BJ Habibie Wafat Usia 83 di RSGS Pukul 18:05

Former Indonesian President Habibie Dies at Age 83

Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi


BJ Habibie Wafat Usia 83 di RSGS Pukul 18:05
Putra Habibie, Thareq Kemal Habibie, mengatakan Presiden RI ketiga wafat pada Rabu di RS Gatot Subroto [RSGS] untuk menjalani perawatan masalah jantung sejak Minggu [1/9] Foto: Associated Press/MailOnline

MANTAN PRESIDEN RI Bacharuddin Jusuf Habibie, yang dikenal sebagai sosok penyokong reformasi demokratis dan referendum kemerdekaan untuk Timor Timur setelah penggulingan diktator Suharto, wafat. Almarhum tutup usia 83 tahun.

Masanya memerintah sebagai presiden adalah yang tersingkat dalam sejarah politik Indonesia hingga saat ini, tapi dikenal sebagai transformatif.

Putra Habibie, Thareq Kemal Habibie, mengatakan Presiden RI ketiga wafat pada Rabu di RS Gatot Subroto [RSGS] untuk menjalani perawatan masalah jantung sejak Minggu [1/9].

BJ Habibie ditetapkan untuk memimpin Indonesia oleh Soeharto ketika kekuasaan diktator militernya selama 32 tahun runtuh pada Mei 1998 setelah demonstrasi mahasiswa dipicu krisis moneter yang membuat ekonomi nasional porak-poranda. Habibie memerintah hanya 16 bulan, hingga Oktober 1999 ketika ia menarik diri dari pemilihan presiden.

Sebagai seorang insinyur yang berpendidikan di Indonesia, Belanda dan Jerman, Habibie menghabiskan hampir dua dekade bekerja untuk pembuat pesawat Jerman Messerschmitt-Boelkow-Blohm, sebelum kembali ke Indonesia pada 1974 untuk membantu Presiden Soeharto melakukan industrialisasi ekonomi.

Sebagai presiden, Habibie meminta maaf atas pelanggaran HAM masa lalu dan menguraikan program reformasi delapan poin "untuk membangun masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis."

Dia memerintahkan pembebasan tahanan politik, menghapus pembatasan pers dan mereformasi politik untuk memungkinkan pemilihan umum yang bebas.

Dia mencabut larangan tiga dekade untuk berbicara dan mengajar bahasa Mandarin sebagai bagian dari pelonggaran kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa yang dilembagakan oleh Suharto setelah kampanye anti-komunis pasca pemeberontakan komunis PKI 1965.

Menanggapi kritik internasional terhadap pendudukan Indonesia atas bekas jajahan Portugal di Timor Timur, Habibie mengejutkan orang Indonesia dengan mengumumkan pada Januari 1999 sebuah rencana untuk mengadakan referendum di bawah pengawasan Amerika Serikat mengenai penentuan nasib sendiri, menawarkan pilihan antara otonomi khusus dan kemerdekaan.

Media asing Associated Press seperti dikutip MailOnline menyebut bahwa milisi Indonesia menggunakan taktik teror untuk mengintimidasi warga Timtim agar memilih untuk tetap bergabung dengan Indonesia, tetapi warga Timtim memilih untuk berpisah dari Indonesia.

Pada 2017, rakyat Timtim mengadakan pemilihan presiden dan parlemen yang merupakan yang pertama tanpa pengawasan Amerika Serikat sejak pasukan penjaga perdamaian pergi pada 2012.

Terlepas dari reformasinya, Habibie tidak mampu menguasai keributan politik yang dilepaskan oleh pemberontakan mahasiswa.

Dia menggambarkan kerusuhan berdarah yang mengakhiri kediktatoran Suharto sebagai "biadab," lanjut mengasingkan siswa yang takut dia mengkhianati revolusi demokratik mereka dan melakukan protes keras terhadap kepresidenannya.

Kegagalan untuk menuntut seorang teman lama atas tuduhan korupsi besar-besaran merusak kampanyenya untuk tetap berkuasa. Pada 20 Oktober 1999, Habibie mundur dari pemilihan presiden.

Parlemen sudah bergerak untuk memilih kepala negara baru setelah anggota parlemen menolak pidato "akuntabilitas" -nya tentang keberhasilan dan kegagalan selama menjadi presiden. Lahir 25 Juni 1936, di kota Parepare, Sulawesi Selatan, Habibie adalah anak keempat dari delapan bersaudara.

Ayahnya adalah keturunan asli Gorontalo dan ibunya seorang bangsawan Jawa dari kesultanan kuno Yogyakarta. Istrinya, Hasri Ainun Habibie, seorang dokter, meninggal pada 2010 seperti dikutip Associated Press seperti dikutip MailOnline.

FORMER INDONESIAN President Bacharuddin Jusuf Habibie, who allowed democratic reforms and an independence referendum for East Timor following the ouster of the dictator Suharto, has died. He was 83.

His unpopular presidency was the shortest in modern Indonesia's history, but was transformative.

Habibie's son, Thareq Kemal Habibie, said Indonesia's third president died Wednesday at Jakarta's Gatot Subroto army hospital, where he had been undergoing treatment for heart problems since Sept. 1.

Habibie was tapped to lead Indonesia by Suharto as the military dictator's 32-year hold on power crumbled in May 1998 during a student uprising and a devastating economic crash. It ended after only 16 months in October 1999 when he withdrew from contention in presidential elections.

An engineer educated in Indonesia, the Netherlands and Germany, Habibie spent nearly two decades working for German aircraft maker Messerschmitt-Boelkow-Blohm, before returning to Indonesia in 1974 to help lead Suharto's campaign to industrialize the economy.

As president, Habibie apologized for past human rights abuses and outlined an eight-point reform program "to build a just, open and democratic society."

He ordered the release of political prisoners, dismantled restrictions on the press and reformed politics to allow for free elections.

He lifted a three-decade-old ban on the speaking and teaching of Mandarin as part of an easing of discriminatory policies against ethnic Chinese that was instituted by Suharto after his anti-communist pogroms of 1965-66.

Responding to international criticism of Indonesia's occupation of Portugal's former colony of East Timor, Habibie surprised Indonesians by announcing in January 1999 a plan to hold a referendum under U.N. supervision on self-determination, offering a choice between special autonomy and independence.

Indonesian militias deployed terror tactics to intimidate people into voting for continued union, but East Timorese voted overwhelmingly to split from Indonesia.

In 2017, the young democracy held presidential and parliamentary elections that were the first without U.N. supervision since peacekeepers left in 2012.

Despite his reforms, Habibie was unable to master the political tumult unleashed by the student uprising.

He described the bloody riots that ended Suharto's dictatorship as "barbaric," further alienating students who feared he was betraying their democratic revolution and staged violent protests against his presidency.

A failure to prosecute a longtime friend over allegations of massive corruption undermined his campaign to stay in power. On Oct. 20, 1999, Habibie withdrew from upcoming presidential elections.

Parliament was already moving to elect a new head of state after lawmakers rejected his "accountability" speech on the successes and failures of his months in office. Born June 25, 1936, in the South Sulawesi town of Parepare, Habibie was the fourth of eight siblings.

His father was of native Sulawesi descent and his mother a Javanese noblewoman from the ancient sultanate of Yogyakarta. His wife, Hasri Ainun Habibie, a medical doctor, died in 2010.