Kerja Keras Petani Padi Lahan Gambut, Patahkan Stigma Asing

Farmers in Indonesia`s Kuala Kampar Succeeded in Developing Rice Fields in Peatlands

Editor : M. Achsan Atjo
Translator : Dhelia Gani


Kerja Keras Petani Padi Lahan Gambut, Patahkan Stigma Asing
Warga Kuala Kampar berbondong-bondong menyambut kunker Mentan Andi Amran Sulaiman, kerja keras mereka diapresiasi pemerintah, memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri dan untuk ekspor (Foto2: B2B/Mac)

KERJA keras petani Kuala Kampar mengembangkan padi sawah dan padi ladang di lahan gambut patut diacungi jempol. Tetesan keringat mereka terhampar pada 5.000 hektar padi menguning siap panen, untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan penduduk di Pulau Mendol atau Pulau Penyalai sehingga tidak lagi tergantung pada suplai beras dari luar pulau.

Tujuh suku dan etnis bersaling silang kepentingan di pulau seluas 30.000 hektar. Penduduk mayoritas adalah suku hutan - mereka lebih suka disebut sebagai penduduk asli - hidup harmoni dengan pendatang dari Melayu, Jawa, Bugis, Minangkabau, Batak dan warga keturunan China. Tak pernah terdengar keributan dan sengkarut, semua bermuara pada keragaman.

Mereka menunjukkan persatuan NKRI, bekerja bahu-membahu mengubah tanah gambut menjadi lahan pertanian. Bukan hal mudah memang, karena gambut merupakan lahan jenuh yang tergenang air dan mengandung bahan tanaman yang membusuk, menumpuk hingga ketebalan 30 meter setelah terkumpul dalam jangka waktu lama. Lahan gambut di situ merupakan bagian kecil dari lahan gambut dunia yang mencakup tiga persen luas daratan muka Bumi.

Keletihan melakukan perjalanan dari Merauke di Provinsi Papua dan Provinsi Lampung ke Kabupaten Pelalawan di Provinsi Riau, tidak terlihat pada raut wajah Menteri Pertanian RI Andi Amran Sulaiman. Hanya tampak suka cita setelah menyaksikan hamparan padi menunduk berisi miliaran bulir gabah siap dituai, sang menteri menyadari beratnya tantangan mengubah tanah gambut menjadi lahan pertanian untuk padi.

Kuala Kampar sebagai salah satu dari 12 kecamatan di Kabupaten Pelalawan, berada di sebuah pulau yang dikenal dengan sebutan Pulau Mendol atau Pulau Penyalai. Untuk mencapai Kuala Kampar harus menaiki speedboat selama empat jam dari Pangkalan Kerinci, ibukota kabupaten ke Teluk Dalam di Pulau Mendol.

"Kami akan support mekanisasi full, tolong pak bupati dan gubernur koordinasi untuk membangun pertanian di sini. Sesuai instruksi presiden untuk membangun dari pinggir, kementerian ingin petani di sini bisa tiga kali tanam dalam setahun. Saya targetkan lahan tanam di sini 50.000 hektar setahun," kata Mentan usai melakukan panen secara simbolis dengan combine harvester pada Jumat (17/2).

Tampak di meja utama Gubernur Arsyadjuliandi Rachman, Bupati Pelalawan HM Harris, Pangdam I Bukit Barisan Mayjen TNI Lodewyk Pusung, Kapolda Riau Irjen Zulkarnain, Danrem 031 Wirabima Brigjen TNI Nurendi, Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Pemprov Riau Ferry HC, sementara Mentan hanya didampingi Tenaga Ahli Sam Herodian.

Peluang dan Tantangan
Bupati HM Harris mengatakan lahan sawah eksisting luasnya sekitar 5.000 hektar berada pada dataran fluvio-marin dan sebagian kecil pada dataran pasang surut lumpur. Hamparan sawah umumnya tanpa galangan. Tipe luapan pasang pada lahan sawah ini termasuk tipe C, maksudnya lahan tidak pernah terluapi air pasang dan air tanah kurang dari 50 cm, dan tipe luapan D atau lahan tidak pernah terluapi air pasang dan air tanah lebih 50 cm. Sementara tipe luapan A menandakan lahan selalu tertutup air pasang, dan tipe luapan B hanya terluapi oleh pasang besar.

