DPR Hasil Reformasi Putuskan Kembali ke Sistem Pilkada Era Soeharto, kata Media Asing

Indonesia Votes to Scrap Direct Elections

Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi


DPR Hasil Reformasi Putuskan Kembali ke Sistem Pilkada Era Soeharto, kata Media Asing
Personil polisi menangkap seorang pengunjuk rasa, yang menentang rapat paripurna RUU Pilkada di depan gedung DPR Senayan, Kamis. (Foto: MailOnline)

DPR akhirnya memutuskan untuk mengadakan Pilkada tidak langsung untuk memilih gubernur, walikota dan bupati kembali ke sistem pemilihan di era diktator Soeharto, yang secara umum dinilai sebagai kemunduran bagi demokrasi di Indonesia.

Hasil pemungutan suara dinilai sebagai kekalahan awal untuk Presiden terpilih Joko Widodo, ketika partai pengusung utamanya, PDI Perjuangan gagal menentang Pilkada oleh DPRD, tampaknya pemerintahan Jokowi - JK akan menghadapi tantangan berat. Pasalnya, RUU ini didukung oleh Koalisi Merah Putih yang kalah dalam Pemilihan Presiden 2014 pada 9 Juli lalu dan 'bersumpah' untuk mengganggu jalannya pemerintahan Jokowi.

Pemilihan langsung walikota, bupati dan gubernur dimulai pada 2005 dan dipandang sebagai bagian utama dari transisi demokrasi Indonesia setelah jatuhnya kediktatoran Suharto pada 1998. Perubahan terjadi karena keluhan pada sistem lama yang diterapkan era Soeharto, ketika DPRD yang memilih pemimpin daerah, ternyata menghasilkan pemerintahan daerah yang korup dan tidak efisien karena terikat oleh partai politik yang ditunggangi oleh pemerintah Soeharto, seperti dilansir MailOnline.

Setelah perdebatan panjang dan berlangsungnya lobi-lobi politik, mayoritas anggota DPR menyetujui RUU Pilkada pada dini hari, mengembalikan Indonesia kepada sistem Pilkada sebelum 2005. Sementara Presiden, yang sebelum 2005 juga dipilih oleh anggota parlemen, akan terus dipilih langsung oleh rakyat.

"Menghilangkan hak rakyat untuk memilih pemimpin mereka adalah pengkhianatan nyata kepercayaan publik dan meniadakan hak rakyat dalam proses demokrasi, semua kemajuan dan biaya dari demokrasi 10 tahun terakhir sia-sia," kata The Jakarta Globe dalam editorialnya seperti dilansir MailOnline. "Indonesia telah kembali ke sistem demokrasi elitis yang dikendalikan oleh segelintir politisi korup yang hanya mengutamakan kepentingan mereka sendiri."

Sebuah jaringan aktivis pro-demokrasi menyatakan akan mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi, yang memiliki kekuatan untuk menolak putusan DPR.

RUU ini didorong oleh "Koalisi Merah Putih" adalah koalisi yang gagal mengusung calon presiden Prabowo Subianto, mantan jenderal di era Soeharto.

Anggota Koalisi Merah Putih mengatakan bahwa perubahan diperlukan karena pemilihan langsung yang berbiaya mahal dan lebih rentan menghasilkan pemimpin korup. Aktivis masyarakat sipil memperdebatkan analisa tersebut, dan solusinya dengan menerapkan sistem pendanaan kampanye yang ketat untuk menekan biaya Pilkada.

Joko Widodo dan beberapa politisi yang sebelumnya tidak dikenal naik ke tampuk kekuasaan melalui pemilihan kepala daerah langsung setelah meyakinkan rakyat sebagai pemilih dan memberikan suaranya, melonggarkan cengkeraman partai politik besar.

"Sulit untuk tidak melihat RUU ini sebagai manuver politik  untuk mengembalikan otoritas pemilu dari rakyat kepada pimpinan partai menyikapi kekalahan dalam Pilpres," kata Andrew Thornley, seorang pakar pemilu Indonesia di Asia Foundation, seperti dilansir melalui blog-nya, Kamis.

Beberapa jajak pendapat independen telah menunjukkan mayoritas rakyat Indonesia mendukung Pilkada untuk pemilihan langsung.

INDONESIA'S outgoing parliament voted Friday to scrap direct elections for local officials and return to the electoral system in place under dictator Suharto, in what was widely regarded as a setback to the country's democracy.

The vote represents an early defeat for President-elect Joko Widodo, whose party had voted against the change, and suggests he will face a struggle to govern effectively. The bill was supported by a coalition of rightwing parties whose candidate was narrowly defeated in July's presidential elections and is vowing to disrupt the Widodo administration.

Direct elections for mayors, regents and governors began in 2005 and were seen as a major part of Indonesia's democratic transition after the 1998 fall of Suharto dictatorship. The change came about because of complaints the old system, where regional legislatures chose local leaders, had returned generations of corrupt and inefficient administrations beholden to the country's equally graft-ridden political parties.

After hours of debate and backroom dealings, a majority of lawmakers approved the bill early Friday morning, returning the country to the pre-2005 system. The country's president, who prior to 2005 was also chosen by lawmakers, will continue to be directly elected by the people.

"Taking away the people's right to choose their leader is a blatant betrayal of public trust and sidelines them from the democratic process altogether, rendering all the progress and costs of the last 10 years futile," said The Jakarta Globe in an editorial. "Indonesia has returned to a system of elitist democracy controlled by a handful of corrupt politicians serving only their own interests."

A network of pro-democracy activists has already said they will challenge the change at the country's Constitutional Court, which has the power to overrule parliament.

The bill was pushed by the "Red-and-White" coalition of losing presidential candidate Prabowo Subianto, a Suharto-era general.

Its members said change was needed because direct elections were expensive and more prone to producing corrupt leaders than the old system. Civil society activists and progressive voices had disputed this, saying the parties themselves could implement campaign finance laws to lessen costs and that they played a major role in the corruption in the direct elections.

Widodo and several other previously little-known politicians have risen to power via direct regional elections after appealing directly to voters and being voted on their record, loosening the grip of the major political parties.

"It is hard not to view this bill as a blunt political manoeuver to return electoral authority from the people to party leadership in the face of electoral defeat in the presidential election," Andrew Thornley, an Indonesian election expert at the Asia Foundation, wrote in a blog post Thursday.

Several independent opinion polls had shown a clear majority of Indonesians were in favor of keeping the direct elections.