Devaluasi Bukan Langkah Tepat bagi Indonesia, kata Gubernur BI
BI Governor: Devaluation Not an Ideal Solution for Indonesia
Reporter : Gatot Priyantono
Editor : Cahyani Harzi
Translator : Dhelia Gani
Jakarta (B2B) - Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo mengatakan cara pelemahan mata uang nasional atau devaluasi bukan salah satu cara terbaik bagi Indonesia, kebijakan devaluasi bisa diterapkan pada negara-negara yang berbasis ekonomi pengolahan produksi atau negara penghasil sumber daya alam beserta pengolahan turunannya.
"Tren pelemahan mata uang di negara lain, belum tentu berhasil di Indonesia, karena Indonesia juga masih tergantung pada ekspor dan impor primer," kata Agus di Jakarta, Senin.
Menurutnya, Indonesia saat ini dinilai masih memiliki rasio 50 berbanding 50 dalam hal produksi, bahkan untuk kebutuhan primer masih bergantung pada sektor ekspor dan impor, karena sumber daya alam masih berupa mentahan yang diekspor.
"Ketika sumber daya alam kita hanya masih menjual mentahan, serta masih banyak bergantung impor, kebijakan devaluasi kurang berpengaruh positif bagi negara," kata Agus.
Sebelumnya, bank sentral Tiongkok (PBoC) mendevaluasi mata uang yuan pada sebesar hampir dua persen terhadap dolar AS, karena pihak berwenang mengatakan mereka berusaha untuk mendorong reformasi pasar.
Langkah dramatis itu mengejutkan pasar dan menyebabkan gelombang penjualan di bursa saham AS dan Eropa, serta di banyak bursa komoditas.
Sementara itu, Bank sentral Vietnam juga telah memutuskan memperlebar batas perdagangan untuk transaksi antarbank mata uang Vietnam dong terhadap dolar AS dari 2% menjadi 3%.
State Bank of Vietnam (SBV), bank sentral negara itu, juga mengumumkan menaikkan rata-rata nilai tukar antar bank sebesar satu persen, dari 21.673 dong per dolar AS menjadi 21.890 dong per dolar.
Jakarta (B2B) - Governor of Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo stated that devaluation was not the best solution for Indonesia, devaluation could be implemented in countries whose economies are based on production processes, or nations that produce natural resources and their derivative products.
"Currency devaluation similar to that carried out in other countries will not be successful if it is done in Indonesia as the country still relies on primary imports and exports," Mr Martowardojo said here on Monday (8/24).
He noted that Indonesia currently has a 50-50 ratio in terms of production, and even its primary needs are still dependent on the export-import sector since the natural resources it exports are in the form of raw materials.
"As we still export raw materials and rely on imports, hence devaluation will not have a positive impact on the country," Mr Martowardojo said.
The Chinese central bank has devalued the yuan by almost two percent to the US dollar to encourage market reform.
This dramatic step has shocked the market and triggered the sale of shares in the United States, European, and several other commodity exchanges.
Vietnam has also decided to widen the span for its currency trading in interbank transactions from two to three percent.
Moreover, the State Bank of Vietnam has announced a hike in the average interbank exchange rate by one percent from 21,673 dong per US dollar to 21,890 dong.