Tanah gambut pada dataran gambut memiliki kedalaman sedang sampai dalam, sekitar dua hingga empat meter dengan tingkat kematangan gambut sedang (hemik) sampai matang (saprik) dengan PH 4,5 atau sangat masam, hal itu tampak pada air parit di tepi sawah yang berwarna hitam kecoklatan. Penggunaan lahan umumnya untuk kebun campuran seperti kelapa, pinang dan buah-buahan. Di bagian tengah dataran gambut masih berupa hutan gambut yang menjadi penyimpan air dan mengalirkannya ke Sungai Senang, Sungai Gantung, Sungai Selamet dan Sungai Cina.

"Sumber air dari hutan gambut berpotensi meningkatkan indeks pertanaman padi sawah yang saat ini ditanami satu kali dalam setahun atau IP100 dengan produksi 3,5 hingga empat ton gabah kering giling per hektar," kata kepala dinas Ferry HC kepada B2B.

Menurut penduduk setempat, Sakir, sebagian lahan dimiliki oleh pemilik lahan dari luar Pulau Mendol yang datang hanya pada saat tanam dan panen padi. Karena kurangnya, tenaga kerja maka rata-rata seorang petani harus menggarap lahan sangat luas, hingga lima hektar. Hal itu membuat upah buruh panen padi dapat mencapai sekitar 30% dari hasil panen.

Sementara cita rasa dan kelenturan nasi di lahan gambut tidak bakal dijumpai di tempat lain di Indonesia. "Mirip nasi pera' tapi warnanya putih bersih. Tidak lengket di tangan. Makan nasi Kuala Kampar kayaknya lebih enak pakai sayur atau daging berkuah," kata Rico Simanjuntak, staf Humas Kementan yang mendampingi wartawan di Kuala Kampar.

Tepis Stigma Asing
Sebagaimana diberitakan luas di media massa nasional, negara-negara maju berupaya melemahkan komoditas ekspor pertanian Indonesia, karena dinilai mengancam kepentingan ekonomi mereka di pasar global melalui protes dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lobi hingga campur tangan asing pada penyusunan regulasi, khususnya Peraturan Pemerintah (PP) No 57/2016 juncto PP No 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

"Terbitnya PP Nomor 57 tahun 2016 diduga kuat bertujuan menjatuhkan bisnis kelapa sawit di Indonesia yang berpotensi mengancam kelangsungan hutan tanaman industri atau HTI dan perkebunan kelapa sawit," Ketua Umum Himpunan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI) Supiandi Subiham kepada pers di Jakarta pada pertengahan Desember 2016 (13/12).

PP tersebut merupakan produk hukum turunan dari UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No 32/2009 yang berpotensi mengancam dua bisnis nonmigas utama penghasil devisa bagi Indonesia dari ekspor tanaman akasia dan kelapa sawit.

"Regulasi tersebut kontraproduktif, setelah menetapkan kawasan lindung seluas 30% dari seluruh kesatuan hidrologi gambut dan masalah fungsi lindung apabila ketebalan mencapai tiga meter," kata Supiandi yang didampingi Ketua Bidang Kajian Kebijakan Pertanian Agronomi, Baran Wirawan; dan Sekretaris Jenderal Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) Husnain.

Petani Kuala Kampar berhasil menepis stigma asing yang menuding Indonesia gagal memanfaatkan potensi lahan gambut, dan hasilnya terbukti dengan mengembangkan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok, beras secara mandiri dan surplus produksi dimanfaatkan untuk ekspor ke negara tetangga.

"Indonesia harus rebut potensi ekspor beras ke Singapura dan Malaysia, dari sini hanya 2,5 jam saja, sementara mereka impor dari Pakistan butuh waktu setengah hari. Kita bisa ekspor sambil menanam lalu lempar ke sana, negara pun dapat devisa karena jasa petani di sini," kata Mentan.

THE hard work of farmers in Indonesia's Kuala Kampar subdistrict developing rice on peatlands should be appreciated. Droplets of their sweat overlaid in 5,000 hectares of rice fields is ready for harvesting, for meet its own needs and peope of Mendol Island or Penyalai Island, so they no longer dependent on supplies from other islands.

Seven ethnic living in island area of 30,000 hectares. The majority population are indigenous people known as the suku hutan and they lived in harmony with entrants from other ethnic groups such as Melayu, Javanese, Bugis, Minangkabau, Batak, and ethnic Chinese. Never heard the commotion and chaos, they live in harmony despite different ethnic and cultural.

They demonstrated the unity of the Republic of Indonesia, they work hand in hand to change the peatlands into agricultural land. It is not easy, because the peatlands is saturated waterlogged land, containing decaying plant material, piled up to a thickness of 30 meters after accumulated in the long term. Peatlands there is a small part of the world's peatlands cover three percent of Earth's land area.

