Sambutan Meriah dan Demo TKI Warnai Kunjungan Jokowi di Hong Kong

Celebration and Protest as Indonesian Leader Visits Hong Kong

Editor : Ismail Gani
Translator : Novita Cahyadi


Sambutan Meriah dan Demo TKI Warnai Kunjungan Jokowi di Hong Kong
Foto: MailOnline

KUNJUNGAN Presiden RI Joko Widodo disambut hangat sekaligus didemo oleh para tenaga kerja Indonesia (TKI) di Hong Kong, Minggu, yang meminta peningkatan kondisi kerja bagi TKI di kota tersebut.

Diperkirakan sekitar 170.000 warga Indonesia yang bermukim di Hong Kong, sebagian besar dari mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga, dan mereka khawatir pada maraknya eksploitasi setelah serangkaian kasus pelecehan seksual yang mereka alami.

Di tengah suasana konser musik rock, Presiden Jokowi disambut dengan musik dan tarian yang meriah, termasuk penampilan oleh para TKI, pada ajang Asia World Expo Asia.

Lebih dari 5.000 warga Indonesia, terutama wanita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, mengaku senang bertemu dengan Presiden Jokowi. Namun mereka juga meminta presiden untuk melindungi kepentingan dan nasib mereka.

"Saya harap presiden dapat membuat tempat kerja kami lebih aman," kata pembantu rumah tangga bernama Miasih kepada AFP, seraya mengatakan majikannya telah melanggar kontrak dengan beban pekerjaan di dua apartemen.

"Sikap majikan saya - dia tidak menghormati hak saya," tambahnya.

Selain disambut hangat, Presiden Jokowi juga didemo oleh para TKI yang berkumpul di luar kantor Konsulat RI. Mereka menuntut hak buruh migran yang lebih baik.

Jokowi, yang sedang dalam kunjungan dua hari yang meliputi mencakup pertemuan dengan para pengusaha terkemuka Hong Kong, tidak membahas masalah ini dalam sambutannya kepada TKI, tapi sebaliknya mengungkapkan tentang kemajuan ekonomi, infrastruktur dan keragaman di Indonesia.

"Jangan biarkan hal-hal kecil menimbulkan gesekan, bentrokan, dan perpecahan," katanya.

Para pengunjuk rasa memprotes karena Jokowi dinilai gagal menangani kondisi kerja.

"Kami sudah terisolasi karena kondisi di tempat kami bekerja, tapi pemerintah Indonesia,

cara kami bekerja dan di mana kita berada, tapi pemerintah, bahkan saat berada di depan kami, tuntutan kami tidak dianggap penting," kata mantan pekerja rumah tangga Eni Lestari, kini ketua Aliansi Migran Internasional.

Dia mengatakan bahwa para aktivis tidak dapat mengajukan petisi atau bertemu dengan Presiden Jokowi.

Ada lebih dari 300.000 pembantu rumah tangga di Hong Kong, kebanyakan berasal dari Filipina dan Indonesia.

Kondisi mereka menjadi sorotan utama dunia pada 2014 dengan terungkapnya kasus pembatu Indonesia
Erwiana Sulistyaningsih, yang dipukuli dan dibiarkan kelaparan oleh majikannya Wan Wan.

Pengadilan kemudian menjatuhkan hukuman penjara pada 2015 kepada pelaku selama enam tahun.

Namun, aktivis mengatakan bahwa kasus tersebut belum banyak membuat perubahan jangka panjang yang konkrit.

Laporan tahun lalu dari Justice Center mendapati bahwa satu dari enam pembantu asing di Hong Kong masuk dalam kategori "kerja paksa".

Hal itu didefinisikan sebagai kerja paksa dimana para pekerja migran tidak direkrut dengan bebas, tidak bebas melakukan pekerjaan atau tidak dapat meninggalkan pekerjaan.

Ini mendefinisikan kerja paksa sebagai pekerjaan dimana pekerja tersebut tidak direkrut dengan bebas, tidak melakukan pekerjaan dengan bebas, atau tidak dapat meninggalkan pekerjaan.

Kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa agen TKI bertindak tidak bermoral dan memaksa mereka berutang dan menahan paspor mereka, dan keharusan mereka tinggal dengan majikan yang membuat mereka sulit mengatur jam kerja dan terhindar dari pelecehan.

Akhir September tahun lalu ratusan pekerja migran berunjuk rasa di Hong Kong setelah beberapa pembantu rumah tangga terjatuh hingga tewas saat membersihkan jendela apartemen majikan mereka seperti dilansir MailOnline.

INDONESIA'S president Joko Widodo was greeted by a mixture of celebration and protest in Hong Kong Sunday with calls to improve working conditions for the city's army of foreign maids.

There are around 170,000 Indonesians living in Hong Kong, many of them employed as domestic helpers, and concern over exploitation is growing after a string of abuse cases.

In a rock concert atmosphere Widodo was greeted by exuberant music and dance shows, including some performances by helpers themselves, at the city's Asia World Expo Sunday.

The more than 5,000-strong crowd were mainly women working as maids who said they were excited to see the leader -- but also called on him to help them.

"I hope the president can make our workplace safe," one domestic helper named Miasih told AFP, saying her employer breaches her contract by making her work in two apartments.

"It's the attitude -- she doesn't have a lot of respect for me," she added.

Some protesters gathered outside and others marched to the Indonesian consulate, calling for better migrant rights.

Widodo, who is on a two-day visit that will include meeting the city's business leaders, did not address the issue in his speech to the helpers, which instead praised Indonesia's economy, infrastructure and diversity.

"Don't let small things cause friction, clashes, division," he said.

Demonstrators criticised him for failing to address working conditions.

"We are already isolated because of the way we work and where we are, but the government, even when they're in front of us, does not think our voices are important," said former domestic worker Eni Lestari, now chairwoman of the International Migrants Alliance.

She said activists had been unable to submit petitions or meet with Widodo.

There are more than 300,000 domestic helpers in Hong Kong, mostly from the Philippines and Indonesia.

Their plight made world headlines in 2014 with the case of Indonesian helper Erwiana Sulistyaningsih, who was beaten and starved by her employer Law Wan-tung.

Law was jailed in February 2015 for six years.

However, activists say even that case has not led to concrete long-term changes.

A report last year by the Justice Centre found that one in six foreign maids in Hong Kong fell into the "forced labour" category.

It defined forced labour as employment for which the worker had not been recruited freely, was not doing the job freely, or could not walk away from work.

Rights groups say unscrupulous employment agencies put helpers into debt and withhold their passports, and local restrictions such as requiring them to live with their employers make it difficult to control hours or escape abuse.

Last September hundreds of maids marched through Hong Kong after several helpers fell to their deaths as they tried to clean tower block windows.