Tarkam Pilihan Pahit Pesepakbola Indonesia Ketimbang Menganggur

From Prime-time TV to Village Games as Indonesian Crisis Hits Players

Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi


Tarkam Pilihan Pahit Pesepakbola Indonesia Ketimbang Menganggur
Andersen Da Silva, asal Brasil makan seadanya usai ikuti kompetisi Tarkam (kiri atas), Emile Mbamba asal Kamerun (kanan) bertanding di Tarkam (kanan atas), stadion Tarkam (kiri bawah) dan klub juara Tarkam (Foto2: MailOnline)

KETIKA pemain gelandang Indonesia Asep Berlian menandatangani kontrak dengan klub lokal atas Surabaya United pada tahun lalu, langkah itu tampaknya bertujuan mengamankan masa depan kariernya di sepak bola.

Namun kompetisi sepak bola di Indonesia terhenti segera setelah dibekukan FIFA, dan pesepakbola usia 25 tahun dan banyak lagi pesepakbola seperti dia terpaksa merumput untuk mencari nafkah, dengan mengikuti turnamen kecil.

Kesulitan yang dialami pemain lantaran kompetisi domestik dihentikan akibat perselisihan antara asosiasi sepak bola Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), dan kemudian diperparah dengan keputusan FIFA untuk menunda Indonesia lebih campur tangan pemerintah.

"Ini sangat sulit bagi pemain, karena kami mencari nafkah dari sepak bola," kata Berlian kepada AFP seperti dikutip MailOnline pada pertandingan antarkampung disingkat 'Tarkam' di kota Cilacap, Jawa Tengah, yang juga diikuti sejumlah pemain ternama yang terpaksa bertanding dalam kompetisi kelas Tarkam demi mengais rezeki.

Sepak bola di Indonesia telah dirundung masalah dalam beberapa tahun terakhir, berawal dari konflik internal di PSSI untuk membentuk asosiasi tandingan disusul kasus kematian pemain asing yang meninggal setelah gajinya tidak dibayar oleh klub sehingga tidak mampu membayar perawatan medis.

Namun krisis saat ini adalah yang paling serius yang belum pernah terjadi dalam sejarah sepak bola Indonesia.

Pemain top yang tidak lagi bermain untuk klub terpaksa bermain dan bersedia mengambil risiko cedera demi mendapatkan uang dalam pertandingan Tarkam, kompetisi antarkampung, dan pemain serta pelatih lain mencoba mengejar karier di luar negeri.

"Sepakbola Indonesia sedang sekarat," kata Aris Budi Sulistyo, mantan pelatih Persik Kediri, Jawa Timur yang memimpin klubnya dalam liga divisi utama Indonesia kepada AFP setelah kompetisi Tarkam di Cilacap.

"Kondisi saat ini sangat sulit untuk mengembalikan performa terbaik para pesepakbola."

Kompetisi Tarkam
Kompetisi Tarkam di Cilacap adalah tipikal kompetisi kelas kampung yang terpaksa diikuti pesepakbola Indonesia, dan kerap terlihat para pemain top ikut bertanding, termasuk veteran dari timnas, yang bermain di stadion kampung.

Dengan memperebutkan hadiah uang dari hasil taruhan, dan papan skor manual yang dikendalikan penjaga stadion, liga Tarkam jauh dari gemerlap kompetisi serupa di kota-kota besar di Indonesia yang digilai oleh puluhan juta penggemar sepak bola di Indonesia.

Berlian mengaku bermain di kompetisi Tarkam bukan pilihannya, tapi dia tidak punya pilihan lain setelah klub tidak lagi membayar gajinya.

"Jika ada (liga) kompetisi, tentu saja saya tidak akan bermain di turnamen kampung ini," katanya.

Krisis sepak bola di Indonesia dimulai sejak tahun lalu ketika PSSI dan Kemenpora bersitegang terkait dengan klub yang layak tampil di divisi utama, Liga Super.

Perselisihan mencapai puncaknya pada April ketika PSSI menangguhkan kompetisi domestik, pemerintah melalui Kemenpora membalasnya dengan membekukan PSSI.

