dapat dilakukan sesuai kondisi lapangan, diantaranya melalui:

1. Teknologi hemat air melalui sistem irigasi berselang [Intermittent] atau Irigasi Basah Kering/Alternate Wetting and Drying/Macak-macak. Padi merupakan tanaman yang membutuhkan air, bukan tanaman air. Oleh karena itu, irigasi di lahan sawah harus diperhatikan agar tanaman padi mendapat jumlah air yang cukup untuk produksinya dan tidak jenuh air.

Teknologi irigasi berselang [Intermittent] merupakan sistem budidaya yang mengatur waktu untuk kondisi lahan kering dan tergenang secara bergantian.

Pada teknologi ini, diperlukan komunikasi dan sinergi antara poktan dengan P3A untuk mengatur buka/tutupnya pintu air sehingga dengan penerapan teknologi ini dapat menghemat air secara signifikan dan mengurangi penguapan gas metan yang menyebabkan emisi GRK secara global.

Pemberian irigasi diberikan sesuai kebutuhan tanaman dengan interval waktu pemberian yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tanah.

2. Penggunaan bahan organik melalui pupuk organik. Penggunaan pupuk unorganik yang kurang bijaksana dapat menimbulkan masalah kesehatan, pencemaran lingkungan, dan gangguan keseimbangan ekologis. Selain itu, harga yang tinggi sehingga sulit dijangkau oleh petani.

Oleh karena itu, penggunaan pupuk organik yang ramah lingkungan perlu ditingkatkan.  Pembuatan pupuk organik dapat menggunakan sumber-sumber bahan organik di sekitar lahan pertanian diantaranya limbah pertanian seperti jerami dan sekam padi, gulma, batang dan tongkol jagung, semua bagian vegetatif tanaman, batang pisang, sabut kelapa; limbah kotoran ternak padat, limbah ternak cair, limbah pakan ternak, cairan biogas;.

Pembuatan pupuk organik menjadi kompos dapat dilakukan dengan cara in situ, yaitu dengan pengembalian sisa bahan organik hasil panen ke dalam tanah. Karena dengan begitu, dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah sehingga ketersediaan hara dan keanekaragaman hayati dalam tanah tersedia untuk tanaman secara berkelanjutan.

Penggunaan pupuk organik juga lebih ramah lingkungan karena mengurangi emisi GRK dan penguapan terhadap pupuk jika dibandingkan dengan pupuk kimia.  Walaupun hasilnya tidak langsung terlihat, tetapi dampak kedepan penggunaan pupuk organik akan lebih terasa dan kesehatan tanah akan terjaga.

3. Pemupukan berimbang. Pupuk merupakan salah satu faktor produksi utama selain lahan dan tenaga kerja. Pemupukan memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan hasil pertanian. Penggunaan pupuk secara berlebihan dapat menurunkan efisiensi pemupukan dan kualitas lingkungan.

Oleh karena itu, pemupukan berimbang menjadi hal yang sangat penting dalam proses produksi suatu komoditas dalam bidang pertanian, agar mendapatkan pupuk yang berimbang tentunya diperlukan penentuan takaran N, P, dan K melalui uji tanah.

Pengujian tanah dapat dilakukan dengan alat Perangkat Uji Tanah Sawah [PUTS] untuk lahan irigasi serta Perangkat Uji Tanah Rawa [PUTR] untuk lahan rawa.

4. Penggunaan bibit unggul, rendah emisi dan tinggi hasil.  Varietas benih yang adaptif terhadap perubahan iklim telah banyak dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian. Varietas unggul bersertifikat yang menghasilkan produksi padi yang tinggi serta tahan terhadap dampak perubahan iklim, tahan terhadap organisme pengganggu tanaman [OPT].  

Benih padi unggul yang adaptif terhadap perubahan iklim diantaranya: varietas rendah emisi [Ciherang, Way Apoburu, Mekongga, Inpari 13]. Dalam hal ini diperlukan pendampingan, penangkaran dan sertifikasi benih dalam pemenuhan benih bermutu melalui kerjasama dengan balai komoditas dibawah badan litbang pertanian maupun instansi terkait, seperti Badan Pengawasan dan Sertifikasi Benih [BPSB] dan Balai Penerapan Standardisasi Instrumen Pertanian [BPSIP] di masing-masing provinsi.

5. Sistem tanam jajar legowo memiliki jumlah rumpun per satuan luas lebih banyak dibandingkan dengan cara tanam tegel yang setara, misalnya tanam tegel 25 cm x 25 cm memiliki populasi 160.000 rumpun/ha, sedangkan legowo 2:1 yang setara dengan 25-50 cm x 12,5 cm memiliki populasi 213.333 rumpun.

Orientasi pertanaman jajar legowo meskipun pada populasi yang sama berpeluang menghasilkan gabah yang lebih tinggi karena lebih banyak fotosintesis yang terjadi, karena lebih efektifnya tanaman dalam menangkap radiasi surya dan mudahnya difusi gas CO2 untuk fotosintesis.

Jarak tanam yang lebar dapat memperbaiki total penangkapan cahaya oleh tanaman dapat meningkatkan hasil biji. Lebih lebarnya jarak tanam antara barisan dapat memperbaiki total radiasi cahaya yang ditangkap oleh tanaman dan dapat meningkatkan hasil.

Oleh karena itu penerapan sistem tanan jajar legowo yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat hampir dipastikan dapat meningkatkan produktivitas tanaman padi dan keuntungan bagi petani.

6. Penerapan pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman [OPT] terpadu untuk preventif. Pengendalian secara alami menggunakan pestisida nabati  yang ramah lingkungan perlu ditingkatkan. Penggunaan pestisida perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak menimbulkan masalah kesehatan, pencemaran lingkungan, dan gangguan keseimbangan ekologis.

7. Pengukuran emisi Gas Rumah Kaca [GRK].  Kegiatan ini dilakukan melalui pengukuran emisi GRK, untuk melihat perubahan emisi gas rumah kaca [CH4, N2O, CO2] pada lahan pertanian lokasi SIMURP.

Untuk mendukung pertanian cerdas iklim berkelanjutan, peran penyuluh sangat penting melalui pendampingan petani dalam menghadapi perubahan iklim, sehingga tidak berdampak negatif terhadap produksi, ekonomi dan kesejahteraan petani.

 

 

Disclaimer : B2B adalah bilingual News, dan opini tanpa terjemahan inggris karena bukan tergolong berita melainkan pendapat mewakili individu dan/atau institusi. Setiap opini menjadi tanggung jawab Penulis