Ahok jadi Sorotan Dunia, Ini Ulasan Lengkapnya di New York Times
Governor of Jakarta Bucks Indonesia`s Party Politics: New York Times
Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi
SEJAK menjadi gubernur Jakarta pada 2014, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak segan memperlihatkan kekesalannya pada birokrat alias PNS yang tidak berkompeten atau diduga melakukan "penyimpangan anggaran".
Target barunya adalah sistem politik yang dijalankan oleh oligarki terpisah dari dominasi elit politik.
Ahok, 49, berjanji untuk kembali mengikuti Pilkada DKI pada Februari mendatang melalui jalur independen. Tujuannya adalah untuk memisahkan diri dari dominasi partai politik yang muncul selama masa transisi Indonesia menuju demokrasi, yang dimulai dengan runtuhnya kediktatoran militer yang didukung Presiden Soeharto pada tahun 1998, seperti dilansir New York Times.
Ahok telah lama dianggap bukan bagian dari elit politik, antara lain karena ia pemeluk Kristen dan berasal dari etnis China di Jakarta yang merupakan kota dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, dan keputusannya untuk mengikuti Pilkada tanpa dukungan parpol mengguncang dominasi parpol.
Sejak Indonesia mengadakan pemilihan umum yang bebas pada akhir dekade 1990-an, tidak banyak calon independen yang menang dalam Pilkada dan duduk di parlemen sebagai anggota DPR, tetapi keputusan Ahok memisahkan diri adalah yang paling signifikan. Jakarta adalah pusat pemerintahan, sosial dan ekonomi, dan 16% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2015, menurut Badan Pusat Statistik (BPS).
Sebagian besar dari 10 partai yang meraih kursi di Parlemen dan kabinet dijalankan oleh dinasti politik, mantan jenderal Angkatan Darat atau taipan bisnis yang membiayai mereka. Sisanya adalah kelompok berbasis Islam-yang ideologi politiknya tergantung bandul kepentingan untuk bergabung sebagai koalisi partai.
Politisi di tingkat regional sebagian besar terikat pada perintah pimpinan parpol yang bermarkas di kantor pimpinan partai di Jakarta, yang dapat menerima atau menolak kandidat meskipun diterima publik yang terpantau dari hasil jajak pendapat. Dan elit partai biasanya menuntut bahwa kandidat yang didukung harus membayar ´mahar´ kepada parpol pendukung dan kandidat harus membiayai sendiri biaya kampanye Pilkada, seperti dikutip New YorkTimes dari pengamat politik.
Ahok, pada dasarnya, memposisikan dirinya sebagai kandidat alternatif sistem politik nasional "karena warga muak dengan elit politik," kata Charlotte Setijadi, mahasiswa pasca sarjana program studi Indonesia di Institut Studi Asia Tenggara Yusof Ishak Institute di Singapura.
"Saya berpikir bahwa ini adalah gambaran tentang Ahok yang maju sebagai calon independen dalam Pilkada," katanya.
Sang gubernur, yang merupakan cucu dari seorang penambang timah dari Guangzhou, Cina, memiliki reputasi sebagai sosok yang bicara blak-blakan. Dia kerap menjadi sasaran kritik, termasuk dari penghuni bangunan liar di lingkungan kumuh yang digusur karena lahannya akan dimanfaatkan untuk fasilitas umum dan proyek komersial, dan lawan politiknya terus mempertanyakan proyek reklamasi di Jakarta Utara yang sedang diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun gayanya memimpin ternyata menarik perhatian sebagian warga Jakarta, khususnya para pemilih muda dan keluarga kelas menengah bawah.
Mereka juga telah terpengaruh oleh kebijakan sebagai gubernur, termasuk gerak cepat membangun proyek-proyek infrastruktur, di antaranya tranportasi massal melalui mass rapid transit (MRT), membangun kota berpenduduk lebih dari 10 juta orang dengan mengerahkan petugas kebersihan dan menerapkan ´kartu pintar´ sebagai program untuk mensubsidi biaya pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi warga miskin.
Jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan bahwa Ahok, meraih dua digit mengungguli beberapa kandidat lain yang bakal menjadi pesaingnya pada Pilkada 17 Februari dan bahwa lebih dari 80 persen pemilih menginginkannya maju sebagai kandidat independen.
