Balitbangtan: Teknologi Inovasi Mampu Antisipasi Fluktuasi Harga Bawang dan Cabai
Indonesia`s IAARD Support Increased Production of Chilli and Shallots
Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi
Jakarta (B2B) - Kementerian Pertanian RI melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) menyatakan kesiapan teknologi inovasi mampu mendukung pencapaian swasembada dan antisipasi fluktuasi harga bawang merah dan cabai, dengan penanganan on farm untuk mencukupi produksi, dan pendekatan nonteknis untuk penataan aktifitas panen, distribusi produksi, pemasaran, dan kebijakan.
Kepala Balitbangtan, Muhammad Syakir mengatakan pendekatan teknis dapat dilakukan melalui penyediaan varietas unggul dan teknologi budidaya yang sesuai untuk kondisi off season, dengan varietas unggul bawang merah antara lain Sembrani yang adaptif terhadap musim hujan, umbi besar, adaptif di lahan kering atau tadah hujan, dan potensi hasil mencapai 24,4 ton per hektar.
"Sementara varietas Maja adaptif di dataran tinggi, Trisula dengan warna merah keunguan mencolok tergolong adaptif terhadap musim hujan," kata M Syakir kepada pers di kantornya di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan pada Selasa (22/3).
Menurutnya, varietas unggul cabai antara lain Kencana dengan potensi produksi mencapai 22,9 ton per hektar yang dikenal adaptif di dataran medium, dataran tinggi dan musim kemarau basah. Sementara Ciko dengan potensi produksi 20,5 ton per hektar diketahui adaptif di dataran medium, Prima Agrihorti dengan potensi produksi 20,25 ton per hektar tergolong adaptif di dataran tinggi, dan Rabani Agrihorti yang produksi per hektar mencapai 13,14 ton per hektar adaptif di dataran tinggi.
Pendekatan lain yang harus dilakukan meliputi penyediaan benih berkualitas sesuai jumlah yang diperlukan, dan kini tersedia teknologi benih true shallot seed (TSS) bawang merah dan teknologi benih bebas penyakit pada tanaman cabai, didukung penyediaan teknologi budidaya off season dengan penanganan panen yang tepat sehingga mengurangi kehilangan hasil dan menjaga kualitas produksi.
"Penanganan pasca panen ketika produksi berlimpah untuk mendukung pasokan pada kurun off season dengan memakai instore drying yang dapat memperpanjang masa simpan bawang merah hingga enam bulan," kata Syakir.
Dia menilai pendekatan non teknis terutama dilakukan untuk menata distribusi sentra produksi, distribusi hasil antarwilayah, pembenahan rantai pasok, dan menerbitkan regulasi untuk menjamin kecukupan dan distribusi produksi secara permanen.
Fluktuasi dan Pasokan
Fluktuasi harga cabai dan bawang merah terjadi karena karakter biologis bawang merah dan cabai merah yang mudah rusak atau perishable, sementara karakter ekologi Indonesia dengan dua musim, kemarau dan hujan, dan pada musim hujan menjadi kendala utama produksi sayuran termasuk cabai dan bawang merah.
Menurutnya, secara umum pasokan cabai dan bawang merah sudah mencukupi seperti pada 2014, kebutuhan bawang merah mencapai 0,63 juta ton per tahun, sedangkan pasokan nasional mencapai 1,23 juta ton per tahun (195%).
"Demikian pula halnya dengan kebutuhan cabai besar sekitar 0,37 juta ton per tahun dan cabai rawit 0,32 juta ton per tahun dibandingkan dengan produksi nasional sebesar 1,07 dan 0,8 juta ton atau 288 persen dan 250 persen," kata Syakir.
Fluktuasi dan disparitas harga terjadi karena distribusi produksi yang tidak merata, baik dalam fungsi ruang dan waktu. Pengusahaan bawang merah hanya dilakukan di daerah tertentu dan terkonsentrasi di Pulau Jawa sekitar 80% dan hampir 42% terkonsentrasi di Jawa Tengah. Di luar Pulau Jawa, sentra produksi bawang merah adalah Nusa Tenggara Barat (NTB) sekitar 9%, Sumatera Barat 5%, Sulawesi Selatan 4%.
"Dalam fungsi waktu, kelangkaan bawang merah dan cabai biasanya terjadi pada Februari sampai April sebagai dampak dari penurunan produksi akibat musim hujan," katanya lagi.
Jakarta (B2B) - The Indonesian Agency for Agricultural Research and Development Ministry of Agriculture (IAARD)
claims technology innovation plays an important role supporting the achievement of self-sufficiency and the anticipated fluctuation prices of onion and chilli, with on-farm to insufficient production, and approaches nontechnical to support the activities of harvesting, distribution production, marketing, and policy, according to Indonesian senior official.
The Head of IAARD, Muhammad Syakir said technical approaches can be done with improved varieties and cultivation technology appropriate to the off season, with high yielding varieties of shallots such as Sembrani adaptive to the rainy season, large tubers, adaptive on dryland or rainfed and production potential 24 , 4 tons per hectare.
"While Maja suitable for plateau, Trident with red-purple adaptive to the rainy season," Mr Syakir told the press at his office in Pasar Minggu of South Jakarta on Tuesday (3/22).
According to him, high yielding varieties of of chili is Kencana with a production potential of 22.9 tonnes per hectare known adaptive in medium plains, plateaus and wet dry season. While Ciko with a production potential of 20.5 tonnes per hectare known adaptive in plain medium, Prima Agrihorti with a production potential of 20.25 tonnes per hectare adaptive plateau, and Rabani Agrihorti with production of 13.14 tons per hectare adaptive in the highlands.
The approach should be taken include the provision of quality seeds, and true technology now available shallot seed and plant disease-free seed technology, which is supported by off season cultivation technology with appropriate harvest handling to maintain the quality of production.
"Post-harvest handling when production is abundant to support the current supply by utilizing the off season drying instore which can extend the shelf life of shallots up to six months," Mr Syakir said.
He considered non-technical approach is mainly done to support the distribution centers of production, distribution of production between regions, improvement of supply chain, and issuing regulations to ensure adequate production and distribution.
Fluctuation and Supply
Fluctuations in the price of chili and shallots because of the perishable biological character, while the ecological character of Indonesia with two seasons, rainy and dry, and in the rainy season is the main constraint production of vegetables including chilli and shallots.
He added chilli and shallots supplies are sufficient such as in 2014, the needs of shallots reached 0.63 million tons per year, while the national supply reached 1.23 million tonnes per year (195%).
"Similarly chilies needs approximately 0.37 million tons per year and cayenne pepper 0.32 million tonnes per year compared to the national production of 1.07 and 0.8 million tons, or 288 percent and 250 percent," he said.
Fluctuations and the price disparity occurs because of the uneven distribution of production, both in function of space and time. shallots production center is only done in certain areas and concentrated in Java Island around 80% and almost 42% are concentrated in Central Java. Outside of Java Island, shallots production center is the West Nusa Tenggara around 9%, 5% of West Sumatra, South Sulawesi 4%.
"In a function of time, scarcity of shallots and chilli usually February to April because of production declines due to the rainy season," he said again.
