Jakarta (B2B) - Krisis politik di Mesir mengajarkan bahwa pemilihan umum yang demokratis, yang menempatkan pemenangnya ke kursi Presiden bukanlah segala-galanya, karena bisa dijatuhkan oleh protes rakyat yang kemudian didukung oleh militer untuk melakukan kudeta tidak berdarah.

"Para pemenang Pemilu, berhati-hatilah! Krisis politik di Mesir memberi pesan kepada kita bahwa Pemilu demokratis yang menaikkan Presiden Morsi ke kursi Presiden, bukan segala-galanya. Protes rakyat dan dukungan militer bisa mengubah segalanya," kata Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hadjriyanto Tohari di Jakarta, Kamis (4/7).

Politisi dari Partai Golkar ini menambahkan, Presiden Morsi terlampau ´percaya diri´ dengan hasil Pemilu yang sah dan demokratis. Hasil Pemilu dikira Morsi merupakan manda penuh dari rakyat sebagai legitimasi politik untuk berkuasa di Mesir.

"Dia lupa bahwa rakyatnya yang tidak memilihnya meskipun jumlahnya lebih sedikit daripada yang memilih Morsi. Mereka inilah yang bergabung dalam barisan oposisi," ungkap Hadjriyanto Tohari.

Menurutnya, pemerintah yang berkuasa harus mampu mengajak pihak oposisi untuk mengelola pemerintahan dengan berbagi kekuasaan. Meskipun menang Pemilu dan berkuasa secara sah, tidak bisa melaksanakan kekuasaan secara otoritarianisme.

"Indonesia harus belajar dari kejatuhan Morsi. Pemilu bukan segala-galanya. Menang Pemilu jangan mentang-mentang," tambahnya lagi.

Morsi Dilengserkan
Sebagaimana diketahui, Ketua Mahkamah Konstitusi Mesir Mostasyar Adly Mansour (68 tahun) pada Kamis (4/7) resmi dilantik sebagai presiden transisi menggantikan Mohamed Moursi yang dilengserkan militer pada Rabu (3/7) malam.

Adly diambil sumpah di Kantor Mahkamah Konstitusi di Kairo di depan Majelis Mahkamah Konstitusi.

Pada Rabu malam waktu setempat, Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Abdel Fatah Al Sisi mengumumkan peta jalan bagi masa depan Mesir dengan melengserkan Presiden Moursi dan menetapkan Ketua Mahkamah Konstitusi untuk melaksanakan tugas-tugas presiden.