FIFA - yang menolak keras campur tangan pemerintah dalam asosiasi sepak bola dalam negeri - intervensi, mengritik Jakarta yang dituding 'mengambilalih' sepak bola Indonesia dan memberikan batas waktu yang memungkinkan PSSI untuk melanjutkan aktivitasnya.

Pembicaraan gagal menembus kebuntuan dan pada Mei, FIFA melarang tim nasional Indonesia yang menjadi kabanggaan rakyat, dan klub profesional, dari kompetisi di sepak bola internasional, termasuk pertandingan kualifikasi untuk Piala Dunia 2018 dan Piala Asia 2019.

Sepak bola Indonesia dalam kondisi memprihatinkan, sebuah komite interim yang dibentuk oleh FIFA gagal memperbaiki hubungan antara pemerintah dan PSSI.

Pembicaraan penting diadakan pekan ini menjelang kongres FIFA di Zurich yang tampaknya juga gagal mencari solusi.

Agum Gumelar, ketua komite interim, kata Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Kemenpora untuk mencabut pembekuan PSSI, namun pembahasan masih berlanjut dan tidak jelas kapan - atau kalau - hal itu bisa terwujud.

Meskipun tampak tanda-tanda kemajuan, FIFA tampaknya tidak mungkin mencabut suspensi terhadap Indonesia dalam waktu dekat. Dalam sebuah pernyataan pada Rabu, komite eksekutif yang memberi rekomendasi tentang masa depan sepak bola Indonesia ditunda, dan hal itu sulit dicapai dalam pemilihan presiden FIFA pada Jumat.

"Kondisi mengkhawatirkan"
Para pemain yang memilih untuk bertahan di Indonesia dan menunggu berakhirnya krisis untuk bertahan hidup menafkahi dirinya maupun keluarga mereka, terpaksa bertanding di turnamen lokal untuk tetap fit dan hidup seadanya.

Pada kompetisi Tarkam seperti di Cilacap, pemain top seperti Samsul Arif, Jean Paul Boumsong dan Emile Mbamba yang dikerumuni oleh penggemar untuk meminta berfoto dan mendapatkan tanda tangan dari idola yang hanya pernah mereka lihat di televisi.

Namun di balik semua itu, para pemain top berbagi tempat tinggal sederhana dan makanan seadanya, dengan menghindari hidup foya-foya seperti yang pernah mereka alami ketika bermain di Liga Super demi menyambung hidup.

"Kami harus membayar kontrak rumah, menutupi biaya kebutuhan sehari-hari, yang penting masih bisa makan,"kata Boumsong, striker usia 31 tahun asal Kamerun yang bermain di klub Perseru Serui, Papua kepada AFP.

"Ini sangat menegangkan. Banyak pemain tidak punya tabungan untuk masa depan."

Pemain asal Brasil Anderson Da Silva, bek yang kini bermukim dan ikut kompetisi secara profesional di Indonesia sejak 2001, mengatakan ia akan tetap menerima tawaran untuk bermain di kompetisi Tarkam, pertandingan sistem gugur tapi juga memiliki rencana cadangan - membuka sebuah kafe dengan istrinya di kampung halaman istrinya.

Namun tragedi harus dialami pemain muda Indonesia, kata Da Silva. Alih-alih memenuhi impian mereka untuk bermain untuk tim nasional, kini bintang-bintang yang tanpa kontrak, harus menggantungkan harapan untuk mencapai masa depan mereka yang belum jelas.

"Saya berharap krisis ini segera berakhir. Tidak hanya untuk para pemain, tetapi bagi seluruh rakyat Indonesia," katanya kepada AFP yang dilansir MailOnline.

WHEN INDONESIAN midfielder Asep Berlian signed a contract to play last year with top local club Surabaya United, it looked like he had secured a lucrative future among the country's elite.

But football in the country ground to a halt soon afterwards, and the 25-year-old and many others like him have been left scraping a living by playing in small, low-key tournaments.

