ICW Tuding 12 Poin RUU KUHAP `Amputasi` Sejumlah Kewenangan KPK

Indonesian Corruption Watch Accused 12 Points Code of Criminal Procedure Draft Law `Amputating` a Number of Authority Anti-graft Agency

Editor : Cahyani Harzi
Translator : Dhelia Gani


ICW Tuding 12 Poin RUU KUHAP `Amputasi` Sejumlah Kewenangan KPK
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi diwakili Siti Aminat menyerahkan surat terbuka untuk Presiden SBY agar menolak RUU KUHAP diterima oleh Wakil Menkumham Denny Indrayana (Foto: antikorupsi.org)

Jakarta (B2B) - Diam-diam, sejumlah politisi DPR masih berniat melemahkan bahkan “membunuh” KPK lewat Rancangan Undang-undang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi meminta Presiden SBY segera menarik RUU KUHAP dari DPR.

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi memberikan surat terbuka kepada Presiden SBY dan Menteri Hukum dan HAM yang isinya menolak pembahasan RUU KUHAP di DPR dan mendesak presiden menarik RUU ini karena bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi, seperti dilansir melalui laman ICW di antikorupsi.org.

Koalisi diterima oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana di kantornya pada Selasa (4/2) di Jakarta. Koalisi diwakili ICJR, ILRC, YLBHI, LBH Jakarta, Arus Pelangi, Transparansi Internasional Indonesia, dan ICW.

ICW menilai, sengaja atau tidak, RUU KUHAP terkesan meniadakan KPK dan Pengadilan Khusus Tipikor. Ini dapat dilihat dari tidak adanya lembaga lain yang disebut, kecuali: kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan (negeri, tinggi dan Mahkamah Agung). Tanpa penyebutan secara khusus, jika disahkan, regulasi ini dapat menimbulkan polemik atau multitafsir di kemudian hari.

RUU KUHAP juga memberikan kewenangan luar biasa bagi Hakim Pemeriksa Pendahuluan (Hakim Komisaris) untuk lanjut atau tidaknya penuntutan, penyitaan dan penyadapan dalam suatu proses pidana (termasuk kasus korupsi). Hakim Komisaris juga punya kewenangan menangguhkan penahanan tersangka atau terdakwa, dengan jaminan uang atau orang.

RUU KUHAP juga jauh dari semangat pemberantasan korupsi. Bahkan dapat dinilai, RUU KUHAP menguntungkan koruptor. Pada intinya, Pasal 240 RUU KUHAP menyebutkan putusan bebas tidak dapat dikasasi ke Mahkamah Agung.

Kemudian, Pasal 250 RUU KUHAP intinya menyebutkan Putusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi. Selain itu, RUU KUHAP juga tidak mengakomodir ketentuan apabila pelaku kejahatan atau korupsi adalah korporasi/perusahaan.

Koalisi mencatat 12 poin dalam RUU KUHAP yang berpotensi “membunuh” KPK dan upaya pemberantasan korupsi.

1. RUU KUHAP menghapus ketentuan penyelidikan
Ketentuan RUU KUHAP menghapuskan ketentuan penyelidikan dan hanya mengatur ketentuan penyidikan (Pasal 1 RUU KUHAP). Peniadaan fungsi penyelidik memiliki konsekuensi hukum bagi seluruh institusi penegak hukum, termasuk KPK.

Hilangnya penyelidik dari institusi penegak hukum akan membuat beberapa kewenangan juga turut hilang. Penyelidik punya wewenang untuk memerintahkan pencekalan, penyadapan, pemblokiran bank termasuk melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).

Karena penyelidikan hilang, maka di KPK tidak boleh lagi dilakukan tindakan-tindakan itu, pada tahap penyelidikan, penyelidik akan mengumpulkan barang bukti untuk meningkatkan perkara ke tahap penyidikan. Jika dua alat bukti sudah terkumpul, maka sebuah perkara bisa lanjut dari penyelidikan menjadi penyidikan.

Namun, kalau penyelidikan ditiadakan dan langsung ke tahap penyidikan, dengan begini penyidikan di KPK tidak dapat berjalan.

Tanpa penyelidikan, KPK dan lembaga penegak hukum lain tidak bisa menelusuri, meminta keterangan, dan mengumpulkan alat bukti yang diperlukan untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka suatu kasus.

2. KUHAP berlaku terhadap tindak pidana yang diatur dalam KUHAP
Pasal 3 ayat 2 RUU KUHAP mengatur tentang ketentuan dalam UU ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU di luar KUHP, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain. Ketentuan ini bisa meniadakan hukum acara khusus dalam penanganan kasus korupsi (sebagaimana diatur dalam UU KPK) yang saat ini digunakan KPK.

3. Penghentian penuntutan suatu perkara
Pasal 44 RUU KUHAP mengatur tentang penuntut umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan. Berdasarkan ketentuan ini, penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK dapat dihentikan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan.

