BNPB Yakini Kabut Asap Tahun Ini Tidak Separah Tahun Lalu
Less Haze This Year, Indonesia Promises
Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi
BADAN Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) meyakini kebakaran hutan dan kabut asap yang melanda sebagian kawasan Asia Tenggara tidak mungkin mencapai tingkat separah pada 2015 karena kondisi cuaca dan tanggap darurat lebih cepat.
Kebakaran tahun lalu menjadi yang terburuk dalam sejarah, mengancam hubungan antara Indonesia dan negara-negara tetangganya, menimbulkan kerugian ekonomi hingga US$16 miliar, setara dengan 1,9 persen dari produk domestik bruto, menurut Bank Dunia.
"Kami yakin tahun ini akan menjadi lebih baik," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Nugroho kepada pers, Senin, mengacu pada berkurangnya 61 persen hotspot pada 2016 dibandingkan dengan tahun lalu.
Enam provinsi Indonesia telah menyatakan keadaan darurat, yang memungkinkan BNPB untuk merespon lebih cepat dari tahun lalu, kata Nugroho.
"Pada 2015, hanya tiga provinsi mengumumkan keadaan darurat dan itu pun terlambat. Kebakaran hutan dan lahan terlanjur menyebar," katanya.
Indonesia yang merupakan hutan tropis terbesar ketiga di dunia, menjadi sasaran kritik aktivis lingkungan dan negara-negara tetangga di Asia Tenggara setelah dituding gagal menghentikan kabut asap, sebagian besar akibat pembukaan hutan untuk perkebunan sawit dan industri pulp.
Dampak kabut asap pada 2015 mengakibatkan kerugian pada Singapura hingga US$517 juta, kata menteri lingkungan dan sumber daya air pada Maret.
Musim kemarau basah terkait pada fenomena cuaca La Nina tahun ini turut membantu mencegah meluasnya kebakaran hutan, kata Sutopo. Berdasarkan prakiraan cuaca maka musim kemarau akan mencapai puncaknya pada September dan berakhir pada Oktober.
"Jadi untuk itu selama satu bulan kita akan benar-benar menjaga segala sesuatu di bawah kendali," katanya.
Kabut asap yang melanda Singapura, Senin mulai menghilang dari negara pulau tersebut pekan lalu, ketika tiupan angin mendorong asap dari Sumatera ke wilayah Sumatera.
Akibatnya, kualitas udara di Kuala Lumpur mendekati tingkat "tidak sehat" dan warga turun ke media sosial yang mengeluhkan jarak pandang dan bau asap.
Meskipun instruksi Presiden Indonesia Joko Widodo untuk mengakhiri bencana tahunan "lebih cepat lebih baik", masalah tidak akan pergi tanpa upaya untuk mengatasi melalui tindak pencegahan, kata Nugroho.
"Tidak ada cara kita benar-benar dapat menghilangkan atau mengakhiri kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, karena mereka sangat terkait dengan perilaku masyarakat yang menyalakan api," katanya, mengacu pada petani yang menggunakan kebakaran untuk mempersiapkan lahan untuk tanaman dan perkebunan.
"Masih ada kebakaran, sehingga pencegahan perlu ditingkatkan."
Menurut Bank Dunia, sekitar 35 persen tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor pertanian, dengan industri kelapa sawit dan pulp dan kertas sebagai kontributor utama. Minyak kelapa sawit adalah pendorong pertumbuhan utama bagi Indonesia, produsen terbesar minyak nabati di dunia seperti dikutip Reuters yang dilansir MailOnline.
INDONESIA'S Disaster Agency said it is confident the country's forest fires and haze of toxic smoke they send over Southeast Asia are unlikely to reach levels seen in 2015 because of favourable weather conditions and a quicker emergency response.
Last year's fires were among of the worst on record, straining relations between Indonesia and its neighbours, and costing the country at least $16 billion in economic losses, equivalent to 1.9 percent of its gross domestic product, according to the World Bank.
"We are certain this year things will be better," agency spokesman Sutopo Nugroho told reporters on Monday, referring to a 61 percent reduction in hotspots seen 2016 compared with a year ago.
Six Indonesian provinces have declared a state of emergency, allowing the agency to respond more quickly than last year, Nugroho said.
"In 2015, only three provinces declared a state of emergency and even that was too late. The forest and land fires had already spread," he said.
Home to the world's third-largest area of tropical forests, Indonesia has been criticised by green activists and by neighbouring Southeast Asian nations for failing to stop the region's annual haze, largely caused by forest-clearing for palm and pulp plantations.
The pollution in 2015 cost Southeast Asia economic powerhouse Singapore S$700 million ($517 million), the country's environment and water resources minister said in March.
An unusually wet dry season linked to the La Nina weather phenomenon this year has helped stop fires from spreading, Nugroho said. Based on weather forecasts the dry season will peak in September and end in October, Nugroho said.
"So for that one month we will really keep everything under control," he said.
Singapore on Monday got a break from the haze that hit the island state last week, as shifting winds pushed the smoke from Indonesia's Sumatra island northward over Malaysia.
There, air quality in Kuala Lumpur neared "unhealthy" levels and residents took to social media to complain about poor visibility and an acrid smell.
Despite Indonesian President Joko Widodo's instructions to end the annual blight "the sooner the better", the problem won't go away without an imporovement of preventative measures, Nugroho said.
"There is no way we can completely eliminate or end the forest and land fires in Indonesia, because they are very much linked to behaviours of communities that light fires," he said, referring to farmers who use fires to prepare land for crops and clear it for plantations.
"There are still fires, so prevention needs to be improved."
According to the World Bank, about 35 percent of the Indonesian workforce is employed in agriculture, with palm oil and pulp-and-paper industries key contributors. Palm oil is a major growth driver for Indonesia, the world's biggest producer of the edible oil.
