"Tak Ada Lahan, Atap Rumah pun Jadi" untuk Tanam Cabai

Indonesian Agriculture Anticipate Covid-19 by Weaker Health Systems

Editor : M. Achsan Atjo
Translator : Dhelia Gani


"Tak Ada Lahan, Atap Rumah pun Jadi" untuk Tanam Cabai
KUNJUNGAN PEJABAT: Daliman dengan hasil panen cabai di atap rumah [kiri]; kunjungan Kepala BPTP Balitbang DIY Soeharsono [Foto2: Humas Pusluhtan]

KECINTAAN pada tanaman mendorong Daliman, dekorator pelaminan dan peternak burung ocehan seperti murai batu, cucakrowo, menekuni pertanian di tengah pandemi Covid-19 saat ini. 

Tanpa latar belakang pendidikan pertanian, tiada menghalangi tekad Daliman menanam cabai dengan baik, bahkan kini menjadi tempat bertanya bagi banyak orang yang berminat menanam komoditas pemicu inflasi tersebut.

Kecintaannya pada sektor pertanian pula, yang mendorong pria kelahiran Yogyakarta 7 Mei 1971 membangun ruang terbuka di atas rumah kost miliknya, untuk beternak burung dan menanam cabai.

Pilihannya pada pada cabai sangat beralasan, karena cabai menjadi kebutuhan sebagian besar masyarakat Indonesia yang menyukai cita rasa pedas sebagai perangsang makan serta sebagai penyedap ketika menikmati kudapan. Selain itu, cabai tergolong mudah dibudidayakan dan dipelihara.

Hal itu pula yang dilakukan Daliman, ayah dua putera dewasa, memilih polybag yang dia letakkan di pinggiran tembok [sebagai pagar] di atas bangunan terbuka ukuran 8x15 meter ini, cukup ditanami dengan berbagai sayuran, sebagian besar ditanami cabai di polybag. 

Bertanam cabai dimulai 4 tahun lalu dengan modal sekitar Rp600.000 untuk membeli benih, polybag, pupuk organik [sekam] dan tanah. Untuk penyemprot hama, dia cukup menggunakan air tembakau, selain tidak beracun juga hama tidak suka aroma tembakau.  

Kini pada saat pandemi Covid-19, dengan terbatasnya order dekorasi pelaminan dan berkurangnya pembeli  burung ocehan, Daliman terus tersenyum karena bisa  panen dua hari sekali sebanyak dua kg. Harga jualnya Rp50.000 hingga Rp80.000 per kg. Cukup menambah koceknya. Belum lagi pemasukan dari sayuran hijau seperti kacang panjang dan sawi, untuk konsumsi sendiri maupun dijual ke warung di Bantul.

Bertanam cabai di atas rumah, dia harapkan dapat menginspirasi warga sekitar. Budidaya mudah. Biaya produksi murah. Hasilkan uang bagi pembudidaya, khususnya yang bermukim di perkotaan juga bermanfaat membirukan langit kota Yogyakarta dengan tumbuhnya tanaman sayuran ini. 

Atas keberhasilan menanam cabai di atas rumah yang memiliki nilai ekonomis tinggi, menjadi perhatian Wakil Walikota Yogyakarta, Heroe Purwadi; dan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi DI Yogyakarta [BPTP Balitbang DIY] Soeharsono. 

Pengalaman bertanam diatas rumah membuktikan bahwa ´ada kemauan pasti ada ada jalan´ hal ini menjadi tantangan bagi masyarakat yang punya lahan luas namun tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan baik sehingga tidak mendatangkan rejeki bagi pemiliknya. 

Penyuluh pertanian pusat di Kementerian Pertanian RI, Sri Puji Rahayu selaku pendamping kegiatan penyuluhan pertanian Provinsi DI Yogyakarta menyatakan bahwa Menteri Pertanian RI Syahrul Yasin Limpo bahwa “pertanian tidak boleh berhenti meskipun di tengah pandemi Covid-19".

Demikian pula seruan Kepala BPPSDMP Prof Dedi Nursyamsi kepada para penyuluh dan petani meskipun wabah virus Corona.

"Pangan tidak boleh bermasalah, pangan harus tetap tersedia karena hanya pangan yang baik dan sehat akan menjaga imunitas tubuh manusia sehingga tetap sehat untuk menangkal virus Corona," kata Dedi Nursyamsi. [Liene]

INDONESIA´S Agriculture Ministry is in intensive care after testing positive for the novel coronavirus, as civil servants in head office and across the country were ordered to close over the health threat. The World Health Organization has said it is particularly concerned about high-risk nations with weaker health systems, which who may lack the facilities to identify cases.