Ini bertentangan dengan semangat melakukan pemberantasan kejahatan tindakan luar biasa dalam UU KPK. Dalam UU KPK, KPK tidak dapat menghentikan penyidikan atau penuntutan.

4. Tidak memiliki kewenangan perpanjangan penahanan pada tahap penyidikan
Pasal 58 RUU KUHAP mengatur tentang persetujuan penahanan pada tahap penyidikan yang melebihi 5 x 24 (lima kali dua puluh empat).  KPK dapat dianggap tidak memiliki kewenangan. Sebab, RUU KUHAP hanya menyebutkan kepala kejaksaan negeri dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan negeri; kepala kejaksaan tinggi dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan tinggi; atau Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung.

5. Masa penahanan kepada tersangka lebih singkat
Masa Penahanan dalam RUU KUHAP lebih singkat dari UU KUHAP yang saat ini berlaku. Dalam Pasal 60 RUU KUHAP, masa penahanan ditingkat penyidikan hanya 5 hari dan dapat diperpanjang hingga 30 hari. Bandingkan dengan masa penahanan dalam Pasal 24 KUHAP yang saat ini berlaku yaitu selama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 40 hari. Jangka waktu penahanan penyidikan yang lebih singkat dari KUHAP saat ini dapat mengganggu proses penyidikan. Apalagi dalam menangani kasus korupsi, jumlah saksi jauh lebih banyak daripada jumlah saksi dalam persidangan kasus tindak pidana umum.

6. Hakim dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan penyidik
Pasal 67 RUU KUHAP mengatur bahwa Penangguhan Penahanan dapat diajukan oleh tersangka atau terdakwa. Dampaknya, jika tersangka atau terdakwa meminta, maka Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan oleh KPK.

7. Penyitaan harus diizinkan hakim
Pasal 75 RUU KUHAP mengatur bahwa penyitaan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menolak memberikan persetujuan penyitaan, dan barang yang disita harus segera dikembalikan kepada pemilik.

8. Penyadapan harus mendapat izin hakim
Pasal 83 RUU KUHAP mengatur bahwa penyadapan pembicaraan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Penyadapan pembicaraan hanya dapat dilakukan apabila mendapat persetujuan dari hakim. Jika hakim tidak setuju, KPK tidak dapat melakukan penyadapan.

9. Penyadapan (dalam keadaan mendesak) dapat dibatalkan oleh hakim
Pasal 84 RUU KUHAP mengatur bahwa dalam keadaan mendesak, penyidik dapat menyadap tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Dalam ketentuan lain, disebutkan jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak memberi persetujuan penyadapan, maka penyadapan KPK dapat dihentikan.

10. Putusan bebas tidak dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung
Pasal 84 RUU KUHAP mengatur tentang terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas. Berdasarkan ketentuan tersebut, kasus korupsi yang diajukan oleh KPK, jika divonis bebas di tingkat pertama atau banding, maka tidak dapat dikasasi.

11. Putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi
Pasal 250 RUU KUHAP mengatur tentang Putusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi. Dampaknya, jika kasus korupsi yang diajukan KPK divonis berat di tingkat pengadilan pertama atau banding, maka dapat dipastikan vonisnya lebih rendah jika diajukan di kasasi. Ini menjadi celah bagi koruptor untuk mendapatkan diskon masa hukuman jika prosesnya berlanjut hingga kasasi.

12. Ketentuan pembuktian terbalik tidak diatur
RUU KUHAP tidak mengakomodir pembalikan beban pembuktian untuk kejahatan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dalam Undang-undang TPPU yang sekarang berlaku, beban pembuktian terbalik sempurna, di mana seseorang harus menjelaskan asal-usul kekayaannya.

Jakarta (B2B) -A number of politicians in the Indonesian parliament quietly still intend to weaken and even ´to kill´ the Corruption Eradication Commission (KPK) through Code of Criminal Procedure Draft Law. Indonesian Civil Society Coalition Against Corruption asked President Susilo Bambang Yudhoyono as soon pulling from House of Representatives.

Indonesian Civil Society Coalition Against Corruption has submitted an open letter to President Yudhoyono and the Justice Minister rejecting rejecting the discussion of the draft law in parliament, and urge the president pulling, as contrary to the spirit of eradicating corruption, as reported through the ICW pages in antikorupsi.org.

Coalition is accepted by Deputy Justice Minister Denny Indrayana in his office on Tuesday (4/2) in Jakarta. Coalition represented ICJR, ILRC, Legal Aid Foundation, LBH Jakarta, Arus Pelangi, Transparency International Indonesia, and ICW.

According to ICW, intentionally or not, the draft law was impressed abolish KPK and remove special the courts for corruption. Draft Law mentions only prosecutor, the police, and the courts (starting from district level, high court and the Supreme Court) but negate KPK. Without special mention, if Parliament approve Draft Law, this regulation will lead to multiple interpretations.

