Tengkulak Purwakarta ´Digocek´ Petani Pondok Salam, Ini Caranya ....

This is How Indonesian Farmers Deal with Middlemen

Editor : M. Achsan Atjo
Translator : Dhelia Gani


Tengkulak Purwakarta ´Digocek´ Petani Pondok Salam, Ini Caranya ....
Kiri ke kanan: Kepala BBPP Lembang, Bandel Hartopo; petani Dadang Sutisna; Wakil Bupati Dadan Koswara, Sekretaris BPPSDMP Surachman Suwardi; dan Kepala BPPSDMP Momon Rusmono (Foto: B2B/M. Achsan Atjo)

Purwakarta, Jabar (B2B) - Petani di Kecamatan Pondok Salam, Kabupaten Purwakarta di Provinsi Jawa Barat mengaku tidak pernah berurusan dengan tengkulak maupun bandar beras, karena hasil panen padi langsung diolah menjadi gabah kering giling (GKG) dan disimpan di lumbung keluarga, kalau pun terpaksa dijual adalah sisa hasil panen musim tanam sebelumnya, dalam setahun tiga kali panen varietas padi Ciherang dan IR64.

Fenomena langka tersebut diungkap oleh Wakil Bupati Dadan Koswara, yang diamini oleh petani setempat, Dadang Sutisna dari kelompok tani Sumber Jaya sebagai kiat mengembangkan ´lumbung keluarga´, hal itu diapresiasi oleh Kepala Badan SDM Pertanian, Momon Rusmono sebagai kiat bikin ´keok´ pengijon sehingga posisi tawar petani pun naik, yang selama ini lemah ketika berhadapan dengan kepentingan pasar.

"Kami tidak pernah paceklik karena mampu tanam dan panen tiga kali dalam setahun. Kami hanya menjual sisa beras yang tidak dimakan, itu pun setelah panen berikutnya, bukan hasil panen hari ini yang kami jual. Kalau bandar beras tidak sepakat ... ya kami cari pembeli tertinggi," kata Dadang Sutisna.

Fakta serupa dikemukakan Ketua Poktan Sumber Jaya III, Ode Sutia tentang ´lumbung keluarga´ yang membuat middleman tidak berkutik hadapi petani di Pondok Salam lantaran kebiasaan menjual kelebihan beras setelah masuk GKG baru dari hasil panen.

"Jadi begitu panen datang, kami jual gabah kering giling hasil panen kemarin. Produktivitas rata-rata tujuh ton GKG dari varietas Ciherang dan IR64" kata Ode yang memimpin 241 petani di Poktan Sumber Jaya III.

Momon Rusmono mengapresiasi kiat petani Pondok Salam yang tidak menjual langsung gabah kering panen (GKP) tapi digiling sebelum disimpan, kebiasaan positif tersebut merupakan konsep ´ketahanan keluarga´ yang menjadi landasan ketahanan pangan menuju mandiri pangan.

"Kebiasaan ini sangat menarik dan layak ditiru, karena berorientasi pada ketahanan keluarga sehingga posisi tawar petani dengan pedagang jadi setara bahkan lebih tinggi," kata Momon.

Dadan Koswara sebagai kepala daerah berharap pemerintah pusat di Jakarta menaruh perhatian lebih pada petani setempat, karena petani adalah aset bangsa untuk mendukung ketahanan pangan.

Purwakarta of West Java (B2B) - Indonesia´s Purwakarta farmers in Kecamatan Pondok Salam in West Java province claimed to have never dealt with middlemen and rice traders, if it should be sold is the previous harvest. Pondok Salam farmers three times rice harvest in a year uses varieties Ciherang and IR64.

The phenomenon was revealed by Deputy Regent Dadan Koswara, which is justified by a farmer, Dadang Sutisna of Sumber Jaya farmer group as a tip to develop ´family barn´, it was appreciated by the Director General of Agricultural Human Resources Agency, Momon Rusmonoand consequently the bargaining position of farmers also rose, which has been weak when dealing with market interests.

"We always have rice stocks because the harvest is three times a year. We only sell the excess rice, which is done after the next harvest, not the day´s harvests are for sale. If traders do not agree ... yes we are looking for buyers with the highest price," Sutisna said.

A similar fact was put forward by the head of the farmer group Ode Sutia about the ´family barn´ that caused the middleman to lose money. We sell rice last harvest. The average productivity of seven tons of grain," he said.

Mr Rusmono appreciate the tips Pondok Salam farmers who do not sell grain harvested but processed before it is stored, as the positive habits as the concept of ´family resilience´ which is the foundation of food security for food self-sufficiency.

"The habit is interesting and worthy to be imitated, because it is oriented toward family resilience so that the bargaining position of the farmers with the merchants is equal even higher," he said.

Mr. Koswara as regional head hopes the central government in Jakarta to pay more attention to local farmers, because farmers are the nation´s asset to support food security.