"Produksi Melimpah." Perhiptani, FKP4S dan KTNA Tolak Impor Beras

Millennial Farmers Development are the Target of Indonesia`s SMKPPN Sembawa

Editor : M. Achsan Atjo
Translator : Dhelia Gani


"Produksi Melimpah." Perhiptani, FKP4S dan KTNA Tolak Impor Beras
SMKPPN SEMBAWA: Siswa SMKPPN Sembawa di Kabupaten Banyuasin, Sumsel melakukan ´pengubinan´ bersama penyuluh setempat, untuk menghitung potensi produksi padi per hektar pada lahan persawahan milik petani sehingga petani mengetahui potensi produksi lahannya.

Jakarta [B2B] - Rencana pemerintah untuk mengimpor beras, dalam upaya memenuhi Cadangan Beras Pemerintah [CBP] di Perum Badan Urusan Logistik [Bulog] menuai kritik dan penolakan dari sejumlah pihak terkait, karena produksi beras dari petani saat ini melimpah.

Perhimpunan Penyuluh Pertanian Indonesia [Perhiptani], Forum Komunikasi Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya [FKP4S] dan Kontak Tani Nelayan Andalan [KTNA] mengritik sekaligus menolak rencana impor beras dalam waktu dekat, lantaran produksi beras di dalam negeri melimpah.

Saat di temui di ruang kerjanya, Ketua Perhiptani, Fathan Al Rasyid mengatakan pemerintah tidak perlu impor beras karena cadangan beras yang ada di masyarakat cukup.

“Tidak perlu impor beras, karena sebenernya barangnya [gabah] ada di tangan petani, yang perlu dilakukan adalah gerakan penyerapan gabah dari petani," katanya di Jakarta, Kamis [1/12].

Dia mengingatkan tidak perlu emosional menghadapi isu tersebut, cadangan beras di masyarakat cukup. Petani dalam rangka ketahanan pangan keluarga punya stok. "Pedagang pengecer juga punya stok, begitu pula penggilingan padi, sedangkan di Bulog itu kan cuma 5%." 

Menurut Fathan, Bulog mungkin kesulitan karena tidak punya ´pasukan´ [personil] di tingkat lapangan untuk proses penyerapan gabah, yang punya adalah Kementerian Pertanian RI.

"Penyuluh dan kita punya koperasi. DPP Perhiptani sekarang sudah punya koperasi, yang salah satu tujuannya, untuk membantu pemerintah mencukupi cadangan nasional dan juga komersial," katanya.

Jadi kesimpulannya, Kita tidak perlu Impor, yang perlu dipikirkan itu bagaimana kita menjadi negara pengekspor beras selain mencukupi kebutuhan pangan sendiri, kita sebenarnya sudah cukup, sekarang bagaimana memikirkan kita bisa ekspor. 

Tidak usah buka hutan untuk lahan baru, kalau mau menanam padi di pinggir sungai (sawah terapung) hitung saja berapa banyak kita punya sungai yang bisa di manfaatkan. Tandas Fathan.

Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Ketua FKP4S, Andi Burhan Badurahman.

“Tidak perlu impor beras. Walaupun cadangan beras di Bulog menipis, namun cadangan beras di masyarakat masih banyak," katanya.

Solusi agar tidak impor, kata Andi, dengan menerapkan pertanian presisi dan regeneratif.

Penolakan juga datang dari Ketua Umum KTNA, Yadi Sofyan Noor melalui keterangan tertulisnya.

“Bulog bisa memenuhi gudangnya sesuai dengan jumlah yang sudah ditentukan. Kalau mau membeli gabah kering giling (GKG) atau beras petani dengan harga pasar," katanya. 

Dari pantauan di lapangan saat ini, menurut Yadi, rata-rata harga beras di penggilingan sebesar Rp10.300/kg, sementara yang ditetapkan Bulog masih Rp9.700/kg. 

Harga di penggilingan ditentukan oleh harga gabah di lapangan, rata-rata harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani sudah mencapai Rp5.800/kg.

“Kita sudah sepakat untuk memakai satu sumber data yakni BPS. Data BPS mencatat, produksi beras tahun 2022 mengalami kenaikan. BPS menghitung berdasarkan data dari produksi gabah atau beras secara nasional,” kata Yadi.

Menurut data luas panen dan produksi padi yang dirilis BPS pada Oktober 2022, total luas panen padi diperkirakan 10,61 juta hektar atau naik 1,87% dari 2021. Dari luas panen tersebut, diperkirakan total produksi padi mencapai 55,67 juta ton gabah, atau meningkat 2,31% dari 2021.

“Jika dikonversi, produksi beras diproyeksi mencapai 32,07 juta ton, meningkat 2,29 persen dari produksi tahun lalu. Jadi tidak ada alasan untuk impor beras karena stok dari panen 2022 mencukupi,” cetusnya.

Menurut Yadi, kenaikan harga BBM memicu secara berantai kenaikan sarana produksi untuk budidaya tanaman padi. Jadi wajar saja jika kemudian harga gabah ataupun beras ikut naik karena petani harus menutupi biaya produksinya.

“Ini saatnya pemerintah membuktikan kepeduliannya kepada petani, melalui Bulog untuk membeli produksi padi petani dengan harga yang ekonomis, meskipun kita sama sama mengetahui harga beras impor lebih murah.”

Masalah pangan adalah masalah kedaulatan bangsa. Ada semacam ketidakadilan bagi petani padi pada saat BBM naik. Petani ingin menjual padinya dengan harga wajar untuk menutupi biaya produksi namun selalu dibayang-bayangi oleh impor beras.

“Kita juga tidak bisa mengatakan kepada petani, ’kalau tidak untung menanam padi kenapa tidak menanam komoditas lain yang menguntungkan.

Yadi menambahkan, sebagian petani masih melakukan kegiatan panen di sentra-sentra produksi padi mulai di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur sampai Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. 

"Sebagian lagi sudah tahap tanam dan masih ada yang tahap pengolahan tanah untuk tanam bulan Desember ini," katanya lagi. [titin/timhumassmkppnsembawa]

Banyuasin of South Sumatera [B2B] - The role of agricultural vocational education in Indonesia such as the the Agricultural Development Polytechnic or the SMKPPN, to support Indonesian Agriculture Ministry seeks to maximize its efforts to produce millennial entrepreneur.

Indonesian Agriculture Minister Syahrul Indonesia Yasin Limpo stated that the government´s commitment to developing agriculture, especially in the development of advanced, independent and modern agricultural human resources.

“The goal is to increase the income of farming families and ensure national food security. Farmer regeneration is a commitment that we must immediately realize," Minister Limpo said.

He reminded about the important role of vocational education, to produce millennial farmers who have an entrepreneurial spirit.

"Through vocational education, we connect campuses with industry so that Polbangtan graduates meet their needs and are ready for new things," Limpo said.