The crisis was triggered when the domestic league was halted due to a row between the country's football association and the sports ministry, and was then compounded by FIFA's decision to suspend Indonesia over government meddling.

"This is very hard for players, because we earn our livelihood from football," Berlian told AFP at an ad hoc tournament in the small town of Cilacap, on Java island, that attracted a number of big-name players desperate for the chance to earn even meagre wages.

Football in Indonesia has been dogged by problems for years, from the creation of a breakaway association that tore the football establishment apart to cases of foreign players dying after going unpaid and being unable to afford medical treatment.

But the current crisis is the most serious yet.

Top players who no longer have clubs to play for are willing to risk career-ending injuries competing in exhibition matches and small, village tournaments, and other footballers and coaches are leaving to pursue their careers abroad.

"Indonesian football is dying," Aris Budi Sulisto, a former coach from East Java club Persik Kediri, which used to be part of Indonesia's top league, told AFP after the Cilacap tournament.

"It will be very hard to get players back to their peak performance."

- Village football -
The Cilacap event was typical of the kind of competition that Indonesian footballers are now taking part in, and saw well-known stars, including veterans of the national side, playing in a basic stadium.

With modest prize money at stake, and a scoreboard changed manually by a stadium groundskeeper, the small-town meet was a world away from the glitzy league matches beamed from Indonesia's big cities to tens of millions of fans across the football-crazy country.

Berlian admitted playing in such competitions was not ideal, but said he had no choice after his salary was slashed.

"If there was a (league) competition, of course I wouldn't be playing in this village tournament," he said.

The crisis began brewing last year as the football association and the sports ministry locked horns over which teams could participate in the top division, the Super League.

The feud boiled over in April when the association suspended domestic competition, only for the ministry to retaliate by freezing the association's activities.

FIFA -- which takes a dim view of governments interfering in domestic associations -- then intervened, criticising Jakarta for the effective "takeover" of Indonesian football and giving it a deadline to allow the association to resume its business.

Talks failed to break the impasse and in May FIFA banned Indonesia's beloved national team, and its professional clubs, from competing in international football, including qualifying matches for the 2018 World Cup and 2019 Asian Cup.

Indonesian football has been in limbo ever since, with an interim committee set up by FIFA failing to mend the rift between the government and the association.

Emergency talks held this week ahead of a FIFA congress in Zurich appear to have made some ground.

Agum Gumelar, the head of the interim committee, said President Joko Widodo had ordered the sports ministry to lift the ban on the football association, but talks are ongoing and it is unclear when -- or if -- this will happen.

Despite signs of progress, FIFA looks unlikely to lift its ban on Indonesia soon. In a statement on Wednesday, its executive committee recommended a decision on Indonesia's future be postponed, and that it be barred from voting in FIFA's presidential election on Friday.

- 'It's very stressful' -
The players who have chosen to remain in Indonesia and wait for the crisis to pass are struggling to provide for their families, competing in local tournaments to stay match-fit and earn a modest living.

At village tournaments like the one in Cilacap, top players like Samsul Arif, Jean Paul Boumsong and Emile Mbamba are mobbed by fans seeking pictures and autographs of superstars they've only ever glimpsed on TV.

But behind the scenes, these top players share simple accommodation and basic meals, eschewing the high life of first-grade football for a chance to earn an income.

"We've got to pay rent, cover costs for our residency permits, let alone eat every day," Boumsong, a 31-year-old Cameroonian striker from Papuan club Perseru Serui, told AFP.

"It's very stressful. Many footballers are not saving for the future."

Brazilian player Anderson Da Silva, a defender who has lived and competed professionally in Indonesia since 2001, said he would keep accepting offers to play in small, one-off matches but also had a back-up plan -- opening a cafe with his wife in her home town.

But the real tragedy was the toll on young Indonesian players, Da Silva said. Instead of fulfilling their dreams to play for the national side, these rising stars were without contracts, pay or a certain future in the prime of their careers.

"I hope the crisis is resolved soon. Not just for the players, but for all Indonesian people," he told AFP.