`Pengadilan Rakyat` di Belanda, Ini Foto-foto Penuntut dan Saksi yang Permalukan Indonesia
`Tribunal` Opens Hearings into Mass Killings in Indonesia
Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi
SEBUAH 'Pengadilan Rakyat' diselenggarakan di Belanda pada Selasa tujuannya untuk mempublikasikan tuduhan bahwa pihak berwenang Indonesia yang bertanggung jawab atas pembunuhan ratusan ribu yang diduga sebagai anggota Komunis 50 tahun yang lalu.
Pengacara hak asasi manusia bertindak sebagai jaksa menuntut Indonesia dalam sembilan dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk pembunuhan, penyiksaan dan kekerasan seksual yang dituding sebagai pembantaian massal pada 1965-66 yang mengakibatkan sekitar 500.000 orang tewas.
Jaksa menyatakan pembantaian massal tersebut mengantarkan Soeharto meraih kekuasaan sebagai diktator, dengan menyelenggarakan pemerintahan otoriter selama tiga dekade.
Pengadilan tidak memiliki kekuatan hukum formal, tetapi 'Pengadilan Rakyat' bertujuan untuk menjelaskan apa yang disebut penggagas pengadilan sebagai hari paling gelap dalam sejarah pasca-kolonial di Indonesia, dan mendorong rekonsiliasi dengan mengungkap fakta tentang pembantaian massal.
Salah satu saksi pertama yang hadir untuk bersaksi, akademisi Leslie Dwyer yang telah melakukan penelitian di Bali, mengatakan bahwa 80.000 sampai 120.000 orang tewas di sana antara akhir 1965 hingga Maret 1966 dan mereka menyebut bahwa pembantaian dimulai ketika pasukan khusus pemerintah tiba dan mengerahkan polisi setempat dan warga sipil untuk bertindak.
Dwyer mengatakan bahwa dalam beberapa kasus hanya lantaran keterkaitan pada Komunis sudah cukup untuk menuntut seseorang, termasuk setelah tampil menyanyi atau menari di sebuah acara Partai Komunis Indonesia (PKI).
Nursyahbani Katjasungkana, aktivis hak-hak Indonesia dan mantan anggota parlemen yang mendukung terselenggaranya Pengadilan Rakyat, mengatakan pemerintah di Jakarta harus dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan di masa lalu.
"Pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk memenuhi dan menghormati hak-hak korban," katanya. "Mereka memiliki hak untuk keadilan, hak atas kebenaran dan pemulihan nama baik."
Pejabat senior Indonesia pekan ini mendesak dihentikannya pengadilan, dan mendakwa Belanda bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia selama penjajahan atas Indonesia.
Aktivis juga menyalahkan kekuatan asing, khususnya Amerika Serikat, Inggris dan Australia, karena keterlibatannya dalam pembunuhan, mengatakan dalam surat dakwaannya bahwa mereka memasok senjata, peralatan komunikasi dan bahkan daftar calon korban untuk pasukan Suharto.
Pengadilan ini diharapkan untuk mengeluarkan putusan, yang tidak mengikat secara hukum, tahun depan, seperti dikutip Associated Press yang dilansir MailOnline.
A 'PEOPLE'S TRIBUNAL' opened hearings in the Netherlands Tuesday intended to publicize allegations that Indonesian authorities were responsible for killing hundreds of thousands of suspected Communists 50 years ago.
Human rights lawyers acting as prosecutors charge the state of Indonesia in a nine-count indictment with crimes including murder, torture and sexual violence in the notorious killing spree from 1965-66 that left an estimated 500,000 people dead.
The bloodbath swept into power the dictator Suharto, whose authoritarian rule lasted for three decades.
The tribunal has no formal legal powers, but aims to shed light on what organizers call the darkest days in Indonesia's post-colonial history, and promote reconciliation by exposing the truth about the killings.
One of the first witnesses to testify, academic Leslie Dwyer who has conducted research on the Indonesian island of Bali, said that 80,000-120,000 people were killed there between late 1965 and March 1966 and that the killings only started when government special forces arrived and began organizing local police and militias.
Dwyer said that in some cases only the most tenuous links to the Communists was enough to cost a person his or her life, including having sung or danced at an Indonesian Communist Party event.
Nursyahbani Katjasungkana, an Indonesian rights activist and former lawmaker who helped establish the tribunal, said the government in Jakarta needs to be held to account for crimes committed in the past.
"The Indonesian government is responsible to fulfill and respect victims' rights," she said. "They have the right to justice, the right to truth and reparations."
Indonesian senior officials this week dismissed the tribunal, and blamed the Netherlands for human rights violation during its colonization of Indonesia.
Activists also blame foreign powers, particularly the United States, Britain and Australia, for complicity in the killings, saying in the indictment that they provided small arms, communications equipment and even lists of potential victims to Suharto's forces.
The tribunal is expected to issue verdicts, which are not legally binding, next year.