Exhaustion make the trip from Merauke in Papua Province and Lampung Province to Pelalawan District in Riau Province, did not look in face of Indonesia's Agriculture Minister Andi Amran Sulaiman. He looked joyful watched rice fields ready for harvest, as Minister Sulaiman realized difficulty changing peatlands into agricultural land.

Kuala Kampar as one of the 12 districts in Pelalawan district, located on an island known as Mendol Island or Penyalai Island. For visiting the Kuala Kampar by speedboat for four hours of Pangkalan Kerinci, district capital to Teluk Dalam in Mendol Island.

"We will support agricultural mechanization, please regent and governor coordinate to develop agriculture in Kuala Kampar. President Joko Widodo instructed to build from the border region, the ministry wants the farmers can be three times to plant rice in a year. I've targeted 50,000 hectares of paddy fields in year," Minister Sulaiman said after rice harvest with a combine harvester on Friday (2.17.2016).

It was attended by Governor Arsyadjuliandi Rachman, Pelalawan District HM Harris, Commander of Sumatera's Bukit Barisan Military Command Maj.Gen Lodewyk Pusung, Riau Police Chief Inspector General Zulkarnain, Commander of Riau's Wirabima Resort Military Command Brigadier General Nurendi, Head of Agriculture, Food Crops and Horticulture Riau Provincial Government Ferry HC, while Minister Sulaiman only be accompanied by special staff Sam Herodian.

Opportunities and Challenges
Regent Harris said the current rice field area around 5,000 hectares in the plains fluvio-marin, and a small portion in the tidal plains. Paddy field in general without trenches. Flood waters bathes rice fields including type C, that is not waterlogged soil and groundwater below 50 cm, and the type of inundation D or land not inundated by the tide and groundwater over 50 cm. While the type A land signifies always be covered with puddles pairs, and type B is only inundated by tidal water.

The peatlands on the plains of peat has a depth of medium to deep, about two to four meters with the maturity level of peat medium (hemik) to high (sapric) with a pH of 4.5 or very sour, it looks at the water ditch at the edge of rice fields is blackish brown. Land uses generally for coconut, betel nuts and fruits. In the middle of highlands still peatland forests for water storage and flows into Senang River, Gantung River, Selamet River and China River.

"The water source of peatland forests could potentially increase paddy rice cropping index, which is now planted once a year with a production of 3.5 to four tons of milled rice per hectare," Head of Agriculture, Food Crops and Horticulture Riau Provincial Government Ferry HC told to the B2B.

According to local farmers, Sakir, part of the paddy fields owned by the landowner from outside of Mendol Island, who came only during the paddy planting and rice harvest. Due to lack of manpower, the farmer must work alone to manage up to five hectares of rice fields. It made labor for rice harvest reached 30% of the harvest.

While taste and suppleness of rice is different from other places in Indonesia. "Similar nasi pera' but the color is white. No sticky to the touch. Eat rice of Kuala Kampar better with vegetables or soup," said Rico Simanjuntak, public relations staff in ministry, who was accompanied journalists in Kuala Kampar.

Stigma of Foreign Countries
As reported by the Indonesian media, developed countries attempt to weaken the agricultural export commodities from Indonesia through protests from non-governmental organizations (NGOs) and lobby as well as foreign interference in the various regulations such as the Indonesian Government Regulation or the PP Number 57/2016 in conjunction with the PP Number 71/2014 on the Protection and Management of Peatland Ecosystems.

"The issuance of the PP Number 57/2016 allegedly aimed to weaken the palm oil business and industrial forest in Indonesia," Mr Subiham told the press in Jakarta in mid December 2016 (12.13.2016).

The PP is a legal product of Environmental Protection and Management Law Number 32/2009 which potentially threaten contributors of foreign exchange for Indonesia from the export of non-oil sector of acacia and palm oil.

"The regulation is counterproductive, having established protected areas covering 30% of all peat hydrology, and issue various protection functions if the thickness reach three meters," he said who was accompanied by Chairman of Indonesia Agronomy Policy Studies, Baran Wirawan; and Secretary General of Indonesian Soil Science Association, Husnain.

Kuala Kampar farmers managed to ward off foreign stigma that accused Indonesia failed to exploit the potential of peatlands, and proven to develop agricultural land to meet the needs of staple foods, rice, independently and surplus production for export to neighboring countries.

"Indonesia must seize opportunities of rice exports to Singapore and Malaysia, because from here is only 2.5 hours, while imports from Pakistan takes half a day. We can export while planting, the government gets the foreign exchange because hard work of of Kuala Kampar farmers," Minister Sulaiman said.