"Saya tidak ingin mengecewakan orang-orang muda," katanya kepada wartawan baru-baru ini setelah mengumumkan keputusannya. "Saya mengatakan kepada mereka untuk menjadi calon independen, tetapi mereka harus memahami bahwa ini bukanlah pekerjaan mudah."
Gubernur Ahok akhirnya memilih sekelompok pemuda yang mendukungnya untuk mendobrak tradisi politik. Sebuah gerakan relawan dari warga yang memilih jalur independen mendukung rencananya untuk mengumpulkan tanda tangan dukungan dari 525.000 warga Jakarta - sekitar 7,5% dari warga yang berhak memilih - yang menjadi syarat untuk maju sebagai calon independen.
Kelompok yang dinamai Teman Ahok mengatakan tidak akan berhenti sampai mendapat satu juta tanda tangan, yang harus diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Teman Ahok bermarkas di sebuah rumah di Jakarta Selatan, yang kegiatan operasionalnya dibiayai secara mandiri. Mereka telah menciptakan sebuah aplikasi, misalnya, dengan mengerahkan armada sepeda motor untuk mengumpulkan tanda tangan dukungan dan diantar tanpa dipungut biaya.
Untuk membiayai kegiatan operasional, Teman Ahok juga menjual merchandise, termasuk T-shirt, stiker dan gelang, meskipun telah menerima sumbangan awal 500 juta rupiah, atau sekitar $37.000, dari sebuah konsultan politik di Jakarta untuk membantu mereka.
Ahok dan pimpinan Teman Ahok secara terpisah mengatakan bahwa mereka tidak bekerja sama dan bahwa mereka bertemu secara pribadi hanya tiga kali.
Ahok, yang sebelumnya menjabat sebagai wakil gubernur Jakarta, kemudian menjabat sebagai Gubernur DKI pada November 2014 setelah bos dan pendahulunya, Joko Widodo, dilantik sebagai presiden ketujuh Indonesia.
Saat menanti dilantik sebagai gubernur, ia memilih mengundurkan diri dari partai politik yang mengusungnya, Partai Gerakan Indonesia Raya, yang dikenal sebagai Gerindra, setelah didorong melalui undang-undang di parlemen yang berupaya memperkecil peluang calon independen untuk maju menjadi kandidat gubernur provinsi, walikota dan bupati.
Para lawan politiknya melawan dengan undang-undang yang kemudian direvisi, sebagai upaya untuk tetap menjaga peluang kandidat gubernur dari calon independen seperti dilakukan oleh anggota DPRD DKI yang didominasi oleh parpol besar.
Joko Widodo, meskipun presiden, di mata parpol pengusungnya disebu sebagai ´pekerja partai´ dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, atau PDIP.
Para pengamat mengatakan Ahok rupanya tidak ingin mengalami nasib yang sama. Dia menolak tawaran untuk maju sebagai kandidat gubernur di bawah payung PDIP, yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri, mantan presiden, putri pendiri Indonesia, Soekarno,
Kini parpol tampak berupaya keras mencoba menghentikan langkahnya sebagai calon independen dan berbalik menuding langkah Ahok sebagai upaya ´deparpolisasi´ untuk mematahkan dominasi parpol besar, seperti dilansir nytimes.com.
SINCE becoming governor of Jakarta in 2014, Basuki Tjahaja Purnama has shown little patience for incompetent bureaucrats or alleged “budget irregularities” — the local term for corruption.
His new target is a political system run by aloof oligarchs.
Mr. Basuki, 49, has vowed to run to stay in office in February as a political independent. His goal is to separate himself from the powerful national parties that have emerged during Indonesia’s transition to democracy, which began with the collapse of the military-backed dictatorship of President Suharto in 1998.
Mr. Basuki has long been considered a political outsider, partly because he is a Christian and an ethnic Chinese steering the capital of the world’s most populous Muslim-majority nation, and his decision to run without a party affiliation has shaken the country’s political establishment.
