Nizma Scoffield, Warga Inggris Penolong Anak-anak Korban Tsunami Aceh

UK Mother Tells How She Has Raised more than 100 Orphans after Boxing Day Tsunami

Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi


Nizma Scoffield, Warga Inggris Penolong Anak-anak Korban Tsunami Aceh
Sepuluh tahun kemudian para anak yatim tumbuh dan kini menjalani kehidupan yang lebih baik. Anak laki-laki bekerja menjadi guru dan pengusaha dan gadis-gadis telah menikah dan kuliah di perguruan tinggi (Foto2: MailOnline)

TAKUT pada air dan berteriak ketakutan ketika mendengar suara hujan, trauma itu dialami ribuan anak yang hidupnya berantakan akibat diterjang tsunami.

Berdesakan dalam tenda, banyak yang diam membisu dan shock setelah kehilangan seluruh keluarganya dan melihat desa mereka diratakan tsunami dan terendam banjir.

Bagi Nizma Scoffield hanya ada satu pilihan, mendirikan sebuah panti asuhan untuk menampung sebanyak mungkin anak, yang terdampar akibat tsunami dan tanpa kerabat, serta rumah.

Pekerja sosial di Inggris sepuluh mengenang peristiwa 10 tahun lalu ketika membantu lebih dari 100 anak-anak yatim piatu, yang kini berhasil keluar dari penderitaannya dan telah bekerja, kuliah dan menikah.

"Begitu banyak anak yatim saat tsunami terjadi, terlalu banyak anak tanpa orang tua - itu sebabnya kami memutuskan untuk mendirikan panti asuhan," kata Nyonya Scoffield, seperti dilansir MailOnline.

Mrs Scoffield, yang lahir di Indonesia dan memiliki dua anak, datang ke London 34 tahun yang lalu dan menikah dengan warga Inggris.

Tapi setelah dia melihat apa yang terjadi pada Tragedi Tsunami di Aceh dia memutuskan terbang ke sana untuk membantu.

Dia baru dapat menuju Aceh tiga pekan setelah bencana dan menyiapkan panti asuhan bernama Chariots for Children untuk membantu anak-anak yatim, dengan donasi dari warga Inggris.

Panti asuhan yang dibangunnya, berada di Desa Paroy, Lhoong di Aceh, awalnya hanya menampung 50 anak-anak yatim yang kehilangan keluarga mereka akibat tsunami dan berhasil membangunkan rumah bagi korban setelah 10 tahun bencana tsunami.

Ketika dia tiba di Aceh, Mrs Scoffield disambut oleh tumpukan mayat di samping puing-puing rumah dan mayat tersangkut di pohon - sehingga mustahil untuk menempuh perjalanan dengan sepeda motor.

Pekerja sosial mengunjungi tenda yang dipadati anak-anak yatim yang mengalami trauma akibat tsunami dan tidak ada yang mengawasi mereka.

"Sangat menyedihkan - Saya bahkan tidak bisa menangis ketika pertama kali tiba di sana, situasinya begitu porak-poranda," katanya.

"Kami mencoba untuk menghibur mereka dengan bernyanyi bersama, menggambar dan memberi mereka hadiah dan buku - ketika saya mendengar mereka tertawa saya sangat terharu.

"Kami pergi mencari anak perempuan dan anak laki-laki, mereka semua lalu berkumpul dan beberapa dari mereka tidak mampu berkata-kata."

"Kami memilih anak-anak yang sebatang kara, yang benar-benar membutuhkan bantuan kami, kami mendengar beberapa dari mereka berteriak di malam hari."

Mrs Scoffield memindahkan 30 anak laki-laki dan 20 anak perempuan ke rumah kontrakan sementara dia mencari lahan untuk membangun rumah mereka.

"Anak-anak takut dengan air dan suara hujan dan mengalami mimpi buruk ketika mereka tidur," tambahnya.

Panti asuhan ini berada di antara dua bukit dan hanya dapat diakses oleh sepeda motor. Dibutuhkan biaya sekitar 600 juta untuk membeli tanah 8.000 meter persegi di bukit di atas pantai dan biaya lain sekitar Rp1,7 miliar untuk membangun panti asuhan yang berdiri di sana hari ini. Dana tersebut sebagian besar diperoleh dari masyarakat di Inggris yang menyumbangkan setelah mereka melihat kehancuran akibat tsunami.

Mrs Scoffield menambahkan: "Kami pergi ke Lhoong karena jalan terputus, kami mencoba dengan sepeda motor tapi ada mayat tergantung di pohon-pohon jadi kami memilih perahu."

"Saya melakukan perjalanan kembali dari Asia untuk berbicara tentang Indonesia dan anak-anak di sana dan untuk mengumpulkan uang lebih banyak untuk membangun rumah bagi anak-anak, dan untuk menyediakan sandang dan pangan bagi mereka."

Sepuluh tahun kemudian para anak yatim tumbuh dan kini menjalani kehidupan yang lebih baik. Anak laki-laki bekerja menjadi guru dan pengusaha dan gadis-gadis telah menikah dan kuliah di perguruan tinggi."

Mrs Scoffield sempat kehilangan kontak dengan banyak anak-anak yang dibantunya selama 10 tahun lalu, namun berhasil menjalin komunikasi dengan beberapa dari mereka.

Salah satu anak malang tersebut bernama Nina.

Dia baru berusia sepuluh tahun ketika tsunami terjadi, bersandar di pohon kelapa, ia menyaksikan ibunya tersapu oleh tsunami. Diselamatkan dan diambil oleh tim penolong dari Chariots for Children, Nina menghabiskan masa remajanya di panti asuhan dan sekarang kuliah di universitas.

