Ada Padi Segala Menjadi


Ada Padi Segala Menjadi

 

BASUKI SETIABUDI
Penyuluh Pertanian Madya
Banyuasin, Sumatera Selatan

Editor: M. Achsan Atjo

"PEKERJAAN petani adalah yang paling menyenangkan dan penuh harapan," kata Maarten Luther, filosof Jerman.

Riyanto, warga Kabupaten Banyuasin mungkin belum pernah mendengar kata bijak dari reformis Gereja Katolik Roma. Namun dia menjalani dengan senang hati pekerjaan sebagai petani, seperti dikatakan profesor teologi kelahiran November 1483.

Lahir dan besar di Desa Telang Rejo, Riyanto faham bertani sejak belia. Sang ayah, hijrah dari Pulau Jawa ke Provinsi Sumatera Selatan mencari penghidupan lebih baik sebagai transmigran pada dekade 80-an.

Jangan bayangkan seperti hari-hari ini. Telang Rejo masih didominasi lahan rawa terbengkalai. Palembang pun masih mengandalkan Talang Betutu sebagai bandar udara. Belum ada Kambang Iwak Family Park, apalagi Jakabaring yang kondang ke seantero jagat sebagai stadion olahraga penyelenggara Asian Games 2018.

Rezim Orde Baru yang berkuasa saat itu mengembangkan program transmigrasi lantaran menyadari keuletan petani asal ´pulau padi´ arti dari Yavaka Dvipa, bahasa Sansekerta. Sejak lampau, Pulau Jawa kondang hingga ke India, karena kilauan keemasan padi diterpa sinar mentari.

Ayah Riyanto sebagai generasi pertama penghuni Telang Rejo tak gentar pada tantangan alam. Mereka yang gentar memilih hengkang kembali ke kampung halaman. Ada pula yang memilih bermukim di Palembang, ibukota provinsi, mencari peruntungan lain.

Lahir dan besar di salah satu desa dari 16 desa di Kecamatan Muara Telang, sejak kecil turun ke sawah membantu ayah dan ibunya.

Olah lahan di tanah keras dan kering berbekal cangkul. Kerbau dan sapi membantu membajak sawah. Tiba waktu tanam, bibit padi ditanam dengan cara menancapkan di sawah sembari mengontrol kondisi tanah dan mengusir hama seperti keong emas.

Lulus sekolah dasar, Riyanto memilih membantu sang ayah di sawah bertani. Pekerjaan yang paling memungkinkan digelutinya. Dia sadar Telang Rejo termasuk remote area, mendorongnya lebih serius menggarap sebagian sawah milik orangtua yang dipercayakan padanya.

"Petani itu adalah seorang yang berkeyakinan baik, orang yang bermoral tinggi, dan memiliki cinta kepada kebebasan yang kokoh," kata Che Guevara, revolusioner dan pemimpin gerilya Argentina, 1928 - 1967.

Tahun-tahun berikutnya, dia mencoba menyewa sawah rawa milik petani lain hingga 3,5 hektar. Biaya sewa rawa Rp8 jutaan per hektar selama satu tahun. Budidaya padi dan upah kerja buruh tani Rp6 juta. Tabur benih langsung alias Tabela jadi pilihan lantaran lebih irit.

Kendati menyadari kiat tersebut butuh benih padi hampir tiga kali lipat dari kebutuhan, dia meyakini tetap dapat meraih laba dari hemat waktu dan terhindar dari upah buruh tani selama masa tanam.

Anak desa. Kerja tani. Toh tidak harus gagap teknologi. Riyanto sebagai generasi milenia mengakses internet melalui smartphone. Kepingin tahu teknologi tepat guna lahan rawa untuk meningkatkan hasil panen sekaligus menambah pundi uang untuk masa tanam berikutnya.

Sebagai Muslim dia meyakini bahwa manusia wajib berusaha, Allah SWT yang menentukan hasilnya.

"Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja," petuah bijak Buya Hamka.

Riyanto menuturkan, hasil dari setiap hektar sawah yang disewanya mencapai delapan ton setiap kali panen raya. Gabah kering miliknya dihargai Rp4.700 per kg, bahkan pernah mencapai Rp5.200 per kg.

Hasil panen dia jual kepada pengumpul dari Lampung, yang menerapkan satu harga. Riyanto dan petani setempat memilih tidak berniaga dengan pengumpul lokal, karena memberlakukan harga gabah berbeda, Acuannya, kadar air.

Petani milenial layak disematkan padanya. Riyanto berhasil menanam komoditas tanaman pangan tiga kali dalam setahun di sawah rawa.

Pola tanam: padi - padi - jagung. Dari dua kali penanaman padi, hasilnya 13 ton gabah kering panen. Panen jagung hasilkan 11 ton. Dia pun meraup laba Rp14 juta per bulan dari hasil menyewa 3,5 hektar sawah rawa.

Kerja cerdas membuat Riyanto mampu membeli sawah rawa seluas 0,75 hektar seharga Rp100 juta tahun lalu. Hasil panen sedikitnya delapan ton per hektar.

Riyanto layak jadi sosok teladan dari petani milenia. Sukses menggarap lahan rawa menjadi sentra produksi padi. Dia membuktikan ´bertani itu keren dan menguntungkan´.

Semangat dan kerja keras Riyanto berbuah manis. Telang Rejo dipilih oleh Kementerian Pertanian RI sebagai lokasi proyek percontohan dari program ´selamatkan rawa sejahterakan petani´ disingkat #Serasi.

#Serasi, program yang bertujuan menjadikan rawa pasang surut Banyuasin jadi lumbung pangan nasional dengan IP 300 dan produktivitas mimimal enam ton per hektar.

Program #Serasi diinisiasi Pemerintahan Joko Widodo di bawah kendali Andi Amran Sulaiman sebagai menteri pertanian untuk menggarap jutaan hektar lahan rawa di Indonesia selama ini terbengkalai bagai ´raksasa tidur´ padahal potensinya luar biasa untuk memproduksi pangan sepanjang tahun tanpa terpengaruh kekeringan musim kemarau.

"Pemerintah siap membantu, apa pun yang dibutuhkan petani untuk mencapai tujuan dari #Serasi," kata Momon Rusmono, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Kementan.

Petani milenial bermental baja seperti Riyanto didukung mekanisasi pertanian menjadi penentu keberhasilan Kementerian Pertanian RI mengembangkan lahan rawa sebagai tumpuan masa depan produksi pangan nasional.

Ada padi segala menjadi, merupakan ´benang merah´ dari kegigihan Riyanto mengusahakan tersedianya padi sebagai sumber pangan pokok, harus diusahakan secara mandiri. Tidak tergantung pada orang lain. apalagi negeri seberang. Produksi berlimpah membuat hati senang. Keluarga sejahtera. (Liene)

 

Keterangan Foto: Riyanto, petani Telang Rejo (kaos putih bertopi) dengan penulis (kanan)

Disclaimer : B2B adalah bilingual News, dan opini tanpa terjemahan inggris karena bukan tergolong berita melainkan pendapat mewakili individu dan/atau institusi. Setiap opini menjadi tanggung jawab Penulis