Eka Tjipta Widjaja Meninggal Disorot Media Asing

Migrant who Founded Indonesian Business Empire Dies

Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi


Eka Tjipta Widjaja Meninggal Disorot Media Asing
Eka Tjipta Widjaja (Foto: infobiografi.com)

EKA TJIPTA WIDJAJA, konglomerat yang dikenal sebagai salah satu orang terkaya Asia, dan dikenal sebagai konglomerat terkemuka Indonesia meninggal dunia di usia 97. 

Eka TW meninggal pada Sabtu malam, menurut Gandi Sulistiyanto, direktur pelaksana di kelompok usaha Sinarmas.

Putra dari migran asal Fujian di Cina, Eka TW adalah seorang pedagang minyak kelapa di Provinsi Sulawesi Selatan  pada dekade 30-an sebelum  mengembangkan bisnis minyak kelapa sawit, pulp dan kertas dan pertambangan.

Forbes memperkirakan kekayaan Eka TW mencapai US$8,6 miliar tahun lalu, menjadikannya orang terkaya ketiga di Indonesia dan keluarga di antara 25 orang terkaya di Asia.

Dia memiliki beberapa istri dan menurut beberapa laporan memiliki 40 anak.

Sinarmas dikenal dengan total aset US$14 miliar dolar dari bisnis Asia Pulp and Paper pada 2001. Awal dekade ini, Eka TW menjadi sosok yang dikecam oleh pencinta lingkuntan internasional setelah Greenpeace berkampanye menentang penghancuran hutan hujan Indonesia seperti dikutip  Associated Press yang dilansir MailOnline.

EKA TJIPTA WIDJAJA, patriarch of one of Asia´s richest families and the founder of a sprawling Indonesian conglomerate, has died. He was 97.

Widjaja passed away on Saturday evening, according to Gandi Sulistiyanto, a managing director at the Sinarmas conglomerate.

The son of migrants from Fujian in China, Widjaja was a coconut oil trader on the Indonesian island of Sulawesi in the 1930s before building businesses in palm oil, pulp and paper and mining.

Forbes estimated Widjaja´s fortune at $8.6 billion last year, making him Indonesia´s third-richest person and the family among the 25 richest in Asia.

He had several wives and according to some reports as many as 40 children.

Sinarmas is known for the record $14 billion default of its Asia Pulp and Paper business in 2001. Earlier this decade it became an international pariah as Greenpeace campaigned against its destruction of Indonesia´s rainforests.