Since Indonesia began holding free elections in the late 1990s, independent candidates have won lesser local government and legislative posts, but Mr. Basuki’s breakaway is by far the most significant. Jakarta is the country’s political, social and economic center, accounting for 16 percent of the national gross domestic product in 2015, according to the country’s Central Statistics Bureau.
Most of the 10 parties that have seats in the country’s Parliament and cabinet are run by political dynasties, former Army generals or business tycoons who bankroll them. The rest are Islamic-based groups whose political ideology changes depending on which of the bigger parties they can latch onto in a coalition.
Regional-level politicians are mostly beholden to their political masters at national offices in Jakarta, who can accept or reject their planned candidacies even if they are doing well in opinion polls. And parties usually demand that candidates pay a fee to run and require them to finance their own campaigns, analysts say.
Mr. Basuki, in effect, has positioned himself as an alternative to a national political system “that many in Jakarta are fed up with,” said Charlotte Setijadi, a visiting fellow with the Indonesia studies program at the Institute of Southeast Asian Studies-Yusof Ishak Institute in Singapore.
“I think that this is an image that will serve him well for this election,” she said.
The governor, the grandson of a tin miner from Guangzhou, China, has a reputation for bluntness. He has his detractors, including squatters whose slum neighborhoods have been demolished to make way for public works projects and commercial developments, and political adversaries who have questioned a land reclamation project in North Jakarta that is under investigation by the country’s anticorruption agency.
Continue reading the main story
But his style has won over many Jakartans, in particular younger voters and lower-middle-class families.
They have also been swayed by his administration’s policies, including fast-tracking infrastructure projects, among them a mass rapid transit system, the sprucing-up of a city of more than 10 million people with a small army of street sweepers and the institution of a “smart card” program to subsidize health care and education for the poor.
Recent polls have indicated that Mr. Basuki, popularly known as Ahok, has double-digit leads over several other possible candidates for the Feb. 17 election, and that more than 80 percent of probable voters want him to run as an independent.
“I don’t want to disappoint the young people,” he said to reporters recently after announcing his decision. “I told them I will be an independent, but they have to understand that this is a sacrifice.”
The governor can thank one particular group of young people for helping him to buck politics as usual. A grass-roots volunteer movement that is autonomously backing his plan says it has already collected the signatures of the 525,000 Jakartans — roughly 7.5 percent of the city’s eligible voters — needed to cement his place on the ballot.
The group, Teman Ahok (“Friends of Ahok” in the Indonesian language), says it will not stop until it gets a million signatures, which must be verified by the country’s General Elections Commission.
Working out of a one-story house in South Jakarta, the group’s members have been remarkably resourceful. They have created an app, for example, enabling motorcyclists to pick up signature forms and deliver them to the group’s office at no cost.
To pay for its operations, the group also sells Ahok merchandise, including T-shirts, stickers and bracelets, although it did receive an initial donation of 500 million rupiah, or about $37,000, from a political consultancy in Jakarta to help it get up and running.
Mr. Basuki and Teman Ahok leaders have separately said that they are not collaborating and that they have met in person only three times.
Mr. Basuki, who was previously deputy governor of Jakarta, assumed the city’s top position in November 2014 after his boss and predecessor, Joko Widodo, was sworn in as the country’s seventh president.
But as he waited to become governor, he resigned from his political party, the Great Indonesia Movement Party, known as Gerindra, after it pushed through legislation in Parliament eliminating direct elections for provincial governors, mayors and district chiefs.
Critics called the legislation, which was later overturned, a meanspirited attempt to keep regional leaders under the control of Jakarta by having them appointed by local legislatures dominated by major parties.
Mr. Joko himself, despite being president, is only a rank-and-file member of his party, the Indonesian Democratic Party of Struggle, or P.D.I.P., and has at times been hamstrung in carrying out policies and appointing senior officials because of opposition from party leaders.
Analysts said Mr. Basuki apparently did not want to suffer the same fate. He spurned an offer to run under the umbrella of the P.D.I.P., whose chairwoman is Megawati Sukarnoputri, a former president, the daughter of Indonesia’s founding father, Sukarno, and a leading member of the country’s political elite.
Now the party has made it clear that it will try to stop what senior members have called deparpolisasi, an Indonesian term meaning the weakening of the political monopoly of large parties by independent candidates like Mr. Basuki.
