Jokowi, Penggemar Metallica yang Dijuluki `Obama dari Indonesia`
Meet Jokowi: Metallica Fan, Front-runner for the Indonesian Presidency
Editor : Cahyani Harzi
Translator : Dhelia Gani
 b.jpg)
TIDAK banyak tokoh dari Indonesia yang menarik perhatian media asing - khususnya yang mengulas dari sisi good news - dari yang sedikit itu ternyata Joko Widodo alias Jokowi yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta menjadi sorotan utama, kali ini oleh Global Post, media online yang bermarkas di Boston, Amerika Serikat. Menulis tentang Jokowi pada artikel yang dilansir pada 31 Januari 2014 dengan judul: Meet Jokowi: Metallica fan, front-runner for the Indonesian presidency
Musim hujan menjadi peristiwa dramatis bagi Jakarta. Banjir mencapai ibukota Jakarta, memaksa ribuan warganya untuk mengungsi, sejumlah kawasan tergenang banjir dan jalan-jalan di Jakarta berubah menjadi sungai.
"Bencana tahunan," kata sebagian media yang terbit di Indonesia, sekaligus pembuka awal tahun politik di Indonesia.
Dengan pemilihan umum yang akan berlangsung beberapa bulan lagi, semua mata tertuju pada Joko Widodo, gubernur populer dari Jakarta dan dijagokan sebagai presiden Indonesia berikutnya.
Lawan politik Jokowi berharap bahwa kegagalan untuk mengurangi banjir - sesuai janji kampanye Jokowi ketika dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Oktober 2012 - dituding akan menodai citranya. Tetapi para pakar dan pengamat politik meragukan tudingan tersebut akan berdampak negatif pada popularitas Jokowi yang menjadi fenomena nasional hanya dalam hitungan bulan.
"Jokowi," nama yang akrab disapa pada sang gubernur, belum memutuskan untuk menjadi calon presiden 2014, meskipun sejumlah survei menyebutnya sebagai kandidat terkuat dengan rata-rata elektabilitas 40% - empat kali lebih tinggi dari perolehan pesaing terdekatnya.
Dua tahun yang lalu Jakarta Post menggambarkan Jokowi sebagai "pendatang yang gugup dari sebuah desa kecil di Jawa Tengah yang baru saja tiba dengan bus di terminal bus Jakarta yang kotor dan dikendalikan para preman."
Kini, ia telah memenangkan hati jutaan rakyat Indonesia yang mendambakan perubahan.
Hampir tidak dikenal di luar kampung halamannya di Solo sebelum memenangkan Pilkada Jakarta sebagai Gubernur DKI Jakarta, pria berusia 52 tahun ini adalah sosok yang kurus, rendah hati dan mengguncang dunia politik Indonesia.
"Hampir semua pemimpin Indonesia sangat formal. Mereka bertindak seperti pemimpin, berpakaian seperti pemimpin, berbicara seperti pemimpin, tapi Jokowi tidak begitu," kata pengamat politik Maswadi Rauf.
"Jokowi seperti orang biasa," katanya. "Cara dia berbicara, cara dia berpakaian. Orang-orang ... melihat dia sebagai salah satu dari mereka. "
Penggemar musik Metallica, Jokowi memilih bersikap sederhana - hal itu diperlihatkan ketika dia menonton konser Metallica di stadion Gelora Bung Karno September 2013 - berdiri dengan orang banyak, bukan berada di bagian VIP.
Jokowi juga mengejutkan warga Jakarta dengan melawan kebiasaan para politisi di Indonesia: dengan kegiatan blusukan.
Kegiatan itu dilakukan untuk mengadakan reformasi pendidikan dan kesehatan dengan penduduk kumuh ibukota, atau untuk mendengarkan masalah pedagang pasar tradisional, kegiatan blusukan yang sebagian besar tak terjadwal di pelosok-pelosok Jakarta membuatnya disambut bagaikan selebritis dan selalu disambut oleh sorak-sorai warga Jakarta: "Jokowi! Jokowi!"
Para wanita cekikikan mengomentari penampilannya, dan kerumunan warga Jakarta berebutan saling dorong untuk menjabat tangannya atau memotret sang gubernur idola.
Lawan politik Jokowi menuding kegiatan ´blusukan´ sebagai aksi mencari popularitas. Dia menjawab santai bahwa kegiatan peninjauan tersebut untuk kepentingan warga, dan tidak pernah meminta wartawan untuk mengikuti kegiatannya.
