Lemhanas: Paradigma Pendidikan Belum Mampu Hasilkan Lulusan yang Mumpuni
NRI: Education Paradigm Failed to Produce Qualified Graduates
Reporter : Gusmiati Waris
Editor : Cahyani Harzi
Translator : Dhelia Gani
Jakarta (B2B) - Paradigma dan praksis pendidikan sejak 1945 sampai saat ini belum mampu secara masif mencerdaskan kehidupan bangsa dan menghasilkan lulusan yang cerdas. Mencerdaskan kehidupan bangsa menurut founding fathers adalah menghilangkan mentalitas inlander (underdog mentality) sebagai bangsa yang dijajah selama 350 tahun.
"Dengan mencerdaskan kehidupan bangsa, kita tidak lagi buta ketakwaan, buta aksara, buta seni budaya, buta peradaban, buta sejarah, buta ideologi. Dengan demikian, mencerdaskan kehidupan bangsa tidak hanya mencerdaskan otak peserta didik tapi juga mencerdaskan hidupnya," kata Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Marsekal Madya Dede Rusamsi dalam seminar bertema ´Paradigma Baru Pendidikan Nasional Guna Menyongsong 100 Tahun Indonesia Merdeka dalam Rangka Ketahanan Nasional´ yang diadakan Lemhanas di Jakarta, Rabu (4/9).
Hadir sebagai pembicara Prof Yohanes Surya dari Surya Institute, Prof Utomo Dananjaya dari Paramadina University, Prof Ahmad Zadzuli, serta Prof Arif Rahman Hakim.
Dede Rusamsi menambahkan, Korea Selatan dapat menjadi rujukan negara yang lebih mampu membangun pendidikan sebagai bagian dari membangun nilai-nilai budaya kehidupan bangsa yang cerdas. Pendidikan tidak hanya menyampaikan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga membangun karakter-karakter positif.
"Bagi Indonesia, pendidikan yang menanamkan karakter-karakter positif sudah mulai ditinggalkan dalam beberapa dekade terakhir seperti disampaikan oleh Mochtar Lubis dan Koentjaraningrat pada dekade 80-an dan Gunnar Myrdall pada dekade 60-an yang mengatakan bahwa kultur Asia lembek," ungkap Dede.
Dede menambahkan, implikasinya yang terdeteksi saat ini adalah kinerja pendidikan sampai pada masa reformasi belum sepenuhnya dikatakan berhasil karena para pekerja masih sekitar 60% tidak tamat SD atau hanya tamat SD.
"Siswa yang gagal melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi akan meningkat jumlahnya, karena biaya di perguruan tinggi sulit dijangkau serta terbatasnya kapasitas daya tampung perguruan tinggi yang ada saat ini," tambahnya lagi.
Dampak dari kualitas SDM yang rendah ini, kata Wagub Lemhanas, selanjutnya dapat dilihat dengan rendahnya daya saing Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Dengan kata lain, pembangunan di Indonesia belum mampu menghasilkan daya saing dalam arus utama perubahan dunia.
Hal ini terbukti dengan rendahnya posisi peringkat Indonesia ditinjau dari beberapa indikator yang menunjukkan daya saing bangsa. Dalam Global Competitiveness Index, Indonesia berada pada peringkat ke-46 dari 139 negara. Sementara Singapura, Malaysia dan Thailand berada pada peringkat 2, 21, dan 39.
Jakarta (B2B) - Paradigm and praxis of education since 1945 until now have not able to be massive for the intellectual life of the nation, and produce qualified graduates. Educating the nation by the founding fathers is eliminate the mentality inlander (underdog mentality) as a nation that was colonized for 350 years.
"By educating the nation, we are no longer blind devotion, illiterate, blind arts and culture, civilization blind, blind history, blind ideology. Therefore, the intellectual life of the nation is not only intellectual brain learners, but also to educate his life," said Deputy Governor the National Resilience Institute (NRI), Marshal Dede Rusamsi in the seminar entitled ´the New Paradigm for the National Education Toward 100 Years of Independence of Indonesia in the framework of National Security´, held by the National Resilience Institute in Jakarta, Wednesday (4/9).
Speakers at the seminar include Prof. Yohanes Surya from Surya Institute, Prof. Utomo Dananjaya of Paramadina University, Prof Ahmad Zadzuli, and Prof Arif Rahman Hakim.
Dede Rusamsi adds, South Korea may be a reference to a country more able to establish education as part of the build cultural values ��that intelligent life of the nation. Education is not only knowledge and skills, but also build positive characters.
"For Indonesia, the education that instills positive characters are becoming obsolete in recent decades as said by Mochtar Lubis and Koentjaraningrat the decade of the 80s and Gunnar Myrdall the 60s decade saying that mushy Asian culture," said Dede.
Dede added, the implication is detected at this time is the performance of education until the reform period have not fully been successful, because the workers are still about 60% did not graduated from elementary school or only graduated from elementary school.
"Students who fail to continue their education to higher education will increase in number, because college costs in hard to reach places as well as capacity limitations college that exists today," he added.
The impact of the low quality of human resources, said Deputy Governor of National Resilience Institute, then it can be seen with the low competitiveness of Indonesia compared to other countries. In other words, development in Indonesia have not able to produce competitive in the mainstream world changes.
It is proved by the low ranking position Indonesia in terms of several indicators that show the competitiveness of nations. In the Global Competitiveness Index, Indonesia is ranked 46th of 139 countries. While Singapore, Malaysia and Thailand is ranked 2, 21, and 39.
