Vonis Mati Ferdy Sambo jadi Sorotan Media Internasional

High-ranking Indonesia Police Official Sentenced to Death for Murder

Editor : Kemal A Praghotsa
Translator : Dhelia Gani


Vonis Mati Ferdy Sambo jadi Sorotan Media Internasional
VONIS MATI: Ferdy Sambo, jenderal polisi berbintang dua dan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri [Kadiv Propam] ditetapkan sebagai tersangka setelah ajudannya ditemukan tewas di rumah Ferdy Sambo pada awal Juli 2022.

MEDIA asing turut menyoroti vonis mati bagi Ferdy Sambo, dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap ajudannya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri [PN] Jakarta Selatan menilai Ferdy Sambo, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).

"Menyatakan terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum, melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan yang menyebabkan sistem elektronik tidak berfungsi sebagaimana mestinya,” ujar Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, Senin [13/2].

Media terkemuka Inggris, Daily Mail menyebut Ferdy Sambo salah satu perwira tinggi Kepolisian RI [Polri] dijatuhi hukuman mati pada Senin atas pembunuhan ajudannya.

Ferdy Sambo, jenderal polisi berbintang dua dan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri [Kadiv Propam] ditetapkan sebagai tersangka setelah ajudannya ditemukan tewas di rumah Ferdy Sambo pada awal Juli 2022.

Ferdy Sambo didakwa memerintahkan bawahannya untuk menembak Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, 27 tahun, kemudian menembakkan peluru ke arah korban yang terluka.

Dia ditangkap pada Agustus dan diberhentikan dari kepolisian pada September, sebelum persidangan selama empat bulan yang menjadi berita utama nasional dan menyoroti rasa impunitas polisi di Indonesia.

"[Pengadilan] menyatakan terdakwa Ferdy Sambo secara meyakinkan dan sah bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana... dan menghukum mati terdakwa," kata Hakim Ketua Wahyu Iman Santoso di pengadilan.

Sambo memiliki waktu seminggu untuk mengajukan banding atas vonis tersebut.

Ibu mendiang Brigadir J berada di pengadilan PN Jakarta Selatan seraya memeluk foto almarhum anaknya saat hakim membacakan vonis mati kepada Ferdy Sambo. 

Terdengar sorak gembira saat vonis dibacakan, dari publik yang tertegun tak menyangka hukuman maksimal. 

Ketika kematian Brigadir J terungkap, polisi awalnya mengatakan bahwa terjadi tembak-menembak dengan rekannya sesama ajudan Ferdi Sambo, yang kemudian menembaknya hingga tewas, setelah disebut kedapatan melakukan pelecehan seksual terhadap istri Sambo, Putri Candrawathi.

Ferdy Sambo dan istrinya ditangkap beberapa minggu kemudian.

Polri tidak mengungkapkan pembunuhan itu selama berhari-hari dan mengatakan kamera pengintai tidak berfungsi ketika Brigadir J terbunuh. Hakim mengatakan rekaman CCTV telah dihapus oleh bawahan Sambo.

Istri Sambo, Putri Candrawathi, juga dijatuhi hukuman 20 tahun penjara pada Senin, jauh lebih tinggi dari tuntutan jaksa selama delapan tahun.

Pengamat HAM mengatakan posisi Ferdy Sambo sebagai penegak hukum kemungkinan besar menjadi motivasi bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman maksimal.

"Putusan ini berarti penegak hukum yakin Ferdy Sambo adalah dalang pembunuhan ini," kata Ardi Manto Saputra, wakil direktur kelompok HAM, Imparsial, kepada AFP yang dikutip MailOnline.

"Dia telah menodai reputasi penegak hukum dan martabat pemerintah."

ONE of Indonesia´s most senior police officers was sentenced to death on Monday over the murder of his bodyguard.

Ferdy Sambo, a two-star general and former head of internal affairs for the national police, was named as a suspect after his bodyguard was found dead at Sambo´s home in July, in a killing police were initially alleged to have covered up.

Sambo was accused of ordering a subordinate to shoot 27-year-old Brigadier Nofriansyah Yosua Hutabarat, and then firing a bullet into the wounded victim himself.

He was arrested in August and discharged from the force in September, before a months-long trial that grabbed national headlines and shone a light on a pervading sense of police impunity in the archipelago nation.

"[The court is] declaring the defendant Ferdy Sambo to be convincingly and legally guilty of committing the crime of premeditated murder... and sentencing the defendant to death," presiding judge Wahyu Iman Santoso told the court.

Sambo has a week to appeal the verdict.

Hutabarat´s mother sat in the Jakarta court holding his picture as the judge addressed Sambo, who attended in person.

There were yelps as the verdict was read, from a stunned public who did not expect the maximum sentence. As Sambo was ushered out of the courtroom, still in custody, he was swamped by media.

When Hutabarat´s death came to light, police initially said another member of the security detail had killed him, having caught him sexually assaulting Sambo´s wife.

But Sambo and his wife were arrested weeks later.

Police did not reveal the killing for days and said surveillance cameras were not working when Hutabarat was killed. The judge said CCTV footage was deleted by a Sambo subordinate.

Sambo´s wife, Putri Candrawathi, was also sentenced on Monday to 20 years in prison, much higher than the eight-year term prosecutors were seeking.

Activists said Sambo´s role as a law enforcer was likely the motivation behind the court handing down the maximum sentence.

"This verdict means the law enforcers believed Ferdy Sambo was the mastermind behind this murder," Ardi Manto Saputra, deputy director of human rights group Imparsial, told AFP.

"He has tainted the reputation of law enforcement and the government´s dignity."