Pertama di Dunia, RI dan FAO Petakan Kapasitas Surveilans dan Epidemiologi

Indonesia and FAO Mapping of Animal Disease Surveillance Capacity

Reporter : Gusmiati Waris
Editor : Cahyani Harzi
Translator : Dhelia Gani


Pertama di Dunia, RI dan FAO Petakan Kapasitas Surveilans dan Epidemiologi
ECTAD INDONESIA: Dirjen PKH Kementan, I Ketut Diarmita [duduk, ke-4 kiri] bersama Team Leader ECTAD James McGrane [ke-3 kanan] dan Kachen Wongsathapornchai [ke-3 kiri] Foto2: Humas Ditjen PKH

Jakarta [B2B] - Republik Indonesia [RI] adalah negara pertama di Asia yang siap melakukan penilaian kapasitas surveilans, dan juga termasuk negara pertama di dunia yang melaksanakan penilaian kapasitas epidemiologi dan surveilans secara serentak. Hal itu didorong oleh upaya RI memperkuat kapasitas pencegahan, deteksi, dan pengendalian penyakit hewan karena Indonesia adalah salah satu negara yang rentan penyakit hewan yang dapat menular pada manusia [zoonosis] dan penyakit infeksi baru/berulang [PIB].

Hal itu dikemukakan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan - Kementerian Pertanian RI [Dirjen PKH Kementan] I Ketut Diarmita; Team Leader FAO Emergency Center for Transboundary Animal Disease (ECTAD) Indonesia, James McGrane; dan Kachen Wongsathapornchai, salah satu anggota tim ahli dari FAO yang berada di Jakarta dalam rangka pemetaan dan evaluasi kapasitas kesehatan hewan Indonesia, khususnya untuk bidang epidemiologi dan surveilans penyakit hewan.

"Saat ini, Indonesia menghadapi ancaman masuknya penyakit African Swine Fever disingkat ASF yang sudah mewabah di China, Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar," kata Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan - Kementerian Pertanian RI [Dirjen PKH Kementan] I Ketut Diarmita saat menerima tim ahli dari Badan Pangan dan Pertanian PBB [FAO] dan juga FAO Regional Asia Pacific di Jakarta, Kamis [22/8].

Informasi terakhir, kata Ketut Diarmita, diduga ASF ini juga terjadi di Philippina, sehingga semua pihak harus waspada dan bersiap menghadapi ancaman ini seraya mengingatkan bahwa ancaman ASF 'bukan hanya urusan' internal Ditjen PKH Kementan, namun harus menjadi perhatian juga bagi para pemangku kepentingan lain seperti karantina hewan.

"Untuk itu diperlukan kerjasama yang semakin erat antara Ditjen PKH, Badan Karantina Pertanian, dan instansi terkait lain dalam hal pencegahan PIB khususnya ASF dengan menyepakati SOP dan teknis berbagi informasi dan pelaporan," katanya.

Terkait ancaman ASF ini, dia mengingatkan agar pengawasan di pintu-pintu pemasukan diperkuat, khususnya di destinasi wisata utama dengan penerbangan internasional langsung seperti Bali dan Manado, yang juga memiliki populasi babi yang banyak, peningkatan surveilans terpadu berbasis risiko dan kemampuan untuk deteksi kasus, perbaikan biosekuriti peternakan, serta masyarakat segera melapor kepada pemerintah apabila ada perubahan pola/peningkatan kematian babi pada wilayah/peternakannya.

Penyakit Hewan
Saat ini selain ancaman PIB seperti ASF, Indonesia juga harus mewaspadai ancaman kasus penyakit-penyakit yang ada di Indonesia seperti rabies, avian influenza, brucellosis, anthraks bahkan penyakit seperti Japanese encephalitis dan malaria. Kegiatan surveilans terpadu, penguatan biosekuriti, dan pengawasan lalu lintas mutlak diperlukan dalam upaya mencegah, mendeteksi, dan mengendalikan penyakit-penyakit tersebut.

"Diperlukan kewaspadaan bersama lintas instansi/kementerian/lembaga terkait ancaman-ancaman penyakit ini. Upaya peningkatan kapasitas yang sudah dilakukan diharapkan mampu mengurangi risiko dampak negatif kasus," katanya.

Sementara Team Leader FAO Emergency Center for Transboundary Animal Disease (ECTAD) Indonesia, James McGrane menyampaikan bahwa FAO ECTAD selalu mendukung upaya Kementan mengembangkan kapasitas mencegah, mendeteksi dan mengendalikan zoonosis dan PIB ini melalui berbagai program kerjasama dari tahun 2006.

"Sudah banyak kemajuan dan peningkatan kapasitas-kapasitas tersebut, serta melihat adanya kesempatan yang baik untuk memetakan dan mengevaluasi kemajuan kapasitas epidemologi dan surveilans yang telah ada di Indonesia," kata James McGrane.

Kachen Wongsathapornchai, salah satu anggota tim ahli dari FAO menjelaskan bahwa evaluasi akan dilakukan oleh tim gabungan FAO dan Ditjen PKH, Kementan untuk memberikan rekomendasi dan panduan yang dapat digunakan untuk memperkuat kapasitas negara dalam mencegah, mendeteksi, dan mengendalikan zoonosis dan PIB.

"Untuk evaluasi kapasitas ini, tim menggunakan alat pemetaan epidemiologi atau EMT dan alat evaluasi surveilans disingkat SET sebagai perangkat yang dapat memberikan evaluasi secara mendalam terhadap kapasitas epidemiologi dan kapasitas surveilans penyakit hewan di Indonesia.," kata Kachen Wongsathapornchai.

James McGrane menambahkan implementasi EMT-SET secara serentak ini merupakan sebuah prestasi baru bagi Indonesia. "Indonesia adalah negara pertama di Asia yang siap untuk melakukan penilaian kapasitas surveilans, dan juga termasuk negara pertama di dunia yang melaksanakan penilaian kapasitas epidemiologi dan surveilans secara serentak. Sesuatu yang baru untuk Indonesia!"

Jakarta [B2B] - Indonesia is the first country in Asia that is ready to conduct surveillance capacity assessments, and is also among the first countries in the world to carry out epidemiological and surveillance capacity assessments simultaneously. It was driven by Indonesia's efforts to strengthen the capacity of prevention, detection, and control of animal diseases because Indonesia is one country that is susceptible to animal diseases that can be transmitted to humans [zoonosis] and new/recurrent infectious diseases [PIB], according to the official of FAO, James McGrane and Kachen Wongsathapornchai.