Nina sekarang tinggal di Banda Aceh, ibukota Aceh - tapi masih takut dengan gempa bumi dan terutama tentang kematian.

Nyonya Scoffield mengatakan: "Ketika saya melihatnya lagi saya hanya menatapnya dengan takjub, ia tampak begitu dewasa dan tinggi, saya hanya ingin memeluk dan menciumnya."

´Nina menyukai matematika, fisika dan kimia, serta ekonomi dan pelajaran agama."

"Dia mengatakan padaku bahwa ia ingin menjadi seorang psikolog, untuk lebih membantu orang lain kelak."

Mrs Scoffield, dari Bromley di London kini mengumpulkan dana bagi generasi baru anak-anak tunawisma di Indonesia yang ia kunjungi setiap enam bulan.

Rumah yatim piatu itu didanai dari sumbangan donatur dengan kebutuhan dana operasional sekitar Rp120 juta per bulan - untuk menyediakan makanan, tempat tinggal dan biaya sekolah bagi anak yatim.

Anak-anak, sebagian besar dari mereka adalah korban konflik di Indonesia - diajarkan kurikulum nasional, bermain sepak bola dan berlatih bela diri.

Dia mengatakan: "Selama sepuluh tahun terakhir semuanya  berubah, donasi dari Amerika dimanfaatkan untuk membangun jalan, membangun rumah-rumah yang hancur dan orang-orang sudah mulai bekerja dan berdagang lagi.

"Beberapa panti asuhan yang kosong sekarang, dana sumbangan mengalami penurunan sehingga dana donasi tidak cukup untuk membiayainya."

"Kami senang mengundang lebih banyak anak untuk belajar di sana dan memberi mereka masa depan yang baik - kami ingin menjadi kampus bagi orang-orang muda untuk datang dan belajar."

TERRIFIED of water and screaming at the sound of rain, they were just some of the thousands of children whose lives were devastated by the Boxing Day tsunami.

Crammed into tents, many were mute and in shock after losing their entire families and seeing their villages flattened and flooded.

For Nizma Scoffield there was only one option, to set up an orphanage to give as many children as possible, marooned by the tsunami and without any relatives, a home.

Ten years on the British charity worker is celebrating helping raise more than 100 children through the orphanage, who have gone on from the crisis to work, study at university and get married.

´There were too many orphans when the tsunami happened, too many children with no parents - that´s why we decided to set up the orphanage,´ said Mrs Scoffield.

Mrs Scoffield, who was born in Indonesia and has two children, came to London 34 years ago and married an Englishman.

But after she saw what had happened on Boxing Day in Indonesia she decided to fly there to help.

She was able to get a flight three weeks after the disaster and set up Chariots for Children to help orphans, with the help of British donations.

The orphanage she set up, located in Paroy village, Lhoong on the Aceh coast of Indonesia, initially housed 50 children who lost their families in the catastrophe and has gone on to give a home to more in the 10 years since the crisis.

When she arrived in Indonesia Mrs Scoffield was greeted by dead bodies piled next to rubble and others hanging from the trees - making it impossible to navigate roads by motorbike. 

The charity worker visited tents packed with orphans severely traumatised by the tsunami and with nobody to look after them.

´It was devastating - I could not even cry the first time I got there, the destruction and the damage was massive,´ she said.

´We tried to entertain them by singing together, drawing and giving them presents and books - when I heard them laugh it nearly broke my heart.

´We went to find girls and boys, they were all mixed up and some of them wouldn´t speak.

´We chose those that didn´t have family left, that really needed our help, we heard some of them scream at night.´

Mrs Scoffield moved 30 boys and 20 girls into a rented house while she searched for land to build them a home.

´The children were scared by water and the sound of rain and had nightmares when they slept,´ she added.

The orphanage is nestled between two hills and only accessible by motorbike. It cost around £3,000 to buy 8,000 square meters of land in the hills above the coast and another £85,000 to build the orphanage that stands there today. The funds were mostly raised from communities in England who donated after they saw the devastation left in the wake of the tsunami.

Mrs Scoffield added: ´We went to Lhoong because it was cut off, we tried by motorbike but there was dead bodies hanging from trees so we went by boat.

´I would travel back from Asia to talk about Indonesia and the children there and to raise more money to build the children a home, and to keep them clothed and fed.´

Ten years later the orphans have grown up to lead successful lives. The men have become teachers and businessmen and the girls have got married and are studying at college.

Mrs Scoffield has lost contact with many of the children she has helped over the years, but has managed to keep in touch with a few.

One of these children is Nina.

She was was just ten years old when, clinging to a coconut tree, she watched as her mother was swept away by the tsunami. Rescued and taken in by the Chariots for Children team, Nina spent her teenage years at the orphanage and is now studying at university.

Nina now lives in the regional capital of Aceh - but is still terrified by earthquakes and the mention of death.

Mrs Scoffield said: ´When I saw her again I just stared at her with amazement, she looks so grown up and tall, I just wanted to hug and kiss her.

´Nina loves maths, physics and chemistry, as well as economics and religious studies.

´She tells me she wants to become a psychologist, to better help her people in the future.´

Mrs Scoffield, from Bromley in London is now raising funds for a new generation of homeless children in Indonesia who she visits every six months.

The home runs off donations of around £600 a month - which provides food, shelter and tuition for the Indonesian orphans.

The children, most of whom were victims of recent conflict in the country - are taught the national curriculum, play football and practice martial arts.

She said: ´Over the past ten years everything has changed, the US aid came and re-built the road, the houses that were destroyed have been rebuilt and people have started working and trading again.

´Some of the orphanages are empty now, the funding has decreased so much that charities can´t afford to run them.

´We would love to invite more children to study there and give them a good future - we would like to be a campus for young people to come and study.´