Gunung Merapi Dipantau Sensor Karbondioksida oleh BPPTKG
Indonesian Geologic Agency will Install Device to Monitor Mount Merapi`s CO2 Level
Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi
Yogyakarta (B2B) - Untuk memantau kandungan gas khususnya karbondioksida (CO2), Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menyiapkan alat yang ditempatkan di sekitar puncang Gunung Merapi untuk memantau kandungan gas khususnya karbondioksida atau CO2.
"Kami sedang menyiapkan desainnya. Diharapkan, peralatan untuk memantau CO2 sudah dapat dipasang tahun ini," kata Kepala BPPTKG Subandriyo di Yogyakarta, Jumat.
Menurut dia, pantauan dari sensor CO2 tersebut akan dapat dilihat secara realtime di kantor BPPTKG sehingga petugas bisa melakukan identifikasi dengan lebih menyeluruh, tidak hanya dari aspek seismik saja.
BPPTKG, lanjut dia, sudah pernah memiliki peralatan untuk memantau kondisi gas, namun peralatan tersebut rusak akibat terkena letusan freatik yang terjadi pada 18 November 2013. Peralatan tersebut merupakan bantuan dari Prancis.
Selain menyiapkan alat untuk memantau kondisi gas CO2, BPPTKG juga akan melakukan sampling gas secara rutin satu bulan sekali di Merapi.
Subandriyo mengatakan, kejadian embusan gas yang kerap terjadi pascaerupsi 2010 menjadi tantangan tersendiri bagi BPPTKG untuk memantau perkembangan gunung api aktif tersebut dengan lebih valid.
Ia berharap, tambahan alat pemantau gas tersebut bisa membantu petugas untuk mendeteksi gejala awal kejadian embusan gas karena dalam beberapa kejadian terakhir, belum dapat ditentukan secara pasti gejala awalnya.
"Selalu ada gejala awal dari sebuah kejadian, termasuk munculnya embusan gas di Merapi. Sekarang tinggal bagaimana cara mengetahui gejala awal itu," katanya.
Subandriyo mengatakan, kandungan gas, khususnya CO2 di Merapi mengalami peningkatan pascaerupsi 2010. Tingginya kandungan gas ini menyebabkan banyaknya kejadian embusan yang membawa material vulkanik sehingga menyebabkan hujan abu dan pasir di lokasi sekitar gunung.
Tingginya kandungan CO2 juga menyebabkan sifat letusan Merapi menjadi eksplosif. Namun demikian, Subandriyo belum dapat memastikan penyebab meningkatnya kandungan gas di Merapi pascaerupsi 2010.
"Gas yang berada di tubuh Merapi akan selalu bergerak untuk keluar. Ini yang menyebabkan terjadinya embusan. Apabila di kepundan ada sumbatan, maka embusan gas bisa membawa material vulkanik," katanya.
Kejadian embusan gas pada Kamis (27/3), lanjut Subandriyo juga tidak membawa material baru, tetapi hanya pasir kasar dan abu. "Tidak ada magma, sehingga kejadian itu bukan letusan," katanya.
Perubahan sifat Gunung Merapi seperti yang terjadi sekarang juga pernah terjadi pascaerupsi 1872. Pada saat itu, letusan Merapi bersifat eksplosif. Namun, sifat letusan Merapi berubah kembali pada 1882 yaitu dengan membentuk kubah lava seperti yang selama ini selalu dipahami oleh masyarakat.
Status Merapi pun masih ditetapkan aktif normal dan Subandriyo menyatakan bahwa masyarakat tidak perlu panik namun tetap waspada. "Letusan Merapi juga tidak bisa ditentukan akan terjadi secara periodik, misalnya empat tahun sekali," katanya.
Yogyakarta (B2B) - The Geologic Disaster Investigation and Technology Development Agency (BPPTKG) will install a device at the peak of Mount Merapi to monitor the volcanos level of Carbon dioxide (CO2).
Head of BPPTKG Subandriyo stated here, that the Agency was still working the arrangement of the CO2 level sensor that was expected to be completely installed over the volcano, located at the border of Yogyakarta and Central Java, immediately in this year to allow real-time monitoring of the gases.
The BPPTKG had had a gas monitoring device, given by the French Government, installed at the Mount Merapi, but it was broken due to the volcanos phreatic explosion (steam-blast eruption) on November 18, last year.
After installing the CO2 monitoring device, the BPPTKG will also take gas sample every month from Mount Merapi.
According to Subandriyo, the steam-blast eruption, which has now been frequently occurring after the 2010s eruption, had become a challenge for the agency to monitor and get more valid data of the development of the active volcano.
The device, he explained, was also expected to help to identify the early symptoms of the phreatic explosion, which was difficult to recognize.
"There must be a symptom for every occurrence, including the blast of Mount Merapi. It is now our task to identify the warning sign," Subandriyo remarked.
The level of CO2 from Mount Merapi had been increasing significant after the 2010 eruption. The abundant amount of the carbon dioxide had been causing several blasts, which carried volcanic materials such as ashes and sand, Subandriyo pointed.
"Gases inside Mount Merapi will always find a way to come out. This is what causes the blast. If the crater is clogged, the blast will also spout volcanic material," he elaborated.
Previously on Thursday (March 27), Mount Merapi spouted ashes and sands toward its south and east area at around 1 a.m. local time, after creating rumbling sounds and spouting thick smoke.
However, the volcanos status remains at active normal level.
