Inovasi Litbang Pertanian Idealnya Bernilai Tambah dan `Marketable`

Innovation of Indonesia`s IAARD Must Have Value Added and Marketable

Reporter : Gusmiati Waris
Editor : Cahyani Harzi
Translator : Dhelia Gani


Inovasi Litbang Pertanian Idealnya Bernilai Tambah dan `Marketable`
Kiri ke kanan: Mantan Wakil Mentan Rusman Heriawan, anggota Kadin Utama Kayo, Wakil Ketua Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi, Kepala Balitbangtan Mohammad Syakir, dan Irjen Kementan Justan R Siahaan (Foto: B2B/Gusmiati Waris)

Cimanggu, Bogor (B2B) - Hasil inovasi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) harus mampu memberi nilai tambah dan memiliki nilai jual, tanpa harus menafikan tujuan ideal pendiriannya pada 1978 meskipun alokasi anggaran menurun, dengan alokasi di atas 10% dari anggaran Kementerian Pertanian RI pada 2010 hingga 2014 namun melorot ke 6,2% pada 2016, sementara Litbang Pertanian dituntut berperan optimal mendukung swasembada pangan.

Hal itu terungkap pada diskusi bertajuk ´Refleksi Akhir Tahun Peran Inovasi dalam Pembangunan Pertanian Badan Litbang Pertanian yang disampaikan Kepala Balitbangtan, Mohammad Syakir; Wakil Ketua Komisi IV DPR, Viva Yoga Mauladi; Inspektur Jenderal Kementan, Justan Riduan Siahaan;  Anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Pangan, Utama Kayo; mantan Wakil Menteri Pertanian RI, Rusman Heriawan; dan tampak hadir mantan Kepala Balitbangtan, Haryono.

Rusman Heriawan mengingatkan Litbang Pertanian untuk mendorong inovasi yang memberi nilai tambah pada hasil kegiatan riset dan pengembangan, bukan sekadar memenuhi target dari pemerintah, selanjutnya produk inovasi tersebut dapat dipasarkan kepada umum (marketable) dan inovatornya mendapatkan royalti sehingga mendorong para peneliti terus berinovasi bagi kemajuan pertanian Indonesia.

"Litbang Pertanian diharapkan dapat mengembangkan produk inovasi yang user friendly, karena sebagian besar petani tidak berpendidikan tinggi, dan mengembangkan kemitraan dengan pihak swasta untuk mencari model bisnis apa yang layak dikembangkan," kata Rusman Heriawan, yang juga mantan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS).

Mohammad Syakir tidak menampik tudingan Litbang Pertanian masih tergolong ´idealis´ mengembangkan inovasi meski tidak terhitung hasil inovasinya sejak lembaga tersebut berdiri pada 1978.

"Diskusi ini bukan hanya melakukan refleksi terhadap peranan Balitbangtan tapi juga tentang apa saja yang telah dibuat, dan bagaimana merespons situasi dan kondisi terkini," kata Syakir.

Alokasi Anggaran
Viva Yoga Mauladi menyoroti alokasi anggaran untuk  penelitian dan pengembangan di Kementan seraya berjanji akan mengupayakan anggaran khusus, karena alokasi 6,5% dari total anggaran Kementan belum optimal padahal idealnya 12%, dan Komisi IV DPR akan membahas hal ini pemerintah pusat. Namun dia mengharapkan Litbang Pertanian tetap menjaga komitmen dan tidak berhenti berinovasi di tengah keterbatasan anggaran.

Dia mengakui anggaran Kementan tahun ini hanya Rp27,58 triliun lebih rendah dari 2015 yang mencapai Rp31,51 triliun lantaran terjadi pemangkasan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada semua kementerian dan lembaga pemerintah.

Sementara Utama Kayo mengharapkan Litbang Pertanian dapat mengeksplorasi hasil inovasinya untuk mendukung kegiatan dunia usaha khususnya di sektor pertanian, lantaran selama ini koordinasi antara hasil penelitian pertanian dengan dunia usaha belum berlangsung optimal.

"Kita juga harus memperhitungkan kemampuan daya saing hasil inovasi Indonesia, pihak asing khawatir pada Indonesia apabila kita dapat memanfaatkan hasil inovasi untuk kemajuan bangsa, tapi mereka happy ketika hanya mampu melakukan dokumentasi tanpa pemanfaatan lebih lanjut," kata Utama Kayo.

Irjen Justan R Siahaan mengingatkan tentang banyaknya warga China yang bertani di Indonesia sehingga timbul kesan kita ´mengimpor petani´ setelah berhasil menghentikan impor beras.

"Kalau kita tidak punya petani maka target menjadi lumbung pangan dunia pada 2045 hanya sekadar mimpi, dan Litbang Pertanian harus mampu mengembangkan inovasi yang mampu menarik minat generasi muda untuk kembali bertani di sawah," kata Justan.

Jakarta (B2B) - The results innovation of Indonesian Agency for Agricultural Research and Development of Agriculture Ministry (IAARD) should have value added and marketable without by retaining ideals since established in 1978 espite budget allocations decreases,  with budget allocations over 10% of Agriculture Ministry in 2010 until 2014 but dropped to 6.2% in 2016, while IAARD required to support food self-sufficiency.

It was revealed in discussion of agricultural development as stated by Director General IAARD Mohammad Syakir; Vice-chairman of Commission IV, Viva Yoga Mauladi; Inspector General of Agriculture Ministry, Justan Riduan Siahaan; member of Chamber Commerce & Industry food sector, Utama Kayo; former Deputy Minister of Agriculture, Rusman Heriawan; and was attended by former Director General of IAARD, Haryono.

Rusman Heriawan reminded IAARD to encourage product innovation with added value, not just reaching the government´s target, and marketable, and the innovators receive royalties so that the researchers can trigger make innovations for agricultural development.

"The IAARD expected to developing user friendly products, because most farmers are not educated, and developing partnerships with the private sector to find the right business model," said Mr Heriawan who was  former Head of Central Statistics Agency (BPS).

Mohammad Syakir does not denies presumption to IAARD still ´idealist´ despite developed many innovations since established in 1978.

"The discussion was not just reflection on the role of IAARD, but also about what has been created, and how to respond current conditions," he said.

Limited Budget
Viva Yoga Mauladi review research budget for agriculture sector and promised encourage budget increase, as 6.5% of budget of the ministry is not optimal but ideally 12%, and the House will discuss it with central government. But he expects IAARD continues to innovate despite a limited budget.

He admits ministry´s budget this year is only 27.58 trillion rupiah lower than 2015which reached 31.51 trillion rupiah, because state budget for ministries and government agencies are trimmed.

While Utama Kayo expect the IAARD can explore results of innovation support business activities, especially in the agricultural sector, because coordination with private sector has not been optimal.

"We have to estimate competitiveness, other countries worry if we can exploit for national development, but they are happy if we just do for documentation," he said.

Justan R Siahaan reminded about Chinese people working in Indonesia that Indonesia is considered ´import farmers´ after stop rice imports.

"If we did not have farmers, the target becomes granary of the world by 2045 is just a dream, and theIAARD should be able to develop innovations that attract young people to work as farmers," he said.