Jokowi, Komitmennya Tanpa Kompromi Politik di Mata Media Asing
Indonesian President-elect`s Principles Could Derail His Reforms
Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi
Jakarta (B2B) - Dua pekan sebelum ia menempati Istana Negara, presiden terpilih Indonesia menolak untuk mengkompromikan prinsip-prinsipnya melalui dukungan di parlemen untuk mendukung pemerintahannya mendatang.
Joko Widodo, mantan gubernur DKI Jakarta, menawarkan janji-janji kepada generasi yang letih dengan korupsi yang merajalela di Indonesia, berkomitmen akan menjalankan pemerintahan yang efektif bebas dari politik 'dagang sapi' di antara para elit politik Indonesia.
Namun Jokowi yang hanya didukung 37% kursi di parlemen dan tanpa dukungan lebih ia bakal kerepotan menghadapi sikap partai-partai oposisi yang masih didominasi oleh elit lama yang dikhawatirkan bakal menggagalkan program reformasinya.
Untuk saat ini, pengusaha pertama yang menjadi presiden di negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan dukungan kaum muda Indonesia yang idealis tampaknya tidak gentar dengan sikap oposisi dari elit-elit politik yang terkait dengan rezim Orde Baru.
"Tidak masalah saya hanya didukung minoritas di parlemen. Saya punya pengalaman serupa di Jakarta dan itu tidak masalah untuk menjalankan program pembangunan," kata Jokowi kepada wartawan baru-baru ini, mengacu pada masa jabatannya sebagai gubernur di Jakarta.
"Kondisi serupa di tingkat nasional," katanya.
Pendekatan langsung Jokowi dan keberhasilan dalam memotong pita merah menarik bagi pemilih biasa dan investor yang menyambut kemenangannya dengan mendorong pasar saham hingga ke rekor tertinggi.
Namun dukungan itu bisa menguap jika pihak oposisi membendung upaya reformasi di pemerintahannya, karena ia menolak untuk terlibat dalam "politik transaksional" sebagai gaya lama dukungan politik yang dibarter kursi menteri di kabinetnya.
"Apa yang diinginkan Jokowi dengan menolak transaksi politik bertentangan dengan tradisi politik yang berlaku selama ini di Indonesia," kata Achmad Sukarsono dari Habibie Centre.
"Tapi konsekuensinya bahwa Jokowi akan banyak ditentang oleh kepentingan oposisi yang memaksakan kepentingan politiknya yang dikemas seolah untuk kepentingan masyarakat."
Mantan pengusaha mebel dan akan mulai bertugas pada 20 Oktober mendatang dan tes awalnya akan mendapatkan dukungan politik yang cukup untuk memotong subsidi BBM dengan menaikkan harga BBM.
Subsidi BBM menelan 17% dari anggaran negara dan meninggalkan sedikit ruang untuk perekonomian nasional khususnya membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan Indonesia.
Namun partai-partai oposisi, yang bergabung dalam koalisi parpol yang dipimpin oleh penantang Jokowi yang kalah dalam Pilpres Juli lalu, mantan jenderal Prabowo Subianto, membendung langkah Jokowi untuk memperluas dukungan parpol melalui koalisi.
"Jokowi-JK belum menawarkan insentif politik," kata Romahurmurziy, Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai Islam tertua di Indonesia, kepada wartawan baru-baru ini.
"Mereka tidak bisa bekerja sama dalam koalisi mayoritas seperti ini," katanya, menambahkan bahwa ketidakmampuan untuk melakukan hal tersebut dapat membahayakan stabilitas pemerintahan baru.
Jakarta (B2B) - Two weeks before he is due to take office, Indonesia's president-elect is refusing to compromise his principles by building support in parliament in exchange for plum jobs.
Joko Widodo, the popular former governor of the capital, narrowly won a July election with promises to voters jaded by generations of graft that he would bring effective government free of the old horse-trading among the political elite.
But Widodo has the backing of only 37 percent of members of parliament and without more support he faces a hostile opposition dominated by the old elite that could derail his reform programme.
For now, the first businessman to become president of Southeast Asia's biggest economy and his idealistic young supporters seem unperturbed by the prospect of the reforms falling victim to the principles.
"It's not a problem to have a minority. I had a similar experience in Jakarta and it was not a problem to get things done," Widodo told reporters recently, referring to his term as the capital's governor.
"It's the same at the national level," he said.
Widodo's direct approach and success in cutting red tape appealed to ordinary voters and investors who welcomed his victory by pushing the stock market up to record highs.
But his support could evaporate if the opposition blocks the changes his supporters expect, all because he refuses to engage in "transactional politics" as the old-style of support in exchange for lucrative cabinet posts is called.
"What Widodo wants to say is that the transactions shouldn't be monetary as they usually are in Indonesia," said Achmad Sukarsono of the Habibie Centre think-tank.
"But the consequence is that Widodo would have to deal with a lot of rejection if his policies do not meet with interests of the opposition or if they are not packaged as if they are urgent for the public interest."
The former furniture businessman is due to take office on Oct. 20 and an early test will be getting enough political support to cut fuel subsidies.
Energy subsidies eat up 17 percent of the state budget and leave little room to kickstart the economy by developing much-needed infrastructure.
But opposition parties, most in a loose alliance led by the challenger Widodo defeated in the July election, retired general Prabowo Subianto, are ignoring Widodo's efforts to expand his coalition.
"Jokowi-JK have not offered any political incentive," Romahurmurziy, secretary general of the United Development Party, Indonesia's oldest Islamic party, told reporters recently. Jokowi is Widodo's nickname and JK is vice president-elect Jusuf Kalla.
"They cannot pull together a majority coalition like this," he said, adding that the inability to do so could jeopardise the new government's stability.