"Dengan pergi ke berbagai pelosok kota, saya akan memahami isu-isu perkotaan secara lebih baik," katanya beberapa bulan setelah terpilih.
Tokoh karismatik dan dekat dengan rakyat, dia pun dijuluki sebagai "Obama di Indonesia" tidak diragukan lagi telah membawa "angin segar politik Indonesia," kata Richard Robinson, seorang profesor di Murdoch University Asia Research Centre.
Sejak jatuhnya diktator Suharto pada 1998, politik Indonesia telah didominasi oleh para elit yang terkait dengan rezim sebelumnya. Para kandidat berbaris untuk pemilihan presiden 2014. Rival terdekat Jokowi, adalah pensiunan Jenderal Prabowo Subianto, yang diduga terlibat dalam hilangnya aktivis pro-demokrasi di bawah Suharto dan dalam pelanggaran HAM di Timor Timur.
Robinson mengatakan sebagian besar rakyat Indonesia kecewa terhadap para pemimpin mereka setelah Indonesia menjadi negara demokrasi. "Korupsi makin marak, yang kaya makin kaya dan konglomerat semakin besar," katanya.
Sebaliknya, orang-orang melihat Jokowi sebagai orang yang akan menjawab "frustrasi mereka untuk mengangkat harkat hidup rakyat," kata Robinson. "Pendidikan, pelayanan kesehatan, transportasi, lalu lintas, perumahan ... hal-hal dasar bagi rakyat Indonesia yang diabaikan pemenuhannya oleh pemimpin mereka saat ini."Jokowi memiliki "rekor untuk bertindak," kata Robinson.
Sebagai mantan pengusaha mebel, Jokowi meraih reputasi sebagai tokoh yang tidak korup ketika menjabat sebagai walikota di kota kelahirannya, Surakarta. Pada 2012, ia meraih tempat ketiga sebagai walikota terbaik di dunia.
Sementara janji-janjinya untuk mengatasi isu-isu utama di Jakarta seperti kemacetan lalu lintas dan banjir di Jakarta belum berhasil dipenuhinya, Jokowi yang tampil sederhana dan energik sejak menjabat gubernur, para pengamat politik menilai "dia masih mencoba untuk memecahkan masalah, jauh lebih sulit daripada pemimpin [sebelumnya] di Jakarta," kata Maswadi Rauf. Antara lain, ia telah memperkenalkan program pengobatan, dan pendidikan gratis bagi masyarakat miskin, dan kembali meluncurkan proyek transportasi umum yang lama tertunda.
Sebagai bagian dari inspeksi harian tidak terjadwalnya, Jokowi sering mengadakan inspeksi mendadak ke kantor-kantor pemerintah kota untuk memeriksa pekerjaan pegawai negeri sipil, tindakan yang sangat dihargai rakyat karena birokrasi di Jakarta dikenal sangat lamban.
Terkait pemilihan presiden, partainya, oposan utama di Indonesia yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, diperkirakan akan mengumumkan calon presiden setelah pemilihan parlemen, pada bulan April.
Banyak yang khawatir jika Jokowi yang tampil sederhana akan naik sebagai pemimpin nasional.Saat wawancara dengan The Jakarta Post, Jokowi mengatakan ia melihat tidak ada perbedaan antara menjadi walikota, gubernur, atau presiden. "Mereka semua bekerja untuk rakyat," tegasnya.
Tetapi jika terpilih, Jokowi akan menghadapi banyak tantangan baru.
"Politik di Indonesia sangat kompleks, sangat terfragmentasi," kata Robinson, menambahkan bahwa Jokowi harus berurusan dengan banyak pihak yang berkepentingan dan oligarki untuk mendukungnya menjadi presiden, dan dukungan tersebut tidak gratis.
Apakah dia mampu mempertahankan gayanya yang sederhana seperti saat ini setelah menjadi pemimpin nasional?
IT´S THAT time of the year again in Jakarta. The rainy season, with its dramatic flooding, has hit the capital, leaving thousands of residents displaced, entire neighborhoods inundated and main roads turned into rivers.
The “annual disaster,” as local media call it, bears a particular political significance this year.
With elections just a few months away, all eyes are on Joko Widodo, the popular governor of Jakarta and front-runner to be Indonesia’s next president.