The draft law also gives extraordinary authority to the examiner´s preliminary judges (judges commissioner) to continue or stop the prosecution, seizure and wiretap in a criminal proceeding (including corruption). Judge commissioner also has the authority suspend the detention of suspect or defendant on bail.

The draft legislation also ignores the spirit of eradicating corruption. ICW assess Code of Criminal Procedure Draft Law will benefit to corruptors.

The draft legislation also ignores the spirit of eradicating corruption. ICW assess Criminal Procedure Draft Law will benefit corruptors. At its core, in Articles 240 mentions acquittal forbidden cassation to the Supreme Court.

Then, Articles 250 declares the Supreme Court´s decision should not be more severe than the high court verdict. In addition, Draft Law also does not accommodate the rules about crimes or corruption is a corporation/company.

Coalition recorded 12 points in the draft law that could potentially "to kill" KPK and efforts to combat corruption.

1. Draft Law abolished the rules inquiry
Provisions of Draft Law abolished the rules inquiry, and only regulate the terms of the investigation (Article 1 of Draft Law). Elimination functions investigators have legal consequences for all law enforcement agencies, including KPK.

The loss of investigators from law enforcement agencies will make some authority were also missing. Investigators have the authority to order a ban on traveling abroad, tapping, blocking banks, including arrest operations.

Because inquiry is lost, then KPK forbidden commit such acts. At the stage of inquiry, the investigator will collect the evidence for the case to enhance the investigation stage. If the two items of evidence gathered, it is a matter of inquiry will be further investigation.

However, if inquiry is eliminated and directly to the stage of investigation, the investigation result in KPK not functioning.

Without inquiry, KPK and other law enforcement agencies can not explore, ask for an explanation, and collect the evidence to establish someone as a suspect in a case.

2. Criminal Procedure Code applies to criminal acts stipulated in the Criminal Procedure Code
Articles 3 paragraph 2 of Draft Law, regulating the provision in the law also apply to criminal acts set out in the Criminal Code Act, unless the law otherwise provides. These provisions can negate the special procedural law against corruption (as stipulated in the Law on KPK) is currently used by KPK.

3. Termination prosecution of a case
Article 44 of the Draft Law regulating the public prosecutor may submit a case to the examiner preliminary judges, for disconnected feasible or not feasible, for the prosecution. Under this provision, the prosecution of corruption cases handled by KPK may be terminated by the examiner preliminary judges.

This is contrary to the spirit of eradicating crime extraordinary action in the Law on the KPK, which said KPK can not stop the investigation or prosecution.

4. Negating the extension of detention authority in the investigation phase
Article 58 of the Draft Law regulating the approval of detention at the investigation phase that exceed 5 x 24 hours. thus negating the the KPK. Draft Law only mentions for head of the state prosecutor´s authority in custody by the district attorney, head of the state prosecutor, attorney general.

5. Shorter detention time
The period of detention in a shorter Draft Law of the Criminal Procedure Act applies today. In Article 60 of Draft Law, period of detention at the level of investigation only 5 days, and can be extended up to 30 days. Compare the period of detention in Article 24 Criminal Procedure Code is currently in effect, ie for 20 days, and the public prosecutor has the authority to extend the maximum detention of 40 days. Detention period of investigation that is shorter than the current Criminal Procedure Code can disrupt the investigation process. Especially in cases of corruption, the number of witnesses more than the general criminal cases.

6. The judge may suspend the the detention by investigators
Article 67 of Draft Law stipulates that suspect or defendant may file a surety. The impact, if suspect or the defendant requested the suspension, judges commissioner is authorized to conduct suspension of detention.

7. Confiscation must be authorized by a judge
Article 75 of Criminal Procedure Code Draft Law provides that the confiscation must obtain permission from the judge commissioner, who can reject or approve the confiscation, and seized goods must be returned to the owner.

8. Wiretapping must get permission from the judge
Article 83 of Draft Law to regulate wiretapping must be authorized by the examiner preliminary judge, if rejected, the KPK forbidden to tap.

9. Wiretapping (in urgent circumstances) can be canceled by a judge
Article 84 Draft Law stipulates that in urgent circumstances, the investigator can be tapped without a permit from the commissioner of judges. In other provisions, if the judge refuses, KPK must stop wiretapping.

10. An acquittal can not appeal to the Supreme Court
Article 84 Draft Law regulating the defendant or the prosecutor may request an appeal to the Supreme Court, except acquittal. Under these provisions, the corruption case filed by KPK, if the acquittal in the first instance or appellate, can not be file an appeal.

11. Verdict of the Supreme Court should not exceed severe than the high court verdict
Articles 250 Draft Law regulating the criminal verdict of the Supreme Court should not exceed severe than the high court verdict. This is a niche area for corruptors get sentence reduction if file an appeal.

12. There are no rules reversed evidence
Draft Law does not accommodate the reversed burden of proof for corruption and money laundering. In the law on money laundering, reverse authentication requires someone to explain the origin the treasure.