7-Eleven `Lempar Handuk` Popularitas Sevel Tak Sebanding Pengeluaran Konsumennya

7-Eleven Indonesia - Where Popularity Wasn`t Enough

Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi


7-Eleven `Lempar Handuk` Popularitas Sevel Tak Sebanding Pengeluaran Konsumennya
Selain konsumen Indonesia yang pelit, pihak industri juga menuding persaingan ketat dan larangan penjualan alkohol di minimarket sejak 2015 membuat perusahaan merugi (Foto: istimewa)

KETIKA 7-Eleven membuka gerai pertama di Indonesia pada 2009, perusahaan ini sebenarnya sedang bertaruh bahwa outlet mereka yang dikembangkan seperti toko spesial yang diakui secara global seperti supermarket akan menarik banyak konsumen perkotaan berusia muda.

Strategi itu ternyata berhasil: supermarket waralaba dengan cepat dikenal sebagai tempat yang disukai untuk hang out, meracik sendiri minuman populer Slurpees dan menggunakan WiFi gratis. Yang gagal adalah rencana untuk menarik pelanggan kembali untuk merogoh kocek mereka lebih dalam.

Delapan tahun setelah gerai pertama dibuka di Jakarta, PT Modern Internasional Tbk, pemilik utama waralaba 7-Eleven di Indonesia, menutup semua gerainya di Indonesia, yang mencapai 161 gerai pada akhir 2016. Pihak perusahaan pekan lalu menyatakan "sumber daya terbatas" sebagai alasan penutupan.

Seven & amp; I Holdings Co Ltd, perusahaan induk dari  jaringan global 7-Eleven, mengatakan akan "mencari pihak lain untuk mengambil alih hak waralaba dan berharap segera memulai bisnis."

"Indonesia adalah negara yang penting bagi kami, ini bukan akhir dari bisnis 7-Eleven," kata seorang juru bicara melalui telepon, menambahkan bahwa penutupan tersebut "hampir tidak berdampak" terhadap pendapatan perusahaan.

Selain konsumen Indonesia yang pelit, pihak industri juga menuding persaingan ketat dan larangan penjualan alkohol secara keseluruhan di minimarket sejak 2015 mengakibatkan perusahaan merugi.

"Konsepnya menarik, tapi apakah itu menguntungkan?" Tutum Rahanta, wakil ketua umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia. "konsumen berkerumun karena hanya nongkrong, tapi mereka yang ingin berbelanja dan konsumen yang ingin merogoh koceknya untuk belanja tidak datang ke sana."

Konsumen juga cenderung mengasosiasikan pesaing 7-Eleven seperti Indomaret dan Alfamart dengan kebutuhan sehari-hari, yang berfungsi sebagai penyangga terhadap larangan penjualan alkohol, kata Rahanta, menambahkan jangkauan 7-Eleven terbatas di Jakarta.

Tahun lalu, Indomaret dan Alfamart menyumbang 51,2 persen dan 38,5 persen dari nilai ritel untuk toko swalayan Indonesia, menurut lembaga riset Euromonitor International. 7-Eleven hanya menguasai memiliki 0,7 persen pangsa pasar.

Modern melaporkan penurunan penjualan bersih sebesar hampir 24 persen saat 7-Eleven berhasil meraup Rp675,3 miliar rupiah (US$50,7 juta) pada 2016 dari tahun sebelumnya. Modern juga memiliki bisnis lain yakni peralatan medis dan peralatan fotokopi.

Usaha modern untuk menjual hak warala 7-Eleven dan aset lainnya ke unit PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk senilai Rp 1 triliun juga gagal pekan lalu.

Sementara bangkrutnya 7-Eleven adalah akibat kegagalan komersial, penutupannya tetap mengejutkan konsumen setianya.

"Itu selalu penuh dengan orang," kata Amanda Viega, seorang mahasiswa berusia 20 tahun yang sering bertemu dengan teman-teman di 7-Eleven dan sekarang mencari tempat nongkrong alternatif seperti dikutip Reuters yang dilansir MailOnline.

WHEN 7-ELEVEN opened its first Indonesian outlets in 2009, it made a bet that hip cafe-like versions of its globally recognised convenience stores would pull in hordes of young, urban consumers.

The strategy worked: the franchise quickly became known as a hot place to hang out, drink signature Slurpees and use free wifi. What failed was a plan to attract repeat customers willing to spend money.

Eight years after the chain's first Jakarta store opened, PT Modern Internasional Tbk, the owner of the 7-Eleven master franchise in Indonesia, is closing all its domestic outlets, which totalled 161 at the end of 2016. The company last week cited "limited resources" as a reason for the closure.

Japan's Seven & i Holdings Co Ltd, the ultimate parent of the global 7-Eleven chain, said it would "search for someone to take on the franchise and hope to restart business soon."

"Indonesia is an important country for us. This is not the end for 7-Eleven's business," a spokesman said by phone, adding the closure had "almost no impact" on its results.

In addition to thrifty Indonesian consumers, industry participants also blame intense competition and a 2015 nationwide ban on alcohol sales at minimarkets for the franchise's struggles.

"The concept is interesting, but is it profitable?" said Tutum Rahanta, deputy chairman of the Indonesian Retailers Association. "The crowd is created by people who just hang out, but those who want to shop and who can really generate profits don't go there."

Consumers also tend to associate 7-Eleven's competitors such as Indomaret and Alfamart with daily necessities, which serve as a buffer against the alcohol sales ban, Rahanta said, adding 7-Eleven's reach was limited to Jakarta.

Last year, Indomaret and Alfamart accounted for 51.2 percent and 38.5 percent of the retail value for Indonesian convenience stores, respectively, according to research firm Euromonitor International. 7-Eleven had a 0.7 percent share.

Modern reported a nearly 24 percent fall in its net sales for 7-Eleven to 675.3 billion rupiah ($50.7 million) in 2016 from a year earlier. Modern also has other businesses in medical image and photocopy equipments.

Modern's attempt to sell the 7-Eleven franchise and other assets to a unit of PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk for 1 trillion rupiah also failed last week.

While 7-Eleven's local demise is a product of commercial realities, its closure has still come as a shock to fans.

"It was always full of people," said Amanda Viega, a 20-year-old university student who would frequently catch up with friends at 7-Eleven and is now looking for alternative venues.

($1 = 13,325.00 rupiah)