Opponents hope that a failure to mitigate the flooding — something Widodo promised to do when he took office in October 2012 — will finally tarnish his image. But experts doubt it will impact the popularity of a man who’s become a national phenomenon in just a matter of months.
“Jokowi,” as he’s locally known, is not yet a candidate for the July presidential election, but he’s already polling at 40 percent — four times the approval rating of his nearest competitor.
Just two years ago the Jakarta Post described Jokowi as a “confused migrant from a small village in Central Java who just arrived by bus at a dirty and thug-controlled Jakarta bus terminal.”
Now, he has won the heart of millions of Indonesians eager for change.
Barely known outside his hometown of Surakarta before taking over as Jakarta governor, the thin, humble 52-year-old has shaken up the world of Indonesian politics.
“Almost all of our leaders are very formal. They act like leaders, dress like leaders, speak like leaders, but not Jokowi,” explains political analyst Maswadi Rauf.
“Jokowi is just like ordinary people,” he says. “The way he talks, the way he dresses. … People see him as one of them.”
A fan of Metallica, Jokowi lived up to his regular-guy reputation by attending the band’s concert at the huge Gelora Bung Karno stadium last September — standing with the crowd, rather than in the VIP section.
Jokowi has also surprised Jakarta’s residents by engaging in something Indonesian politicians rarely do: getting out of the office.
Whether it’s to talk about education and health reforms with residents of the capital’s slums, or to listen to local market vendors’ problems, his trademark unscheduled visits to the streets are always welcomed by cheers of “It’s Jokowi! It’s Jokowi!”
Giggly women comment on his looks, and crowds of locals push and shove to shake his hand or take a picture.
Some dismiss his “blusukan” (“unannounced visits,” in Javanese) as a populist publicity stunt. He responds that his trips always have a specific purpose, and that he has never asked the press to follow his every move.
“By going around the city, I will understand the city’s issues better,” he said a few months after being elected.
Charismatic and close to the people, the man often called “Indonesia’s Obama” has undoubtedly brought a “breath of fresh air to Indonesian politics,” says Richard Robinson, a professor at Murdoch University´s Asia Research Centre.
Since the fall of dictator Suharto in 1998, Indonesian politics have been dominated by an elite tied to the former regime. The candidates lining up for the presidential election seem to be no exception. Jokowi’s closest rival, retired General Prabowo Subianto, was allegedly involved in the disappearance of pro-democracy activists under Suharto and in human rights abuses in East Timor.
Robinson says Indonesians have largely been disappointed in their leaders since democracy emerged in the country. “Corruption has continued, as did growing division of wealth and of large corporate conglomerates,” he explains.
In contrast, people see Jokowi as the man who will address the “frustrations they have to put up with in the day-to-day life,” Robinson explains. “Education, medical services, transportation, traffic, housing … things that Indonesians feel have been neglected.” Jokowi has a “record for getting things done,” Robinson says.
A former furniture retailer, Jokowi earned his reputation as uncorrupt and practical while mayor of his hometown, Surakarta. In 2012, he was awarded third place in a contest to identify the world’s best mayor.
While his promises to tackle the main issues of traffic congestion and flooding in Jakarta have yet to be fulfilled, Jokowi has been genuinly energetic since taking office, political analysts say. “He’s still trying to solve the problems, much harder than any [previous] leaders in Jakarta,” says Maswadi Rauf. Among other things, he has introduced free healthcare and education for the poor, and re-launched a 20-year-old public transportation project.
As part of his daily unscheduled inspections, Jokowi often pays a surprise visit to the city administration’s offices to check on the work of his own civil servants, a move much appreciated in a city with a notoriously slow bureaucracy.
As for the presidency, his party, the main opposition Indonesian Democratic Party-Struggle, is expected to announce its candidate after the parliamentary elections, in April.
Some wonder if Jokowi’s down-to-earth politics would work at a national level. During a recent interview with the Jakarta Post, Jokowi said he saw no difference between being a mayor, a governor, or a president. “They all work for the people,” he argued.
But if elected, Jokowi will face many new challenges.
“Politics in Indonesia are very complex, very fragmented,” Robinson says, adding that Jokowi would have to deal with big parties and oligarchs he’ll need support from, and who will be expecting pay-back.
Whether he has what it takes to impose his style from the top remains to be seen.