KPU Diminta Audit Kasus HAM Capres dan Cawapres

Indonesian Electoral Commission Asks to Audit the Human Rights Case of Presidential Candidates

Reporter : Rusdi Kamal
Editor : Cahyani Harzi
Translator : Dhelia Gani


KPU Diminta Audit Kasus HAM Capres dan Cawapres
Foto: istimewa

Jakarta (B2B) - Pengamat Politik dan Hukum Universitas Indonesia, Todung Mulya Lubis meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan audit dugaan pelanggaran kasus HAM sebagai syarat penetapan calon presiden dan calon wakil presiden. Tujuannya, untuk mengedukasi pemilih terutama terkait persoalan hukum yang pernah menjerat para kandidat pemimpin bangsa.

Todung mengatakan ketentuan ini harus masuk dalam prasyarat kelolosan capres dan cawapres di KPU. Menurut dia, aturan ini belum pernah diberlakukan, namun publik tentu butuh informasi yang jelas.

“Meski komitmen kandidat tersebut dinilai tinggi, selama utang hukumnya masih ada, maka masyarakat perlu mempertanyakan kebenaran orang tersebut,” kata Todung  dalam acara Petisi Capres Pelanggar HAM di YLBHI, Minggu seperti dilansir republika.co.id.

Dia meminta KPU mengaudit capres dan cawapres, karena KPU sudah menetapkan 29 persyaratan untuk capres dan cawapres, maka komitmen HAM harus masuk.

Seperti diketahui, capres dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto diduga terkait dengan pelanggaran HAM berat tahun 1998, yaitu kasus penghilangan paksa dan penculikan aktivis pada tahun tersebut, seperti dilansir beritasatu.com.

Dalam hasil penyelidikan Tim Pro Yustisia Komnas Ham disebutkan bahwa Prabowo terlibat dalam peristiwa penculikan dan penghilangan paksa aktivis yang terjadi sepanjang 1997-1998 dengan korban orang hilang sekitar 13 orang.

Sedangkan, dalam kerusuhan 13-15 Mei 1997, sebanyak 293 orang tewas, 1.344 bangunan rusak dan dibakar, 1.009 kendaraan roda empat dan 205 kendaraan roda dua dirusak atau dibakar.

Terkait tudingan tersebut, Prabowo pernah angkat bicara dan menyampaikan bahwa dirinya tidak terlibat peristiwa penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998 maupun kerusuhan Mei 1998.

Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadly Zon mengatakan, isu HAM ini merupakan komoditas politik. Kasus yang diduga melibatkan Prabowo dianggap tanya sebagai tudingan sekelompok orang yang tidak memiliki bukti.

“Kami tidak takut. Lagipula ini adalah kasus yang sudah pernah kami klarifikasi, dan dianggap sudah usang. Ini hanya isu pesanan dari lawan politiknya,” kata Fadly Zon.

Jakarta (B2B) - Political and law observer of Indonesia University, Todung Mulya Lubis asks the General Elections Commission (KPU) to conduct an audit of cases of alleged violations of human rights as a requirement of the presidential candidates and vice presidential candidates. The aim, to educate voters, especially related to legal issues ever ensnare the candidates Indonesian leaders.

Lubis said this provision should be into the requirements in the Commission, because it has not been determined, but the public would need clear information. 

"Although the candidate is committed, during the related to legal issues and human rights, public deserves to ask," Lubis said in a discussion of human rights violators petition presidential candidates in the Legal Aid Foundation, as quoted by republika.co.id Sunday.

He asked the Commission to audit the candidates, because the Commission has set 29 requirements for presidential and vice presidential candidate, including human rights commitments. 

As is known, the presidential candidate of the Gerindra, Prabowo Subianto allegedly linked to human rights violations in 1998, the cases of enforced disappearances and abductions of activists, as quoted by beritasatu.com.

Based on the results of the investigation of the National Commission on Human Rights, Prabowo involved in the kidnapping and disappearance of activists in 1997-1998 with the victim approximately 13 person. 

Meanwhile, in 13-15 May 1997 riots, as many as 293 people were killed, 1,344 buildings were damaged and burned, 1,009 cars and 205 motorcycles were damaged and burned.

Related to the accusation, Prabowo Subianto says not involved the kidnapping and disappearance of activists in 1997-1998 and May 1998.

Vice Chairman of Great Indonesia Movement Party (Gerindra) Fadly Zon said, the issue of human rights is a political commodity, because the allegations without evidence.

"We are not afraid. This case we have already clarification, and was considered is outdated. This issue orders from the opponent of Prabowo," Zon said.