Rempah Sumbang Devisa Rp20 Triliun Diapresiasi Mentan, "96% Perkebunan Rakyat"
20 Trillion Rupiah of Foreign Exchange for Indonesia of Spice Commodities in 2015
Reporter : Gusmiati Waris
Editor : Cahyani Harzi
Translator : Dhelia Gani
Jakarta (B2B) - Menteri Pertanian RI Andi Amran Sulaiman mengapresiasi eksistensi 56 komoditi rempah binaan perkebunan yang lebih 96% diusahakan oleh perkebunan rakyat pada lahan 1,1 juta hektar mampu memproduksi 410.000 ton dan memasok devisa sebesar US$1.500 miliar atau setara Rp20 triliun pada 2015, dan saat ini memberikan dampak positif pada perekonomian nasional.
"Saat ini luas areal pengembangan tanaman rempah mencapai 1,1 juta hektar dan yang menggembirakan komoditas ini lebih dari 96 persen diusahakan oleh perkebunan rakyat dengan rata-rata kepemilikan 0,4 hektar," kata Mentan dalam sambutannya yang dibacakan Direktur Jenderal Perkebunan, Bambang MM pada pembukaan Kongres Dewan Rempah Indonesia (DRI) di Jakarta pada Selasa (27/9).
Menurutnya, pada kondisi ekonomi yang melambat saat ini, komoditas rempah masih eksis bahkan untuk beberapa komoditi seperti lada, pala, dan cengkeh harganya melonjak tajam dan berdampak positif bagi perekonomian nasional. Dilihat dari perkembangan produksi maka Indonesia diharapkan dapat meningkatkan volume dan mutu produksinya.
Mentan seperti dikutip Bambang menambahkan bahwa faktor pendukung potensi tersebut antara lain luas lahan yang cukup sesuai untuk tanaman rempah, minat petani atau pekebun, tersedianya bahan tanam unggul, harga jual yang mendukung, dan dukungan pemerintah pusat maupun daerah yang tinggi serta potensi pasar besar.
"Namun dengan keunggulan tersebut serta kearifan lokal dan prospek pengembangan yang cerah bukan berarti kita boleh berpangku tangan, selain karena persaingan pasar yang semakin kompetitif juga adanya tuntutan non tarif barier dan kelemahan lainnya baik di on farm maupun off farm," kata Dirjen Bambang mengutip arahan Mentan Amran Sulaiman.
Angka dan Fakta
Dirjen Bambang kemudian menguraikan sejumlah angka dan fakta tentang peranan ekonomi rempah - binaan perkebunan mencapai 56 komoditi - dalam lima tahun terakhir cukup signifikan, karena pasar dunia diwarnai dengan excess demand sehingga harga cenderung meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk.
"Diikuti perkembangan industri makanan dan minuman, biofarmaka, farmasi, bisnis kecantikan dan kebugaran atau spa," kata Bambang MM yang dilantik sebagai Dirjen Perkebunan oleh Mentan pada Selasa pekan lalu (20/9) menggantikan Gamal Nasir yang memasuki masa pensiun.
Menurutnya, kontribusi penerimaan negara dari ekspor rempah khususnya lada, pala, vanili, kayu manis, gambir, pinang, cengkeh dan long pepper pada 2015 mencapai US$1.500 miliar (Rp20 triliun). Sementara dari cukai rokok, cengkeh dengan tembakau menghasilkan devisa bagi negara mencapai Rp144,6 triliun.
"Hal menarik adalah ketika rupiah terpuruk dan dunia dilanda krisis ekonomi tapi pendapatan petani rempah justru meningkat signifikan," kata Bambang.
Saat ini harga rempah antara lain lada putih Rp140.000/kg (harga tertinggi 2015 hingga Rp180.000), lada hitam Rp95.000/kg (harga tertinggi 2015 mencapai Rp130.000), cengkeh Rp90.000/kg (2015 harga tertinggi Rp130.000), biji pala sekitar Rp70.000/kg (harga tertinggi 2015 mencapai Rp85.000), fulli Rp120.000/kg (tertinggi 2015 mencapai Rp130.000), gambir Rp50.000/kg, kayu manis Rp30.000/kg, vanili Rp3 juta/kg dalam keadaan kering.
"Tentunya ini dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani secara signifikan, dan pendapatan petani perkebunan yang tertinggi ternyata berasal dari rempah. Contoh lada, apabila dalam satu hektar menghasilkan 1,5 ton maka pendapatan petani mencapai Rp225 juta per tahun," kata Bambang mantan Kepala Dinas Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tenggara sebelum dilantik menjadi pejabat eselon satu di Kementan.
Jakarta (B2B) - Indonesian Agriculture Minister Andi Amran Sulaiman appreciate existence of spices commodities over 96% owned by smallholder plantations, planted on 1.1 million hectares with a production of 410,000 tons, earn foreign exchange of US$1,500 billion for the country in 2015.
"Today the development of herbal plants reached 1.1 million hectares, which makes happy this commodity more than 96 percent by smallholder plantations with an average ownership of 0.4 hectares," said Minister Sulaiman in his remarks delivered by the Director General of Plantation, Bambang MM at conference of Indonesian Spices Council (DRI) here on Tuesday (September 27).
He says that presently economic slowdown, commodity spices still exist even a few commodities such as pepper, nutmeg, and cloves that the price goes up so that a positive impact on the national economy. As for production, volume and quality of production is expected continue to rise.
Minister Sulaiman was quoted by DG Bambang said that the potential contributing factors such as the area of land enough to spice plants, farmers enthusiastic, yielding seeds available, attractive selling price, and central and local government support, and market potential.
"But with the potential, local knowledge and market prospects does not mean we can relax, market competition, the demands of non-tariff barriers and other disadvantages such as on farm and off farm," Mr Bambang said cite his boss.
Facts and Figures
DG Bambang then outlined a number of facts and figures about the economic role of spices - built estates reached 56 commodities - in the last five years is quite significant, because the world market characterized by excess demand, so the price tends to increase from year to year in line with population growth.
"Followed the development of food and beverage industry, medicinal, pharmaceutical, beauty and fitness business or spa," said Mr Bambang, who was sworn in as the DG Plantation by Minister Sulaiman on Tuesday last week (20/9) replaces Gamal Nasir have to retire.
According to him, the contribution of foreign exchange from exports of spices, especially pepper, nutmeg, vanilla, cinnamon, gambier, areca nut, clove and long pepper in 2015 to reach US $ 1,500 billion. While the cigarette tax, clove and tobacco revenue to the country of up to 144.6 trillion rupiah.
"The interesting thing is when the rupiah collapsed and the world economic crisis but the herb farmers' income has actually increased," Mr Bambang said.
Currently, the price of white pepper in the rupiah rate is 140,000/kg (the highest price of 2015 to 180,000), the black pepper 95,000/kg (the highest price in 2015 reached 130,000), the cloves 90,000/kg (in 2015 the highest price of 130,000), nutmeg approximately 70,000/kg (highest price reached 85,000 in 2015), Fulli 120,000/kg (highest in 2015 to reach 130,000), gambier 50,000/kg, cinnamon 30,000/kg, vanilla 3 million/kg in a dry condition.
"Surely the income and welfare of farmers increased significantly, and the highest revenue farmer turns of spices. Example of pepper, if one hectare with a yield of 1.5 ton, farmers would receive 225 millions of rupiah per year," said Mr Bambang, former Head Plantation and Horticulture of Southeast Sulawesi province before it became first echelon officials in the ministry.
